TIADA bangsawan seorang pun di Buton yang dipilih sebagai sultan dua kali masa jabatan, kecuali hanyalah La Karambau. Anak la Umati--Sultan Buton ke- 13 ini adalah bangsawan tanailandu ke-13 yang naik tahta pada 1750--1752 periode pertama dan 1760--1763 periode keduanya.
Catatan : La Yusrie, MA – Penggiat Sejarah Buton
Beberapa jabatan penting diembannya sebelum naik menjadi sultan: Lakina Lakudo, Lakina Kambowa, Kapitalao matanaeyo. Sejak kecil ia memang telah menunjukan bakatnya, ia cerdas dan kuat, berbadan tinggi besar, punya wibawa dan nyali yang juga besar, tetapi ia pun seorang yang rendah hati, komposisi paling ideal seorang pemimpin.
Ia tegas menolak saran Sara kesultanan agar berlaku lembut saja terhadap Belanda untuk menghindari perang. Lebih memilih ia meletakan jabatannya, keluar istana meneruskan berjuang, melawan belanda di gunung siontapina.
***
“… waar de jongst oorlog expeditie naar Bouton onder het gezaag van den te Macassar
militerende Captain Rejisweber” (Arsip Makassar No.73 tahun 1755—1756)
“…ekspedisi perang yang mutakhir (adalah) ke Buton di bawah kewenangan Kapten Rejisweber dari kemiliteran di Makassar…”
***
SELEMBAR kertas dalam bentuk kuitansi melayang dari Fort Rotterdam--Benteng Rotterdam, tempat Belanda bermarkas di Makassar, isinya adalah rincian biaya ekspedisi militer ke Buton. Kuitansi itu bertanggal 30 Mei 1755 dan diteken oleh kepala kemiliteran VOC Belanda di Makassar Kapten Johan Casper Rijsweber. Total biaya ekspedisi militer itu tercatat cukup besar, sejumlah 108:19,2 Rijksdalder.
Ekspedisi militer Belanda ke Buton disebabkan oleh perompakan di teluk Baubau yang dilakukan orang-orang Buton dan Bugis terhadap Rust en Werk, sebuah kapal militer Belanda yang singgah di Buton dalam pelayarannya dari negeri rempah Maluku.
Penyerangan kapal Belanda itu terjadi dimasa La Karambau menjadi sultan Buton, Belanda menuntut ia bertanggungjawab, dianggap telah lalai dan mengabaikan kontrak-kontrak Buton dengan VOC terdahulu yang berisi kesepakatan untuk saling melindungi.
***
KAPAL militer Belanda Rust en Werk memasuki laut teluk Baubau yang teduh dalam musim timur yang cerah di akhir bulan Juni 1752, bersusulanlah ke angkasa dentuman bunyi tembakan salvo saling sahut berbalas dari moncong meriam yang ditembakan dari geladak kapal Rust en Werk dan dua lodji bikinan Belanda di depan pelabuhan Baubau. Tembakan salvo berbalasan itu adalah sebuah kode pertanda hubungan sebagai “sekutu” yang masih terjaga.
Relasi Buton—Belanda dimulanya adalah sebagai bersekutu itu, ada kesetaraan sebagai “state” dikeduanya. Lalu tak lama, hubungan itu bersalin rupa menjadi “Ayah—Anak” yang tampaknya disitulah mulanya pangkal tiadanya lagi berkedudukan setara dikeduanya.
Belanda sebagai yang diperayah dan Buton yang diperanak. Belanda sebagai yang dipertuan dan Buton yang mempertuan. Sekalipun tiada setara, simbol sebagai kesatuan yang tiada berpisah terus kuat terjalin, sebelum kemudian Belanda dengan cerdik menelikung dan berlaku curang, menyempal dengan masuk “menikam dalam selimut”.
Dari “balik layar" gelap yang senyap, Belanda dengan cerdik, pun licik “bermain-main”: mengatur Buton semau keinginannya. Sultan La Karambau gerah dan lalu mulai berang, ia berani melawan "Ayah" yang adalah "tuan" nya itu.
Belanda terkejut dan lalu menunjukan muka kecut, berani betul sultan ini melawan dan berseberangan kehendak mereka. Sebuah peringatan kemudian dikirimkan ke Buton, isinya adalah mengingatkan kontrak-kontrak sebelumnya yang sudah diteken bersama. Belanda menuntut kepatuhan Buton terhadap isi kontrak-kontrak itu.
