BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan sehari-hari.
Secara administrasi, kepulauan itu bernama Kabupaten Wakatobi yang mendeklarasikan sebagai kabupaten maritim pertama di wilayah nusantara. Catatan sejarah menunjukkan ada hubungan erat antara Kesultanan Buton dengan kehidupan masyarakat di Kepulauan Pandai Besi ini.
Sebagai salah satu ”Bali baru” dari 10 Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata yang dicanangkan sebagai destinasi wisata unggulan, menyambangi Wakatobi menjadi daftar wajib kunjungan saya setelah menuntaskan kunjungan terakhir di Raja Ampat. Keunggulan potensi alam Wakatobi yang secara geografis terdiri atas 97% lautan dan 3% daratan berpusat di kekayaan hayati bawah laut.
Namun, ada potensi lain yang bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Wakatobi. Tidak seperti wisata bawah air yang menyasar wisatawan minat khusus, wisata daratan yang berkaitan dengan keindahan alam dan kekhasan budaya lokal menjadi objek menarik pula bagi wisatawan. Pilihan lain bisa menjumpai atraksi sekawanan lumba lumba di perairan Kapota.
Menjadi sebuah pertanyaaan, bagaimana rupa budaya ini terbentuk dan menjadi tradisi di masyarakat Kepulauan Wakatobi ini? Tentu ada benang merah sejarah yang melatari dan menarik disusuri ke masa lalu. Ketertarikan awal didasari dari kunjungan ke Benteng Liya Togo, sebagai sisa peninggalan Kesultanan Buton di Pulau Wangi Wangi.
Jejak sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Wangi Wangi ditandai dengan berdirinya Masjid Mubarak di sisi barat sebuah lapangan. Sebelah Timur terdapat baruga, semacam balaurang tempat pertemuan petinggi kuasa Liya. Ada tradisi yang berlangsung sampai saat ini, lapangan Kampung Liya Togo dipakai untuk tradisi baku tendang (posepa) setelah perayaan Idulfitri. Asal usul tradisi ini untuk melatih keterampilan pasukan pengawal pertahanan di Benteng Liya Togo.
Seperti halnya peninggalan benteng-benteng lain di nusantara, Benteng Liya Togo sebagai benteng pertahanan terluar dari Kesultanan Buton dilengkapi senjata tangguh pada masanya, berupa meriam. Dari penuturan pemandu perjalanan, Benteng Liya Togo memiliki tiga meriam, yaitu meriam ronsokoloku (meriam sapu bersih), meriam manangi (meriam penyemangat), dan meriam buli (meriam anus).
”Mungkin meriam ketiga ini yang paling ditakuti. Ketika meriam buli dibunyikan maka serdadu musuh dibikin kocar kacir karena urusan buang hajat,” ucap Nouval, teman perjalanan sambil berkelakar.
Spontan saya menimpali, ”Inilah senjata yang paling humanis, tanpa pertumpahan darah dan mungkin tak akan ada korban jiwa akibat perang.”
Setelah tuntas menyusuri kawasan benteng, saya diajak berkunjung ke rumah warga untuk mencicipi kudapan lokal. Segelas sampalu, sejenis minuman terbuat dari asem jawa, mampu mengusir dahaga, dan sanggarabanda, kudapan pengganjal rasa lapar yang mengingatkan saya akan kue putri noong, jajanan khas Jawa Barat. Kudapan tersebut kerap disuguhkan bagi wisatawan yang berkunjung ke Kampung Liya Togo.
Menyapa mamalia cerdas
Sehabis salat Subuh, dari penginapan kami bergerak untuk melanjutkan perjalanan ke Sombu Jetty, tempat perahu yang akan mengantar kami menjumpai lumba-lumba di perairan Kapota bersandar. Tanpa membuang waktu, perahu kami naiki dan penumpang mulai menyiapkan kamera dan gadget untuk merekam kegiatan perjumpaan ini.
Di perairan Kapota ini dapat dijumpai dua jenis lumba-lumba, yaitu lumba-lumba hidung botol dan lumba-lumba risso. Sekitar 2 kilometer dari garis pantai, sudah terlihat pergerakan lumba-lumba.
”Lihat ke arah pukul 2,” kata sang pengemudi kapal berseru.
Di kejauhan, lumba-lumba melompat di atas permukaan laut. Di sekitarnya, beberapa kapal melakukan ”perburuan” serupa. Rasa khawatir timbul seandainya pengemudi kapal-kapal itu lepas kontrol dan bertabrakan. Lumba-lumba semakin dikejar semakin sulit didekati.
Perahu-perahu bergerak zigzag mengejar mendekati kawanan lumba-lumba untuk mendapatkan momen foto terbaik. Waktu berlalu tidak terasa, sang fajar sudah meninggi. Golden hour pertunjukkan sang mamalia laut ini segera berakhir. Rasa lelah mendera, saking sulitnya mendapat hasil foto yang baik, kami memutuskan untuk tidak memaksakan mendekati sang mamalia laut yang cerdas ini. Tanpa diduga, sekawanan lumba lumba mendekati kami seakan-akan menyapa kami di haluan kapal. Akhirnya momen kedekatan ini dapat kami abadikan dalam beberapa bingkai foto.
Merenungkan kembali kisah persahabatan manusia dan lumba-lumba, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga dan melestarikan habitat hidupnya. Menjumpai di habibatnya menjadi sebuah pilihan bijak.
Panduan Perjalanan
Demi kenyamanan dan keselamatan untuk mengunjungi 4 pulau besar dan pulau kecil lainnya, kunjungan ke Wakatobi disarankan mulai Oktober sampai awal Desember
Bagi pengunjung dengan menggunakan moda umum bisa menggunakan transportasi udara dari Makassar dan Kendari menuju Bandara Matahora di Pulau Wangi Wangi atau transportasi udara dengan pesawat sewa dari Bali dengan membeli paket diving menuju Pulau Tomia.
Pilihan transportasi laut dapat dilakukan dari Kendari atau Bau Bau menuju pelabuhan Wanci di Pulau Wangi Wangi.
Bagi pengunjung yang membutuhkan sarapan pagi khas Wakatobi, dapat mengunjungi kedai Nirwana di Jalan Jenderal Sudirman, yang menyediakan soto ayam dan gado gado khas Wakatobi.
(Kunkun Kurniawan, bekerja di C59, pejalan dan penyuka gowes tamasya)**