Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Temuan Ini Ungkap Manusia Maros (Sulsel) 2.750 Tahun Lalu

Rangka manusia Maros, yang ditemukan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Satu kerangka manusia berusia 2.750 tahun lalu, atau 732 tahun sebelum masehi ditemukan di Leang Jarie, Kecamatan Simbang, Maros, Sulawesi Selatan.

Rangka manusia itu ditemukan Mei 2018. Tim peneliti dari Balai Arkeologi Makassar, yang mengungkapkan ketika seorang dari mereka menemukan gigi geraham.

Adalah Budianto Hakim, seorang arkeolog, koordinator tim penelitian menemukan gigi geraham pada 2016. “Sejak itu, saya selalu meyakinkan diri, jika ada manusia di gua ini (jarie). Hanya perlu keuletan,” katanya.

Tahun 2018, tim arkeolog ini menggali dua kotak. Kotak pertama di bagian sisi kanan gua, tak menemukan kerangka. Pada kotak galian kedua, mereka menyingkap kerangka manusia dengan keutuhan sampai 80%.

Irwan, juru pelihara gua mengatakan pada saya, lantai teras gua mengalami penurunan tinggi. Tempat kerangka manusia tersingkap itu, dulu tanah datar, malah tempat warga bermain kartu.

Lama-kelamaan, kata Irwan, tanah itu mulai miring. Dia kemudian menutup dengan beberapa tanah di sekitaran gua. Saat ekskavasi, penggalian menjadi menjemukan. Seorang arkeolog berkeluh kesah, sebab karena yang tersingkap di tanah lapisan atas, adalah kelereng, hingga puntung rokok. Perlahan, rangka manusia muncul.

Pelan-pelan. Hati-hati sekali. Tim arkeolog membuka lapisan tanah dengan sekop tangan kecil. Menggosok dengan kuas. Mengangkat tanah pelan. Rahang kerangka terlihat. Tengkorak sudah pecah. Rusuk tak utuh. Posisi kerangka menghadap barat daya. Kepala diletakkan pada sebuah batu. Badan terapit batu. Jelas, ketika meninggal manusia itu diperlakukan khusus. Posisi telentang.

Siapa manusia itu? Kalau melihat hasil penanggalan dengan pengujian karbon di laboratoium Universitas Waikato, New Zealand, dia dari ras mongoloid. Ras yang melakukan perjalanan panjang, dari daratan Tiongkok, ke Paiwan (Taiwan), lalu masuk ke Sulawesi (Out of Taiwan).

Mongoloid, disebut pula sebagai gelombang penutur Aurtonesia. Bangsa yang masuk ke nusantara hingga 3000 tahun lalu. Bangsa leluhur langsung hampir sebagain besar orang Indonesia.

Pada Selasa 4 Desember 2018, saya melihat rangka itu untuk kedua kalinya. Tak ada yang berubah. Leluhur manusia itu, terbaring.

Dalam laporan tim Balai Arkeologi Makassar, panjang kerangka manusia itu 166,2 cm. Dengan asumsi, ditambah daging, kemungkinan saat hidup lebih dari ukuran rangka. Analasis lain, kerangka itu berjenis kelamin laki-laki, usia berkisar 35-40 tahun.

“Saya kira melihat perlakuannya di kuburkan, kemungkinan kerangka itu–semasa hidupnya–adalah seorang yang memiliki kemampuan khusus,” katanya. “Pemimpin kelompok mungkin.”

Fahri, juga tim arkeolog, yang menelisik anatomi rangka dan melihat temuan tulang belulang fauna dalam kotak galian menyebutkan ada 3.324 fragmen tulang dapat dianalisis. Fahri menemukan, tulang burung, ikan, kadal, ular, katak dan kodok, kuskus kecil Sulawesi, kelelawar pemakan serangga, monyet, manusia modern (hominidae), tikus, dan babi Sulawesi.

Khusus fragmen tulang hewan, sebagain besar fragmen tulang tak terbakar, sebagian kecil terbakar. Fragmen tulang mamalia besar seperti babi dan monyet, terbakar. Kehidupan pada 2.750 tahun lalu, adalah zaman neolitik. Zaman berburu dan mengumpul di Sulawesi.