Tapi La Karambau berkeras, ia tak peduli, ia melihat ketidakadilan, melihat kezaliman yang telah dianggap sebagai kelaziman. Ia melawan sepenuh kekuatannya sekalipun kemudian harus meletakan jabatannya, juga harus merelakan dua anak cucu nya dibawa pergi sebagai tawanan Belanda.
Sikap melawannya tak surut- surut, terus saja menyala sebagai bara. Dari gunung Siontapina ia melakukan gerilya, mengatur siasat perlawanan, dan ia melawan sampai maut datang mengambilnya, di sana.
***
Awal Juni yang sunyi, sebagaimana biasa, dalam paruh kedua abad keenam belas itu, Belanda adalah tamu terhormat bagi Buton yang selalu kadatangan mereka disambut oleh hiruk pikuk sorai penyambutan dan dentum tembakan salvo sebagai penghormatan.
Sesudah Portugis tersisih di Buton, Belanda datang mengganti mereka, bangsa tempat asal VOC itu dengan cepat menggeser bangsa Eropa lainnya yang telah sebelumnya lebih dahulu membangun kongsi dan perkawanan dengan Buton.
Memang Belanda itu sangatlah pandai mengambil hati pada mulanya, di akhirnya keburukanlah yang sebenarnya dibawa mereka di Buton. Pada mulanya mengambil hati, dengan mudah diberi, lalu di ujung jalan mereka mengingini “jantung”, itupun juga kemudian dengan terpaksa diberi.
Pada awal pertemuan, tiada dilihat oleh Belanda bahwa Buton begitu menarik dan mempunyai banyak potensi, lama kelamaan baru timbul ketertarikan mereka, sejak itu
muncullah keinginan untuk menguasai dan memiliki.
Sesudah berhasil mereka membikin perkubuan dalam klan bangsawan Buton lalu dibuatlah bersaing para klan elite itu, dibuat saling menubruk sesama mereka
Dari kerja mengadu domba itulah Belanda mengambil untung dan perlahan memulai
menancapkan pengaruhnya. Segala-gala terkait urusan kesultanan adalah juga menjadi urusan mereka, bahkan sekalipun dalam soal yang paling krusial dan sensitif: “menunjuk” sultan.
Sultan terpilih tak serta merta dapat langsung dilantik kecuali setelah dilaporkan dan melalui persetujuan Belanda.
***
Tanggal 23 Juni 1752, sultan La Karambau dengan tergesa menaiki tangga kapal Rust en Werk. Ia ditemani oleh dua pengawal, seorang syahbandar dan jurubahasa. Tampaknya sesuatu yang genting tengah akan dirundingkan.
Mazius Tetting, kapten kapal Rust en Werk berdiri tegak di geladak serupa gagak yang terus matanya awas mengamati rombongan La Karambau, ia tampaknya bersiap sekaligus siaga menyambut delegasi kecil Buton itu dengan sepenuhnya waspada.
Sambutan penghormatan yang baik di awal tak diikuti akhir yang baik. Kapten kapal Rust en Werk, Mazius Tetting terkesiap kaget, seorang pesakitan dan residivis yang ia penjarakan di Makassar tetapi bisa lari meloloskan diri,kini telah di hadapannya berdiri mengancamnya dengan badik yang telah telanjang terhunus.
Ia adalah seorang yang oleh Belanda disebut bernama Frans Frans, memimpin 300 lebih orang Buton dan Bugis menyerbu dengan beringas kapal Belanda setelah tiga harmal (tiga hari tiga malam) perundingan Buton—Belanda di dalam kapal itu tak menemukan konklusi dan nihil mencapai jalan selesai.
Alot bukan main perundingan itu, Belanda kukuh dalam sikapnya: meminta ganti rugi atas insiden perompakan terhadap kapal dagang mereka yang sebelumnya dijarah oleh orang-orang Buton dan Bugis di perairan Kabaena, sedang pihak Buton tak juga melunak, hanya menyetujui sebagian dari permintaan yang memaksa dari pihak Belanda itu.
Tak pelak, naas datang dengan telak, insiden tak dapat dielak, keributan dengan cepat berubah menjadi kekacauan yang rusuh, huru-hara pecah di atas kapal, seluruh awak kapal Belanda itu habis dibunuh
bahkanpun juga si Mazius Tetting, komandan dan nahkoda kapal, jatuh sebagai korban tewas, ia ditikam dengan tandas pada kiri dadanya, tepat di pembuluh jantungnya.
