SESUDAH Dungku Cangia—Sangia Dungku yang dari Mongol mendarat di Sulaa ia bangunlah kemudian Tobhe-Tobhe. Datang menyusul juga seorang pembesar dari tanah Jawa, ia disebut tersisih di sana dalam upayanya menaiki tahta Majapahit.
Adalah Si Panjonga nama pembesar itu, datang di Buton dikawal Sijawangkati—sesorang yang dalam kisah lisan orang Lipu dinamai Parabhela Mancuana. Mereka melepas sauhnya di Kalampa dan lalu menuju daerah berbukit yang kemudian dinamainya La Bhaalawa, ia membangun perkampungan yang bersisian dengan Tobhe-Tobhe dan menjadi rajanya di sana dalam gelarnya: Sangia La Bhaalawa.
Tobhe-Tobhe dan La Bhaa Lawa diperandai sebagai “keadaan perempuan melahirkan”. Tobhe-Tobhe adalah ketuban, jika ia sudah pecah maka itu pertanda sebuah lagi kehidupan, jalan keluarnya melalui yang dinamai La Bhaa Lawa. Sebagaimana Tobhe-Tobhe yang adalah ketuban (Tutuba dalam bahasa setempat), La Bhaalawa pun adalah berarti "pintu gerbang" atau "pintu utama". Bhaa berarti kepala, Lawa adalah pintu/gerbang.
Adalah Si Panjonga nama pembesar itu, datang di Buton dikawal Sijawangkati—sesorang yang dalam kisah lisan orang Lipu dinamai Parabhela Mancuana. Mereka melepas sauhnya di Kalampa dan lalu menuju daerah berbukit yang kemudian dinamainya La Bhaalawa, ia membangun perkampungan yang bersisian dengan Tobhe-Tobhe dan menjadi rajanya di sana dalam gelarnya: Sangia La Bhaalawa.
Tobhe-Tobhe dan La Bhaa Lawa diperandai sebagai “keadaan perempuan melahirkan”. Tobhe-Tobhe adalah ketuban, jika ia sudah pecah maka itu pertanda sebuah lagi kehidupan, jalan keluarnya melalui yang dinamai La Bhaa Lawa. Sebagaimana Tobhe-Tobhe yang adalah ketuban (Tutuba dalam bahasa setempat), La Bhaalawa pun adalah berarti "pintu gerbang" atau "pintu utama". Bhaa berarti kepala, Lawa adalah pintu/gerbang.
Sebagai Tutuba itu maka Tobhe-Tobhe adalah yang paling mula dari segala-gala, ketuban mendahului keluar sebelum lain-lainnya, keluarnya itu melaluilah Bhaa Lawa. Demikianlah narasi Tobhe-Tobhe dan La Bhaalawa, dibangun memakai persalinan wanita sebagai tamsil perandaiannya.
Karena kedekatan dalam tamsil perandaian itu, kelak seteru mulai dibangun tidak dengan permusuhan dan peperangan tetapi dengan perkawanan dan perkawinan, intrik dihampar memakai muslihat dalam gerak senyap yang merangkak-rangkak memakai diplomasi marital itu.
Sipanjonga yang adalah penguasa (Sangia) di La Bhaalawa berhasrat meluaskan pengaruh dan daerah kuasanya. Ia memulai inisiatif penyatuan itu dengan mendatangi Kamaru. Ia mengirim Sijawangkati sebagai perutusannya ke Kamaru, perintahnya tandas: “Kalau Betoambari tak diterima raja Kamaru sebagai mantu, perangi dan taklukkan negeri itu”
Jika dengan Kamaru ia begitu mudah mengirim anaknya Betoambari menikahi putri raja Kamaru Wasugirumpu, tidaklah hal serupa dapat dilakukannya terhadap Tobhe-Tobhe.
Raja Tobe-Tobe Dungku Cangia—Sangia Dungku—Koo Sii—La Bukutorende bukan sembarang orang, ia adalah orang kuat dan keras dalam mengambil sikap, tidak hanya kuat pada fisiknya, ia juga keras dalam berpendirian.
Sulit benar ia dibujuk, bahkan sekalipun Si Panjonga konon telah merajuknya, memintanya dengan sepenuh penghormatan. Ia tegas menolak dipersatukan dalam semacam unifikasi dengan kerajaan lainnya sebagaimana keinginan Si Panjonga.
Aral telah melintang dalam mata Si Panjonga, dan Dungku Cangia menjadi kotoran merintang yang menggangu pandangannya, ia segera harus bisa dibersihkan, bahkan sekalipun dengan memakai segala cara apapun.
Si Panjonga dan Dungku Cangia tak sekali bertarung fisik, menaruhkan nyawa masing-masing sudahlah terlalu sering. Setiap kali bertarung fisik itu tak adalah pemenangnya, selalu saja ujungnya akhirnya sepakat berdamai belaka.
