BUTONMAGZ---Kesultanan Buton masa lalu telah banyak berhubungan dengan kerajaan/kesultanan di sekitarnya. Salah satunya dengan Ternate. Cuplikan hubungan keduanya terekam dalam banyak penelitian resmi, seperti berikut ini;
Hubungan antara kedua pemerintahan ini berjalan baik pada masa Sultan Dayanu Ikhsanudin (Buton) atau La Elangi yang berkuasa di periode tahun 1578-1615 dan Sultan Babullah Datu Syah di Ternate, 1570-1583 . Hal ini bisa dilihat dari seringnya kunjungan yang dilakukan dengan mengirim utusan masing-masing.
Sultan Babullah juga pernah menyerahkan daerah kekuasaannya pada Kesultanan Buton, tepatnya kerajaan kecil Tiworo, yang diserahkan saat perjalanan Sultan Babullah mengunjungi daerah-daerah kekuasaannya. Kedekatan kedua kerajaan ini salah satunya dipengaruhi oleh kesamaan latar belakang agama, yakni agama Islam. Namun pada pemerintahan sultan setelahnya, dua kerajaan ini mengalami krisis kerjasama sehingga menyebabkan peperangan, hal ini dikrenakan kepentingan-keoantingan dari keduanya yang tidak tersalurkan akibat mengedepankan kepentingan masing-masing.
Dalam kajian politik, konflik ini terjadi karena pernyataan tidak setuju Kesultanan Buton terhadap beberapa isi dari perjanjian dengan VOC yang menyatakan bahwa Kesultanan Buton tunduk di bawah Ternate, salah satu isi pasal tersebut yaitu raja/sultan yang dilantik terlebih dahulu harus menyatakan kesetiaannya pada Ternate dan Kompeni.
Isi dari perjanjian tersebut kemudian menyebabkan renggangnya hubungan antara Buton dan Ternate. Dimulai dengan Kesultanan Buton yang melanggar isi pejanjian, disusul dengan terbunuhnya raja Ternate di Buton dalam perjalanannya kembali ke Ternate dan pertentangan yang terjadi di kepulauan Tukang Besi dan Barata Muna yang berakibat pada terjadinya perang terbuka pada tahun 1676. [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI..Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton.(hal-68-1996) Proyek Inventarisasi dan Doumentasi Sejarah Nasional.
Usaha-usaha normalisasi juga dilakukan, salah satunya dengan melalui jasa baik Gubernur Maluku, David Harthovwer. Namun tidak menemukan titik terang kerena ia tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari Sultan Buton. Hingga pada masa pemerintahan Kaimuddin (La Jampi), menggagas normalisasi dengan mengirim utusak ke Makasar untuk berunding dengan Gubernur. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan pada 22 Maret 1766 dengan diterimanya usul Kesultanan Buton untuk menghapus pasal yang menyatakan Kesultanan Buton dibawah pemerintahan Ternate.
Usaha perbaikan yang dilakukan juga melalui perkawinan politik yaitu antara Sultan Madar Syah dari Ternate dengan putri bangsawan Kesultanan Buton. Juga dengan aling mngirim undangan dalam upacara-upacara yang diselenggarakan dua kerajaan tersebut. Hubugan antara keduanya pun membaik dan ketegangan berakhir. (ref)
0 Komentar