Kapal yang megah itu dalam sekejap kemudian menjadilah bangkai, tak bertuan dan kehilangan tuah sebagai kapal militer yang gagah. Seluruh isi dalam lambungnya dikeluarkan, mesiu, bedil dan meriam pada sisi kiri kanannya dipreteli, diangkut semua ke palka, lalu dibawa sebagai barang jarahan.
Bukan main marahnya VOC Belanda ketika kabar perompakan di laut Buton itu sampai ke telinga mereka, Perwakilan Gubernur Jenderal VOC di Makassar sampai harus membatalkan pelayarannya ke Batavia dan memerintahkan ekspedisi militer ke Buton dengan segera.
Dalam warna mukanya yang memerah serupa kepiting rebus karena besarnya marahnya, ia berkali mengumpat dalam Belanda menyebut Buton sebagai anak yang “koppig”: keras kepala.
Ia tak peduli berapa pun biaya yang ditelannya, Buton harus dihukum, karena telah memulai menjadi “anak nakal”. Armada militer disiapkan, bersiap menyerang Buton.
***
19 Februari 1755, arakan kapal-kapal Belanda membelah laut Bulukumba. Tujuh kapal militer Belanda pimpinan Rijsweber meninggalkan Bulukumba menuju Buton, beriringan serupa parade: Huis te Henpad, dSe Paari (chalorp), Gligis (pancallang), Triston (pancallang), de Meermin (chalorp), het Fortuin (chalorp), dan de Arnoldina (chalorp).
Empat hari empat malam dalam pelayaran, tibalah rombongan Rijsweber itu di Buton tepat tanggal 23 Februari 1755 pukul 16.00. Seorang awak kapal naik ke anjungan Huis te Henpad, meneropong pada tiang pancang bendera (kasulana tombi) di Benteng Keraton Buton.
Senyum si peneropong itu tersungging lepas, seperti congkak,l dilihatnya dengan terang bendera Merah Putih Biru melambai terkerek penuh di sana. Menurut A.M. Zahari (II: 124), begitulah adab perkawanan Buton—Belanda, begitu sauh dilepas dan jangkar ditambatkan tembakan salvo sebagai penghormatan (saluutschoten) segera dilepaskan ke udara, juga bendera Belanda dikibarkan sepenuh tiang di Kasulana Tombi Benteng Keraton Buton sebagai penyambutan sehormat-hormatnya.
Sekalipun bendera Belanda naik terkerek penuh di Benteng Keraton Kesultanan Buton, tembakan salvo yang dilepaskan berkali- Kasulana Tombi kali dari kapal Adriana yang ditumpangi Rijsweber tak mendapat balasan dari pihak Buton di darat.
Segera gelagat ini dibaca oleh Rijsweber sebagai “pertanda buruk”. Seorang kwartier-meester (semacam utusan) dari kapal Gligis datang menemui Rijsweber melaporkan keadaan di darat yang seperti “sedang dalam darurat”—genting dan mencekam.
Ia mengatakan bahwa orang Buton rupanya mengetahui rencana penyerangan Kompeni sebab mereka kelihatan dalam keadaan siaga. Tampak batang-batang kelapa dengan ujungnya diruncingkan dijejer membanjar sebagai barikade pagar penghalau telah sempurna dipasang mulai di sepanjang pesisir pantai Baubau hingga ke perbukitan di sekitar Benteng Keraton Buton. Laporan yang mematai juga menyebutkan bahwa lebih lima ribu orang Buton telah dalam siaga (Lightvoet, 1878:78).
Menerima laporan itu, Rijsweber terkesiap, tapi tak kalap, ia tetap tenang di tengah ketegangan, dengan berat ia menarik napas panjang. Para manusia kulit putih ini tak hanya berhidung panjang, mereka pun juga rupanya berakal panjang.
Ketika beberapa orang jurubahasa utusan sultan Buton datang di kapal Huis te Henpad menemui Rijsweber untuk menanyakan maksud kedatangannya, dengan sepenuh sikap bersahabat ia mengatakan hanya singgah untuk mengambil air minum karena kehabisan persediaan selama dalam pelayaran dari Maluku.