Sampai sebuah persaingan begitu alot kerasnya, terbawa sampai ke galampa dewan sara, Si Panjonga menantang dan menentang Dungku Cangia pada pengangkatannya kembali sebagai raja Tobe-Tobe.
Tapi tiga kali ayam putih betina dilayang-terbangkankan ke udara, ia selalu mencari pundak Dungku Cangia sebagai tempat turun sandar bertenggernya. Itu artinya Dungku Cangia memenangi pertarungan itu, dan Si Panjonga harus kembali ke La Bhaalawa membawa segunung kecewa karena kekalahannya.
Siasat kemudian mulailah disusun secermatnya, muslihat dihampar sebagai jalannya. Si Panjonga mendatangi Dungku Cangia yang sedang dalam pesta meminum arak.
Dungku Cangia menjamu Si Panjonga sebagai selayaknya tamu istimewa, secara terhormat ia diperlakukan, arak terbaik dipilihkan untuknya, gelas berbahan emas turut disertakan sebagai cawan minum kawannya itu.
Tapi Si Panjonga menolak meminum arak dari cawan gelas berbahan emas itu, ia meminta sedaun talas saja sebagai wadah meminum araknya.
Sampai tenggakan keenam, ia rasai tenggorokannya mulai "basah", berkata: "Hai Dungku Cangia kau rasailah juga nikmat meminum arak dari sedaun talas.
Dungku Cangia menerima tawaran sahabatnya itu, ia melepas cawan emasnya, menggantinya dengan sedaun talas, cawan berian kawan nya itu.
Baru hendak mengangkat untuk menenggak, lebar sedaun talas telah menutup wajahnya, juga menghalangi pandangannya dari melihat segala apapun di hadapannya. Ia tak awas.
Pedang sekelebat menyasar lehernya, datang secepat kilat menebasnya, memenggal kepalanya sebelum ia sempat menenggak setegukpun araknya.
Riuhlah suasana, tunggang langgang semua orang lari, mencari selamat, siapakah yang berani melawan Si Panjonga? Seorang yang karena saktinya juga dinamai Sangia La Bhaalawa itu?
Si Panjonga memang tak adalah lawannya, lawannya hanyalah kawannya sendiri yang dengan bengis telah dibunuhnya secara licik itu. Kepala Dungku Cangia yang telah terpenggal, tanggal dari badannya dibawa Si Panjonga dengan disepak dari Tobhe-Tobhe sampai ke La Bhaalawa, digelindingkannya kepala raja Tobhe-Tobhe itu memakai kaiknya seperti bola yang disepak.
Itulah mengapa permainan sepak raga terlarang di Tobhe-Tobhe, bahkan sampai sekarang tak boleh itu dilakukan, sebaliknya, sepak raga menjadi tradisi yang wajib harus dilakukan dalam setiap ritual seusai musim panen di makam Si Panjonga Sangia La Bhaalawa di La Bhaalawa.
***
Sesudah Dungku Cangia dibunuh, Tobhe-Tobhe pun jatuh, berdirilah sebuah kerajaan unifikasi yang besar. Pusatnya ditunjuk di Wolio, daerah strategis yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari La Bhaalawa, daerah tempat Si Panjonga mengatur dan mengendalikan segala-gala.
***
HANYA ada tiga negeri disebut sebagai yang paling mula mendiami selatan dan timur pulau Buton, dan ketiganya adalah dalam otoritas kekuasaan kerajaan Tobhe-Tobhe. Ketiga negeri itu adalah Wabula, Kabelengkao (La Pandewa), dan Burangasi. Wabula dan Kabhelengkao (La Pandewa) bahkan diberi kewenangan sebagai pasukan pertahanan kerajaan Tobhe-Tobhe.
Karena orang-orang Kabhelengkao mempunyai keahlian dalam “memukul” setiap musuh—terutama bajak laut yang melalui wilayah selatan pulau Buton, dinamailah mereka La Pande Ewa—Mereka yang pandai dalam melawan. La Pande Ewa itulah namanya sampai kini.
***
DI Sempa-Sempa, La Pandewa saya menemukan simpul yang menautkan begitu dekatnya kelompok beretnis Pancana dan Cia-Cia dengan Tobe-Tobe. Simpul penaut itu tak hanya dekatnya digambarkan sebagai serupa pilinan dua temali disatukan bahkan juga diikat dalam simbol-simbol berupa batu asah dan beberapa bedil pusaka tinggalan pemberian La Bukutorende—Dungku Cangia—Sangia Dungku—Koo Sii, Raja Tobe-Tobe.
