BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah tentang Sultan Mardan Ali, seorang sultan yang dikenal cerdas namun kemudian terhukum mati, dan kini makamnya berada di Pulau Makasar- pulau kecil di teluk Baubau.
Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.
Lalu siapa sebenarnya Sultan Mardan Ali?
Sultan Mardan Ali atau La Cila lahir pada 5 hari bulan Maulid Tahun 980 Hijriah (1573 M). Tanggal kelahiran Sultan Mardan Ali tidak diketahui secara pasti, baik dari sumber lisan maupun tulisan. Mardan Ali merupakan putra Sultan Buton keempat Dayanu Iksanuddin atau La Elangi. Ibunya bernama Darmastahi Putri Sultan La Sangaji.
Mardan Ali memiliki saudara kandung antara lain: La Bhalawo Sultan Buton ke-5 (1631-1632). La Bhalawo juga dikenal dengan sebutan Abdul Wahab, dan La Tumpamana atau Syamsuddin Sultan Buton ke-12.
Keluarga Mardan Ali adalah penganut agama Islam yang fanatik. Mardan Ali atau La Cila menikah dengan Wa Ode Subu Putri Sapati La Nisuru dari hasil penikahan ini, dikaruniai beberapa anak yaitu masing-masing bernama Wa Ode Safura dan Wa Ode Bha’u”. Mardan Ali bersama kelurganya bertempat tinggal di Buton. (Al Mujazi Mulku Zahari, wawancara 19 Januari 2019).
La Cila pada masa kecilnya pernah mengalami sakit keras yang hampir saja membawa kematiannya. Dengan demikian La Elangi ayah La Cila memanggil seorang Tabib Kesultanan Buton yaitu Abdulah Mojina Kalau untuk mengobati dan menghidupkapkan kembali putranya La Cila. dengan pertolongan yang Maha Kuasa serta ilmu kebatinan dan kesaktian yang di miliki oleh Mojina Kalau La Cila dapat di sembuhklan dari sakitnya dengan prosesnya sendiri.
Penyakit La Cila berpindah pada seekor ayam jantan putih, melalaui selembar benang yang diikatkan pada pada kaki ayam itu dan ujungnya yang lain dimasukkan ke dalam lubang hidung La Cila begitulah La Cila bergerak siuman, ayam jantan itu mati seketika.
Tetapi Mojina Kalau menyampaikan kepada ayah La Cila La Elangi bahwa, “kini anakmu La Cila telah kembali hidup melalui seutas benang tapi kelak sabaliknya akan mati melalui selembar benang atau seutas benang”. (Al Mujazi Mulku Zahari, wawancara 19 Januari 2019).
Sejak saat itu La Cila menjadi murid mengaji dari Mojina Kalau sampai pada pelajaran ilmu kebatinan.
Sejak kecil, Mardan Ali atau La Cila telah mempunyai keberanian untuk menentang sesuatu yang dianggap tidak benar, Mardan Ali atau La Cila mempunyai pendirian yang kuat, teguh dalam prinsip, serta berani dalam mengambil tindakan yang di anggap benar.
Mardan Ali mendapat didikan dari para pejabat tinggi Kesultanan, dan juga dari paman-pamannya yang semuannya bergelar “Sangia” yang dianggap mulia dan keramat. Sifat La Cila yang tangkas dan cerdas menjadikannya terkemuka dikalangan kaumnya di Buton.
Mardan Ali atau La Cila dipandang sebagai pahlawan oleh kaumnya di Buton, karena sejak masih muda dia telah mengabdikan dirinya pada Kesultanan Buton. sejak masa pemerintahan Sultan La Buke dan Sultan La Saparagau, La Cila telah menjabat sebagai Kapitalao dan panglima wilayah Timur Kesultanan Buton dan berbulan-bulan beroperasi di Maluku.