Para Jurubahasa utusan sultan Buton kemudian pulang dengan iringan salam hormat kompeni teruntuk yang mulia sultan Buton dan seluruh pembesarnya. Tak lupa Rijsweber yang cerdik itu menyelip hormat dengan menitip salam dan menyertakan pula hadiah untuk sultan yang mulia.
Sesampai para jurubahasa utusan sultan Buton di darat, Rijsweber pun dengan diam-diam menyusul mereka. Agar tak dikenali sebagai pembesar kompeni, ia berpakaian sebagai matros kapal. Diamatinya situasi di darat dengan cermat, diselidiknya semua apapun, apa-apa tak ada yang abai dari amatan mematainya.
Pada tengah malam, pukul 24.00, Rijsweber memerintahkan pasukannya segera memulai serangan. Dengan segera para pasukan itu melompat sigap memenuhi sekoci-sekoci dari kapal tumpangan mereka, dengan mendayung sekoci-sekoci yang memuat pasukan kompeni itu telah mencapai pantai Baubau pukul 03,30. Mereka bergerak cepat, berjalan setengah berlari dan telah berada di muka Benteng Keraton Buton. Pukul 05.00. rijweber berdiri, mengatur siasat penyerangan.
Dibaginya pasukannya dalam dua kelompok, kelompok pertama dipimpinnya sendiri masuk menyerang melalui Lawana Lanto, sedang kelompok lainnya diperintahnya masuk menyergap dari Lawana Wandailolo.
Tepat pukul 06.00 pagi hari, ketika para penjaga membuka gerbang dengan setengah kantuk, pelatuk senapan pasukan kompeni serentak ditarik. Terdengarlah bunyi tembakan meletup di mana-mana. Para penjaga yang tak siap itu terkesiap, menerima sial yang naas, mereka menjadi korban tewas pertama.
Bunyi letupan dari moncong senapan kompeni yang mengamuk beradu dengan raungan melolong minta tolong dari warga, semua orang berlarian mencari selamat, kecuali para pembesar kesultanan meladeni serangan mendadak dan diam-diam kompeni itu dengan melakukan perlawanan.
La Karambau mengamuk serupa kerbau liar terluka yang terlepas dari tali kekangnya, beberapa kompeni tersungkur dikenai tikamannya. Ia kemudian mengawal Sultan Sakiyuddin dan keluarganya keluar dari keraton dengan melalui jalan rahasia menuju Sorawolio dan selanjutnya meneruskan berjalan ke Kaisabu.
Perlawanan kemudian dipimpin oleh Kapitalao Sungkuabuso, Sapati dan Bonto Ogena. Karena kalah dalam persenjataan, ketiga orang pembesar kesultanan Buton ini gugur terkenai tembak pasukan kompeni.
Pukul 16.00, serangan kompeni mengendur, hanya terjadi secara sporadis sebelum kemudian reda. Letupan-letupan bunyi tembakan hanya sesekali terdengar diselai gemericik api yang memakan kayu dari rumah warga yang terbakar. Karena sudah lelah, Rijsweber memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Perang yang oleh orang Buton disebut sebagai “Kaheruna Walanda” itu telah menelan korban gugur dari pihak Buton: Sapati, Kapitalao Laode Sungkuabuso, Bonto Ogena, Lakina Labalawa, dan Lakina Todanga. Beberapa lainnya yang adalah kerabat pembesar kesultanan ditawan oleh kompeni: Bontogena I Ngapa, Wa Ode Kamali, dan Wa Ode Wakato (lihat Zahari II,1977:128).
Kenepulu Bula Abdul Ganiu dalam syair kabhanti “Ajonga Inda Malusa” (Pakaian yang tidak luntur) menggambarkan peristiwa Zamani kaheruna Walanda itu sebagai petaka kemalangan yang menimpa Buton.
Catatan : La Yusrie, MA – Penggiat Sejarah Buton
Beberapa jabatan penting diembannya sebelum naik menjadi sultan: Lakina Lakudo, Lakina Kambowa, Kapitalao matanaeyo. Sejak kecil ia memang telah menunjukan bakatnya, ia cerdas dan kuat, berbadan tinggi besar, punya wibawa dan nyali yang juga besar, tetapi ia pun seorang yang rendah hati, komposisi paling ideal seorang pemimpin.
Ia tegas menolak saran Sara kesultanan agar berlaku lembut saja terhadap Belanda untuk menghindari perang. Lebih memilih ia meletakan jabatannya, keluar istana meneruskan berjuang, melawan belanda di gunung siontapina.
