BUTONMAGZ---implementasi nilai-nilai Sarapataanguna sebagai filosofis kehidupan masyarakat Buton menjadi pokok bahasan dalam Simposium Budaya bertajuk “Menguak Nilai-Nilai Budaya Sarapatanguna di Era Millenium” yang digelar di Baruga Keraton Buton Pukul 10.00 Wita, 15 Oktober 2019. Acara ini sebagai rangkaian peringatan HUT Kota Baubau ke-18 dan hari jadi Baubau ke 478 tahun.
Dua pembicara utama di kegiatan ini adalah Wali Kota Baubau – Dr. H.AS. Tamrin, MH yang menguak secara akademis berkait Sarapataaguna, dan Dr. Tasrifin Tahara, M.Si – antropolog Unhas yang membawakan materi berkait kebudayaan di era Millenia, dengan dimoderatori Dr. Roni Muhtar, M.Pd yang juga Sekda Kota Baubau.
Acara yang dihadiri banyak kalangan ini kemudian berkembang dengan usulan-usualan peserta simposium agar nilai-nilai Sarapataaguna dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasayarakat di Kota Baubau, karenanya butuh pelembagaan secara hukum dalam bentuk peraturan daerah. “Akan dikaji lagi lebih dalam, baik secara akademis dengan menyesuaikan dinamikan kehidupan masyarakat,” kata Wali Kota AS. Tamrin.
Sementara Tasrifin Tahara menyatakan kesiapannya untuk menyiapkan secara akademis rencana dimaksud untuk memantangkan agenda penting di bidang budaya ini.
Di kesempatan ini pula Wali Kota AS. Tamrin menampik bila dirinya ingin mengubah Sarapataaguna dengan Po-5. “Saya sangat paham bila Po-5 asalnya dari Sarapataaguna, tak bermaksud mengubah, hanya menginovasi secara akademik agar bisa ditarik nilai-nilainya dan diimplemementasikan. Bila ada saran dan kritik tentu saya menerimanya dengan baik, tetapi kita bangun dengan cara-cara santun sesuai dengan nilai Sarapataaguna itu sendiri,” tandasnya.
Pada saat memberi sambutan di awal acara, Wali Kota AS. Tamrin mengurai banyak soal kebangsaan dan mengingatkan bila Indonesia adaah negara paling majemuk. “Keragaman indonesia terlihat dengan jelas pada aspek-aspek geografis, etnis, sosial kultural dan agama serta kepercayaan. jika dirangkum secara keseluruhan, maka kemajemukan masyarakat indonesia ditandai oleh kemajemukan suku bangsa dan bahasa, agama, kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa, sistem hukum, dan sistem kekerabatan.” Katanya.
Menyikapi hal itu, para pendiri negara (founding fathers) kita telah memilih ‘bhineka tunggal ika” sebagai semboyan nasional, yang berarti berbeda-beda, tetapi tetap satu jua sebagai perekat dari keberagaman. semboyan ini lahir sebagai refleksi atas realitas kemajemukan bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar kemajemukan itu tidak memicu disintegrasi, tapi justru menjadi tlang-tiang penyangga bagi hadirnya sebuah bangsa yang kokoh.
Salah satu bentuk keaneka ragaman bangsa ini adalah keanekaragaman dalam budaya spiritual yang hingga kini masih bertahan hidup, sebagai puncakpuncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh indonesia. dan puncak-puncak kebudayaan itu hendaklah diartikan sebagai unsur-unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah.
kita sadar bahwa untuk melestarikan kebudayaan, kita perlu melihat keterkaitan pembangunan dengan budaya. kebudayaan bukanlah sesuatu yang berada di luar pembangunan, bukan unsur eksternal, melainkan unsur internal yang menentukan makna dan arah ke mana pembangunan itu dijalankan. dengan kata lain budaya adalah suatu strategi bagaimana merencanakan dan menentukan langkah-langkah dalam
mencapai tujuan ada beberapa dimensi yang perlu dilihat hubungan antara pembangunan dengan warisan budaya.
Pertama: mental pembangunan, mengembangkan mental pembangunan memerlukan nilal-nilai budaya yang diaplikasikan dalam pribadi manusia, yaitu nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan dan kekuatan alam, nilai budaya yang memandang tinggi hasil karya manusia dan nilai budaya yang mendorong pada kemandirian dan rasa percaya dlrl.
Kedua : emosi kemanusiaan, dalam kehidupan seharl-hari ekspresi kemanusiaan berbeda antara satu budaya dengan budaya lain. ada beberapa emosi kemanusiaan yang mulai mengabur dan perlu dilestarikan dan dimanfaatkan kembali yaitu sikap sopan santun yang dilandasi oleh norma dan moral nilai budaya, keselarasan hidup bersama dan berdampingan, kerukunan yang teruwujud dalam kedamaian dan gotong royong, kasih sayang dan kekeluargaan di antara sesama anggota kelompok masyarakat dan rasa malu untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma budaya.
“Dalam budaya Buton, hal ini dikenal dengan Sarapatanguna yang dapat diartikan sebagai 4 (empat) norma yang harus dipedomani oleh seluruh masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa bernegara dan berketuhanan,” imbuhnya. (**)