Kapitalao adalah jabatan yang dipegang oleh golongan bangsawan dengan tugas utamanya sebagai mentri pertahanan dan panglima perang yang dipegang oleh dua orang yaitu Kapitalau Sukanaeo (Barat), sedangkan Kapitalau Matanaeo (Timur) dalam tugas pengamanan apabila terjadi gangguan keamanan. Kapitalau bertindak tegas tanpa menunggu komando atau perintah dari dewan syara.
Syara adalah Majelis Kesultanan dilihat dari segi kedudukan, jabatan dan keanggotaannya. Mardan Ali atau La Cila selaku Kapitalao dan panglima wilayah Timur Kesultanan Buton serta kehadirannya pada saat itu berasal dari keluarga istana dan merupakan anak dari Sultan Dayanu Ikhsanuddin seorang pemimpin yang cerdas, arif, bijak dan memiliki pengalaman sering melakukan pelayaran dari kerajaan menuju kerajaan lainya.
Tugas dan tanggung jawab kapitalau ini cukup strategis bagi Kesultanan Buton, karena selain tetap menjaga keamanan juga sekaligus harus mampu menjadi duta-duta bangsa dalam menjalin hubungan dengan dunia luar, khususnya dalam memperlancar perdagangan antara daerah-daerah dan menjalin hubungan dengan kerajaan lain seperti, Konawe, Tiworo dan Muna. (Al Mujazi Mulku Zahari, wawancara 19 Januari 2019 Pukul 10.00-12.00 WITA).
Setelah Sultan La Buke dipecat dari jabatannya sebagai Sultan ke-6, di gantikan oleh La Saparagau sebagai sultan ke-7. Pada masa pemerintahan Sultan La Saparagau La Cila masih menjabat sebagai Kapitalau dan panglima wilayah Timur kesultanan Buton. Tetapi tidak lama setelah Sultan La Saparagau menjabat, dia diturunkan dari tahta.
Setelah Sultan ke-7 diturunkan dari jabatannya, putra Sultan La Elangi yaitu La Cila diangkat sebagai Sultan Buton ke-8 dan dilantik oleh Bhonto Siolimbona pada 15 Zulqaidah 1057 Hijriah Tahun 1647 dan diberi gelar “Sultan Mardan Ali”. (zah)
Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.
Lalu siapa sebenarnya Sultan Mardan Ali?
Sultan Mardan Ali atau La Cila lahir pada 5 hari bulan Maulid Tahun 980 Hijriah (1573 M). Tanggal kelahiran Sultan Mardan Ali tidak diketahui secara pasti, baik dari sumber lisan maupun tulisan. Mardan Ali merupakan putra Sultan Buton keempat Dayanu Iksanuddin atau La Elangi. Ibunya bernama Darmastahi Putri Sultan La Sangaji.
Mardan Ali memiliki saudara kandung antara lain: La Bhalawo Sultan Buton ke-5 (1631-1632). La Bhalawo juga dikenal dengan sebutan Abdul Wahab, dan La Tumpamana atau Syamsuddin Sultan Buton ke-12.
Keluarga Mardan Ali adalah penganut agama Islam yang fanatik. Mardan Ali atau La Cila menikah dengan Wa Ode Subu Putri Sapati La Nisuru dari hasil penikahan ini, dikaruniai beberapa anak yaitu masing-masing bernama Wa Ode Safura dan Wa Ode Bha’u”. Mardan Ali bersama kelurganya bertempat tinggal di Buton. (Al Mujazi Mulku Zahari, wawancara 19 Januari 2019).
La Cila pada masa kecilnya pernah mengalami sakit keras yang hampir saja membawa kematiannya. Dengan demikian La Elangi ayah La Cila memanggil seorang Tabib Kesultanan Buton yaitu Abdulah Mojina Kalau untuk mengobati dan menghidupkapkan kembali putranya La Cila. dengan pertolongan yang Maha Kuasa serta ilmu kebatinan dan kesaktian yang di miliki oleh Mojina Kalau La Cila dapat di sembuhklan dari sakitnya dengan prosesnya sendiri.