***
“… waar de jongst oorlog expeditie naar Bouton onder het gezaag van den te Macassar
militerende Captain Rejisweber” (Arsip Makassar No.73 tahun 1755—1756)
“…ekspedisi perang yang mutakhir (adalah) ke Buton di bawah kewenangan Kapten Rejisweber dari kemiliteran di Makassar…”
***
SELEMBAR kertas dalam bentuk kuitansi melayang dari Fort Rotterdam--Benteng Rotterdam, tempat Belanda bermarkas di Makassar, isinya adalah rincian biaya ekspedisi militer ke Buton. Kuitansi itu bertanggal 30 Mei 1755 dan diteken oleh kepala kemiliteran VOC Belanda di Makassar Kapten Johan Casper Rijsweber. Total biaya ekspedisi militer itu tercatat cukup besar, sejumlah 108:19,2 Rijksdalder.
Ekspedisi militer Belanda ke Buton disebabkan oleh perompakan di teluk Baubau yang dilakukan orang-orang Buton dan Bugis terhadap Rust en Werk, sebuah kapal militer Belanda yang singgah di Buton dalam pelayarannya dari negeri rempah Maluku.
Penyerangan kapal Belanda itu terjadi dimasa La Karambau menjadi sultan Buton, Belanda menuntut ia bertanggungjawab, dianggap telah lalai dan mengabaikan kontrak-kontrak Buton dengan VOC terdahulu yang berisi kesepakatan untuk saling melindungi.
***
KAPAL militer Belanda Rust en Werk memasuki laut teluk Baubau yang teduh dalam musim timur yang cerah di akhir bulan Juni 1752, bersusulanlah ke angkasa dentuman bunyi tembakan salvo saling sahut berbalas dari moncong meriam yang ditembakan dari geladak kapal Rust en Werk dan dua lodji bikinan Belanda di depan pelabuhan Baubau. Tembakan salvo berbalasan itu adalah sebuah kode pertanda hubungan sebagai “sekutu” yang masih terjaga.
Relasi Buton—Belanda dimulanya adalah sebagai bersekutu itu, ada kesetaraan sebagai “state” dikeduanya. Lalu tak lama, hubungan itu bersalin rupa menjadi “Ayah—Anak” yang tampaknya disitulah mulanya pangkal tiadanya lagi berkedudukan setara dikeduanya.
Belanda sebagai yang diperayah dan Buton yang diperanak. Belanda sebagai yang dipertuan dan Buton yang mempertuan. Sekalipun tiada setara, simbol sebagai kesatuan yang tiada berpisah terus kuat terjalin, sebelum kemudian Belanda dengan cerdik menelikung dan berlaku curang, menyempal dengan masuk “menikam dalam selimut”.
Dari “balik layar" gelap yang senyap, Belanda dengan cerdik, pun licik “bermain-main”: mengatur Buton semau keinginannya. Sultan La Karambau gerah dan lalu mulai berang, ia berani melawan "Ayah" yang adalah "tuan" nya itu.
Belanda terkejut dan lalu menunjukan muka kecut, berani betul sultan ini melawan dan berseberangan kehendak mereka. Sebuah peringatan kemudian dikirimkan ke Buton, isinya adalah mengingatkan kontrak-kontrak sebelumnya yang sudah diteken bersama. Belanda menuntut kepatuhan Buton terhadap isi kontrak-kontrak itu.
Tapi La Karambau berkeras, ia tak peduli, ia melihat ketidakadilan, melihat kezaliman yang telah dianggap sebagai kelaziman. Ia melawan sepenuh kekuatannya sekalipun kemudian harus meletakan jabatannya, juga harus merelakan dua anak cucu nya dibawa pergi sebagai tawanan Belanda.
Sikap melawannya tak surut- surut, terus saja menyala sebagai bara. Dari gunung Siontapina ia melakukan gerilya, mengatur siasat perlawanan, dan ia melawan sampai maut datang mengambilnya, di sana.
***
Awal Juni yang sunyi, sebagaimana biasa, dalam paruh kedua abad keenam belas itu, Belanda adalah tamu terhormat bagi Buton yang selalu kadatangan mereka disambut oleh hiruk pikuk sorai penyambutan dan dentum tembakan salvo sebagai penghormatan.