La Juma, Parabhela La Pandewa di Sempa-Sempa bahkan menyebut Tobhe-Tobhe sebagai induk dua negeri “Matana Sorumba”: Wabula dan La Pandewa, bukti-bukti narasi lisan kolektif masyarakat di Pancana (Wasilomata dan Bombonawulu) bahkan lebih jauh menyebut bahwa keempat negeri “Matana Sorumba” secara genealogi berinduk pada Tobhe-Tobhe.
Menjadilah saya mafum bahwa bangunan aliansi yang pernah begitu dekat terjalin diantara Wabula—La Pande Ewa—Watumotobe—Wasilomata—Bombonawulu—Lakudo—Siompu Kaimbulawa yang diinisiasi raja Pancana La Kilaponto dan Raja Wabula Kumaha tak hanya dipertautkan oleh tujuan yang sekepentingan untuk mengambil kuasa, jauh dari itu sebenarnya karena adanya pertautan genealogis sebagai semuanya adalah “anak-anak” Tobhe-Tobhe.
La Pandewa terbagi kini dalam lima kelompok komune adat, masing-masing kelimanya itu adalah Sempa-Sempa, Kaindea, Tambunaloko, Rongi, dan Kaongke-Ongkea. Dalam narasi lisan orang Sempa-Sempa, muasal datang seluruh komune adat itu adalah di Kabhelengkao, sebuah negeri di atas gunung yang menyela dua teluk strategis di selatan pulau Buton: teluk Sampolawa di utara, dan teluk La Pandewa di selatannya.
Menurut narasi lisan orang La Pandewa di Sempa-Sempa, negeri—Bharangka Kabhelengkao telah ada jauh sebelum kerajaan Buton berdiri. Ketika kerajaan Buton didirikan oleh Mia Patamiana pada sekira tahun 1332 Masehi dengan menunjuk Wa Kaa Kaa sebagai Raja Kesatu, di Kabhelengkao sedang menjabat seorang bernama Kawilanggadi, ia adalah Parabhela Kabhelengkao ke-IX.
Periode datang manusia yang kemudian menghuni Bharangka Kabhelengkao dibagi pada setidaknya empat periode. Tidak diketahui periode paling mula manusia yang datang di Kabhelengkao berasal dari negeri mana, hanya diceritakan dalam narasi kolektif di sana bahwa manusia-manusia pendatang paling mula itu datang dari negeri terjauh dan kemudian tinggal berkumpul dengan para mahluk gaib penghuni pulau Buton.
Barulah periode kedua datangnya manusia yang menghuni Kabhelengkao, disebut berasal dari Kaili, negeri pedalaman di tengah Sulawesi, menyusul juga datang dalam periode itu sekelompok komune manusia dari Adonara Nusa Tenggara Timur. Terjadi kemudian proses marital kawin mawin dan saling membaur di antara dua rombongan pendatang itu, dan ketika jumlah mereka semakin besar, dibuatlah satu pemukiman di Kabhelengkao dilengkapi dengan perangkat—semacam sistem kelembagaan tradisional yang mengatur komune semua mereka.
Periode ketiga, datang seorang yang terkenal memiliki kesaktian. Ia mengajak dan mengajar masyarakat membuat benteng pertahanan di Kabhelengkao. Seorang sakti itu dinamai La Katantawulu. Ia disebut mengalahkan para bajak laut yang selalu menyebar gangguan di sepanjang pesisir teluk La Pandewa. Karena kesaktiannya itu semua senjata tak mempan melukai kulit dagingnya, hanya bulu-bulu di badannya saja gugur berjatuhan terkenai sabetan atau tombakan musuhnya, dinamailah La Katantawulu itu, yang kira-kira berarti: “Dia yang hanya berguguran bulu-bulunya”
Periode keempat, datanglah juga seorang tokoh besar di sana, namanya bahkan sampai kini dibuat mistis dan dimitoskan di Lapandewa, dinamai ia La Bukutorende, dialiasi sebagai La Diamu. Ia menikahi puteri ketua adat Kabhelengkao bernama Wa Salamu. Dialah ini yang membuka negeri Tambunaloko dan Kaindea sebagai tempat berkebunnya. Orang-orang yang kemudian menjadi penghuni Tambunaloko tempat La Bukutorende berkebun itu diambil dari rombongan Si Malui—salah seorang tokoh Mia Patamiana setelah keduanya bertarung dan akhirnya berdamai setelah tak bisa saling mengalahkan.
La Bukutorende tinggal di Kabhelengkao untuk beberapa saat lamanya. Di sana, ia mengajarkan masyarakat Kabhelengkao tentang tatacara membuat rumah, membangun rumah adat (baruga) dan membuat benteng di sekitar teluk La Pandewa yang panjangnya menjulur dari barat pantai La Pandewa di pesisir landaian gunung Kabhelengkao sampai di timur pantai La Pandewa. (La Yusrie)