Penyakit La Cila berpindah pada seekor ayam jantan putih, melalaui selembar benang yang diikatkan pada pada kaki ayam itu dan ujungnya yang lain dimasukkan ke dalam lubang hidung La Cila begitulah La Cila bergerak siuman, ayam jantan itu mati seketika.
Tetapi Mojina Kalau menyampaikan kepada ayah La Cila La Elangi bahwa, “kini anakmu La Cila telah kembali hidup melalui seutas benang tapi kelak sabaliknya akan mati melalui selembar benang atau seutas benang”. (Al Mujazi Mulku Zahari, wawancara 19 Januari 2019).
Sejak saat itu La Cila menjadi murid mengaji dari Mojina Kalau sampai pada pelajaran ilmu kebatinan.
Sejak kecil, Mardan Ali atau La Cila telah mempunyai keberanian untuk menentang sesuatu yang dianggap tidak benar, Mardan Ali atau La Cila mempunyai pendirian yang kuat, teguh dalam prinsip, serta berani dalam mengambil tindakan yang di anggap benar.
Mardan Ali mendapat didikan dari para pejabat tinggi Kesultanan, dan juga dari paman-pamannya yang semuannya bergelar “Sangia” yang dianggap mulia dan keramat. Sifat La Cila yang tangkas dan cerdas menjadikannya terkemuka dikalangan kaumnya di Buton.
Mardan Ali atau La Cila dipandang sebagai pahlawan oleh kaumnya di Buton, karena sejak masih muda dia telah mengabdikan dirinya pada Kesultanan Buton. sejak masa pemerintahan Sultan La Buke dan Sultan La Saparagau, La Cila telah menjabat sebagai Kapitalao dan panglima wilayah Timur Kesultanan Buton dan berbulan-bulan beroperasi di Maluku.
Kapitalao adalah jabatan yang dipegang oleh golongan bangsawan dengan tugas utamanya sebagai mentri pertahanan dan panglima perang yang dipegang oleh dua orang yaitu Kapitalau Sukanaeo (Barat), sedangkan Kapitalau Matanaeo (Timur) dalam tugas pengamanan apabila terjadi gangguan keamanan. Kapitalau bertindak tegas tanpa menunggu komando atau perintah dari dewan syara.
Syara adalah Majelis Kesultanan dilihat dari segi kedudukan, jabatan dan keanggotaannya. Mardan Ali atau La Cila selaku Kapitalao dan panglima wilayah Timur Kesultanan Buton serta kehadirannya pada saat itu berasal dari keluarga istana dan merupakan anak dari Sultan Dayanu Ikhsanuddin seorang pemimpin yang cerdas, arif, bijak dan memiliki pengalaman sering melakukan pelayaran dari kerajaan menuju kerajaan lainya.
Tugas dan tanggung jawab kapitalau ini cukup strategis bagi Kesultanan Buton, karena selain tetap menjaga keamanan juga sekaligus harus mampu menjadi duta-duta bangsa dalam menjalin hubungan dengan dunia luar, khususnya dalam memperlancar perdagangan antara daerah-daerah dan menjalin hubungan dengan kerajaan lain seperti, Konawe, Tiworo dan Muna. (Al Mujazi Mulku Zahari, wawancara 19 Januari 2019 Pukul 10.00-12.00 WITA).
Setelah Sultan La Buke dipecat dari jabatannya sebagai Sultan ke-6, di gantikan oleh La Saparagau sebagai sultan ke-7. Pada masa pemerintahan Sultan La Saparagau La Cila masih menjabat sebagai Kapitalau dan panglima wilayah Timur kesultanan Buton. Tetapi tidak lama setelah Sultan La Saparagau menjabat, dia diturunkan dari tahta.
Setelah Sultan ke-7 diturunkan dari jabatannya, putra Sultan La Elangi yaitu La Cila diangkat sebagai Sultan Buton ke-8 dan dilantik oleh Bhonto Siolimbona pada 15 Zulqaidah 1057 Hijriah Tahun 1647 dan diberi gelar “Sultan Mardan Ali”. (zah)