Sesudah Portugis tersisih di Buton, Belanda datang mengganti mereka, bangsa tempat asal VOC itu dengan cepat menggeser bangsa Eropa lainnya yang telah sebelumnya lebih dahulu membangun kongsi dan perkawanan dengan Buton.
Memang Belanda itu sangatlah pandai mengambil hati pada mulanya, di akhirnya keburukanlah yang sebenarnya dibawa mereka di Buton. Pada mulanya mengambil hati, dengan mudah diberi, lalu di ujung jalan mereka mengingini “jantung”, itupun juga kemudian dengan terpaksa diberi.
Pada awal pertemuan, tiada dilihat oleh Belanda bahwa Buton begitu menarik dan mempunyai banyak potensi, lama kelamaan baru timbul ketertarikan mereka, sejak itu
muncullah keinginan untuk menguasai dan memiliki.
Sesudah berhasil mereka membikin perkubuan dalam klan bangsawan Buton lalu dibuatlah bersaing para klan elite itu, dibuat saling menubruk sesama mereka
Dari kerja mengadu domba itulah Belanda mengambil untung dan perlahan memulai
menancapkan pengaruhnya. Segala-gala terkait urusan kesultanan adalah juga menjadi urusan mereka, bahkan sekalipun dalam soal yang paling krusial dan sensitif: “menunjuk” sultan.
Sultan terpilih tak serta merta dapat langsung dilantik kecuali setelah dilaporkan dan melalui persetujuan Belanda.
***
Tanggal 23 Juni 1752, sultan La Karambau dengan tergesa menaiki tangga kapal Rust en Werk. Ia ditemani oleh dua pengawal, seorang syahbandar dan jurubahasa. Tampaknya sesuatu yang genting tengah akan dirundingkan.
Mazius Tetting, kapten kapal Rust en Werk berdiri tegak di geladak serupa gagak yang terus matanya awas mengamati rombongan La Karambau, ia tampaknya bersiap sekaligus siaga menyambut delegasi kecil Buton itu dengan sepenuhnya waspada.
Sambutan penghormatan yang baik di awal tak diikuti akhir yang baik. Kapten kapal Rust en Werk, Mazius Tetting terkesiap kaget, seorang pesakitan dan residivis yang ia penjarakan di Makassar tetapi bisa lari meloloskan diri,kini telah di hadapannya berdiri mengancamnya dengan badik yang telah telanjang terhunus.
Ia adalah seorang yang oleh Belanda disebut bernama Frans Frans, memimpin 300 lebih orang Buton dan Bugis menyerbu dengan beringas kapal Belanda setelah tiga harmal (tiga hari tiga malam) perundingan Buton—Belanda di dalam kapal itu tak menemukan konklusi dan nihil mencapai jalan selesai.
Alot bukan main perundingan itu, Belanda kukuh dalam sikapnya: meminta ganti rugi atas insiden perompakan terhadap kapal dagang mereka yang sebelumnya dijarah oleh orang-orang Buton dan Bugis di perairan Kabaena, sedang pihak Buton tak juga melunak, hanya menyetujui sebagian dari permintaan yang memaksa dari pihak Belanda itu.
Tak pelak, naas datang dengan telak, insiden tak dapat dielak, keributan dengan cepat berubah menjadi kekacauan yang rusuh, huru-hara pecah di atas kapal, seluruh awak kapal Belanda itu habis dibunuh
bahkanpun juga si Mazius Tetting, komandan dan nahkoda kapal, jatuh sebagai korban tewas, ia ditikam dengan tandas pada kiri dadanya, tepat di pembuluh jantungnya.
Kapal yang megah itu dalam sekejap kemudian menjadilah bangkai, tak bertuan dan kehilangan tuah sebagai kapal militer yang gagah. Seluruh isi dalam lambungnya dikeluarkan, mesiu, bedil dan meriam pada sisi kiri kanannya dipreteli, diangkut semua ke palka, lalu dibawa sebagai barang jarahan.
Bukan main marahnya VOC Belanda ketika kabar perompakan di laut Buton itu sampai ke telinga mereka, Perwakilan Gubernur Jenderal VOC di Makassar sampai harus membatalkan pelayarannya ke Batavia dan memerintahkan ekspedisi militer ke Buton dengan segera.
Dalam warna mukanya yang memerah serupa kepiting rebus karena besarnya marahnya, ia berkali mengumpat dalam Belanda menyebut Buton sebagai anak yang “koppig”: keras kepala.
Ia tak peduli berapa pun biaya yang ditelannya, Buton harus dihukum, karena telah memulai menjadi “anak nakal”. Armada militer disiapkan, bersiap menyerang Buton.
***
19 Februari 1755, arakan kapal-kapal Belanda membelah laut Bulukumba. Tujuh kapal militer Belanda pimpinan Rijsweber meninggalkan Bulukumba menuju Buton, beriringan serupa parade: Huis te Henpad, dSe Paari (chalorp), Gligis (pancallang), Triston (pancallang), de Meermin (chalorp), het Fortuin (chalorp), dan de Arnoldina (chalorp).
Empat hari empat malam dalam pelayaran, tibalah rombongan Rijsweber itu di Buton tepat tanggal 23 Februari 1755 pukul 16.00. Seorang awak kapal naik ke anjungan Huis te Henpad, meneropong pada tiang pancang bendera (kasulana tombi) di Benteng Keraton Buton.
Senyum si peneropong itu tersungging lepas, seperti congkak,l dilihatnya dengan terang bendera Merah Putih Biru melambai terkerek penuh di sana. Menurut A.M. Zahari (II: 124), begitulah adab perkawanan Buton—Belanda, begitu sauh dilepas dan jangkar ditambatkan tembakan salvo sebagai penghormatan (saluutschoten) segera dilepaskan ke udara, juga bendera Belanda dikibarkan sepenuh tiang di Kasulana Tombi Benteng Keraton Buton sebagai penyambutan sehormat-hormatnya.
Sekalipun bendera Belanda naik terkerek penuh di Benteng Keraton Kesultanan Buton, tembakan salvo yang dilepaskan berkali- Kasulana Tombi kali dari kapal Adriana yang ditumpangi Rijsweber tak mendapat balasan dari pihak Buton di darat.
Segera gelagat ini dibaca oleh Rijsweber sebagai “pertanda buruk”. Seorang kwartier-meester (semacam utusan) dari kapal Gligis datang menemui Rijsweber melaporkan keadaan di darat yang seperti “sedang dalam darurat”—genting dan mencekam.
Ia mengatakan bahwa orang Buton rupanya mengetahui rencana penyerangan Kompeni sebab mereka kelihatan dalam keadaan siaga. Tampak batang-batang kelapa dengan ujungnya diruncingkan dijejer membanjar sebagai barikade pagar penghalau telah sempurna dipasang mulai di sepanjang pesisir pantai Baubau hingga ke perbukitan di sekitar Benteng Keraton Buton. Laporan yang mematai juga menyebutkan bahwa lebih lima ribu orang Buton telah dalam siaga (Lightvoet, 1878:78).
Menerima laporan itu, Rijsweber terkesiap, tapi tak kalap, ia tetap tenang di tengah ketegangan, dengan berat ia menarik napas panjang. Para manusia kulit putih ini tak hanya berhidung panjang, mereka pun juga rupanya berakal panjang.
Ketika beberapa orang jurubahasa utusan sultan Buton datang di kapal Huis te Henpad menemui Rijsweber untuk menanyakan maksud kedatangannya, dengan sepenuh sikap bersahabat ia mengatakan hanya singgah untuk mengambil air minum karena kehabisan persediaan selama dalam pelayaran dari Maluku.
Para Jurubahasa utusan sultan Buton kemudian pulang dengan iringan salam hormat kompeni teruntuk yang mulia sultan Buton dan seluruh pembesarnya. Tak lupa Rijsweber yang cerdik itu menyelip hormat dengan menitip salam dan menyertakan pula hadiah untuk sultan yang mulia.
Sesampai para jurubahasa utusan sultan Buton di darat, Rijsweber pun dengan diam-diam menyusul mereka. Agar tak dikenali sebagai pembesar kompeni, ia berpakaian sebagai matros kapal. Diamatinya situasi di darat dengan cermat, diselidiknya semua apapun, apa-apa tak ada yang abai dari amatan mematainya.
Pada tengah malam, pukul 24.00, Rijsweber memerintahkan pasukannya segera memulai serangan. Dengan segera para pasukan itu melompat sigap memenuhi sekoci-sekoci dari kapal tumpangan mereka, dengan mendayung sekoci-sekoci yang memuat pasukan kompeni itu telah mencapai pantai Baubau pukul 03,30. Mereka bergerak cepat, berjalan setengah berlari dan telah berada di muka Benteng Keraton Buton. Pukul 05.00. rijweber berdiri, mengatur siasat penyerangan.
Dibaginya pasukannya dalam dua kelompok, kelompok pertama dipimpinnya sendiri masuk menyerang melalui Lawana Lanto, sedang kelompok lainnya diperintahnya masuk menyergap dari Lawana Wandailolo.
Tepat pukul 06.00 pagi hari, ketika para penjaga membuka gerbang dengan setengah kantuk, pelatuk senapan pasukan kompeni serentak ditarik. Terdengarlah bunyi tembakan meletup di mana-mana. Para penjaga yang tak siap itu terkesiap, menerima sial yang naas, mereka menjadi korban tewas pertama.
Bunyi letupan dari moncong senapan kompeni yang mengamuk beradu dengan raungan melolong minta tolong dari warga, semua orang berlarian mencari selamat, kecuali para pembesar kesultanan meladeni serangan mendadak dan diam-diam kompeni itu dengan melakukan perlawanan.
La Karambau mengamuk serupa kerbau liar terluka yang terlepas dari tali kekangnya, beberapa kompeni tersungkur dikenai tikamannya. Ia kemudian mengawal Sultan Sakiyuddin dan keluarganya keluar dari keraton dengan melalui jalan rahasia menuju Sorawolio dan selanjutnya meneruskan berjalan ke Kaisabu.
Perlawanan kemudian dipimpin oleh Kapitalao Sungkuabuso, Sapati dan Bonto Ogena. Karena kalah dalam persenjataan, ketiga orang pembesar kesultanan Buton ini gugur terkenai tembak pasukan kompeni.
Pukul 16.00, serangan kompeni mengendur, hanya terjadi secara sporadis sebelum kemudian reda. Letupan-letupan bunyi tembakan hanya sesekali terdengar diselai gemericik api yang memakan kayu dari rumah warga yang terbakar. Karena sudah lelah, Rijsweber memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Perang yang oleh orang Buton disebut sebagai “Kaheruna Walanda” itu telah menelan korban gugur dari pihak Buton: Sapati, Kapitalao Laode Sungkuabuso, Bonto Ogena, Lakina Labalawa, dan Lakina Todanga. Beberapa lainnya yang adalah kerabat pembesar kesultanan ditawan oleh kompeni: Bontogena I Ngapa, Wa Ode Kamali, dan Wa Ode Wakato (lihat Zahari II,1977:128).
Kenepulu Bula Abdul Ganiu dalam syair kabhanti “Ajonga Inda Malusa” (Pakaian yang tidak luntur) menggambarkan peristiwa Zamani kaheruna Walanda itu sebagai petaka kemalangan yang menimpa Buton.
Ia menulis:
Inda urangoa tongkobungkena Walanda
Apopasiki sabara maanusia
Sumbe-sumbere apeelo palaisa
Apoboli-boli indaa potoku-toku
Hengga anana miarangana abolia
Inuncana koo maka pokawa-kawa
Mokokompona akoana I rumpu
Momapiyna soa kolemo itana
Bontogena samia te sapati
Te samia kapitalao amate
“Tidak kamu dengar waktu keributan Belanda
berhamburan semua orang
masing-masing mencari perlindungan
bercerai berai tidak saling menolong
sampai anak istrinya ditinggalkan
di dalam hutan baru kumpul kembali
ibu hamil melahirkan di rerumputan
yang sakit tidur saja di tanah
menteri besar seorang, sapati
dan kapitalao mati (ref)
Inda urangoa tongkobungkena Walanda
Apopasiki sabara maanusia
Sumbe-sumbere apeelo palaisa
Apoboli-boli indaa potoku-toku
Hengga anana miarangana abolia
Inuncana koo maka pokawa-kawa
Mokokompona akoana I rumpu
Momapiyna soa kolemo itana
Bontogena samia te sapati
Te samia kapitalao amate
“Tidak kamu dengar waktu keributan Belanda
berhamburan semua orang
masing-masing mencari perlindungan
bercerai berai tidak saling menolong
sampai anak istrinya ditinggalkan
di dalam hutan baru kumpul kembali
ibu hamil melahirkan di rerumputan
yang sakit tidur saja di tanah
menteri besar seorang, sapati
dan kapitalao mati (ref)
0 Komentar