Dalam komunitas ini, kehadiran dan penggunaan api sudah sangat akrab. Mereka sudah membakar makanan, bahkan dapat membuat api unggun untuk mengusir hewan liar saat malam.

Leang Jarie, berdekatan dengan poros Jalan Bantimurung menuju Camba menembus Kabupaten Bone. Rute ini salah satu yang ramai truk raksasa. Jarie, begitu penamaan gua prasejarah ini, memiliki jumlah lukisan tapak tangan mencapai ratusan.

Tahun 1980-an, Budianto terperangah ketika pertama kali melihat gua itu. Dinding gua seperti tertutup lukisan. Kini dalam pendataan hanya 30-an lukisan, dapat dijumpai.

Lukisan-lukisan itu memudar lalu menghilang karena kelembaban tinggi. Rimbunan pohon di depan mulut gua juga sudah tak nampak. Lumut menempel di mana-mana. Getaran dan asap kendaraan lalu lalang, ikut jadi penyumbang kerusakan.

Jarak Leang Jarie, dari pusat Kota Maros sekitar 13 km. Dari gua menuju pesisir pantai sekitar 15 km. Jarak yang masih dapat terjangkau bagi penduduk prasejarah saat itu.

Saat proses penelitian Mei 2018. Tulang dilapisi cairan kimia untuk memperkuat struktur. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Dalam kotak galian, ditemukan pula kerang bersumber dari air tawar, dan kerang laut. Jumlah fragmen kerang mencapai 4.109 gram. Sebagian besar kerang-kerang jadi konsumsi, dalam istilah arekologi disebut sampah dapur.

Kalau ada sampah dapur, bagaimana cara mereka mengkonsumsinya? Rupanya, Suryatman arekolog yang konsentrasi pada peralatan batu (litik), menemukan beberapa alat serpih. Alat serpih ini atau peralatan dapur untuk memotong, menguliti bahkan menyerut. Peralatan itu ditemukan cukup massif dalam kotak galian.

Mata panah tertua


Selain kerangka manusia penemuan tak kalah penting adalah mata panah (lancipan Maros). Mata panah ini ditemukan di bawah kaki kerangka kedalaman sekitar 80 cm. Kedalaman kotak penggalian 90 cm dari tali rata (tali rata, berjarak 10 cm dari permukaan tanah).

Suryatman menunjukkan saya lapisan tua itu pada Mei 2018. “Itu lapisan kebudayaan lebih tua. Lapisan Toalian (Toala) ini keren,” katanya.

Akhirnya, bersamaan dengan uji penanggalan kerangka manusia, lapisan tempat penemuan mata panah ikut pula mendapat penanggalan. Usia, 8.000 tahun lalu. “Ini jelas penemuan spektakuler. Inilah mata panah tertua yang kita temukan saat ini.”

Selama ini, katanya, penelitian bilang kalau mata panah itu usia paling banter 5000 tahun lalu, atau 7.000 tahun. “Ini kita sudah buktikan.”

Mata panah ini jadi penanda kebudayaan masyarakat Toala. Istilah ini pertama kali dikenalkan naturalis dan etnolog Paul dan Fritz Sarasin dalam Reisen in Celebes: Ausgefuhrt in Den Jahren 1893-1896 Und 1902-1903. Mereka menyatakan, orang Toala hanya tersisa satu yang ditemui di Lamoncong (Kawasan Maros). Toala dianggap masyarakat yang hidup primitif, bukan bagian masyarakat sekarang.

Mengapa orang Toala punah? Analisis Budianto Hakim, mengatakan, kedatangan bangsa penutur Austronesia yang membawa teknologi baru–sudah mampu meramu dan bercocoktanam–akhirnya membuat masyarakat Toala tersingkir. Penutur Austronesia inilah yang menetap dan jadi leluhur kita.

Penggalian di situs Balang Metti, Kabupaten Bone, menunjukkan lapisan kebudayaan satu konteks antara penutur Austronesia dan Toala. Jadi, katanya, tak menutup kemungkinan Mongoloid dan Toala atau Melanesid (ras yang sekarang mendiami Papua hingga Kepulauan Solomon) pernah hidup berdampingan.

“Kedepan, kita membutuhkan analisis DNA untuk kerangka manusia itu (Leang jarie) agar membuktikan percampuran itu, misalnya,” kata Budianto.

Bagaimana selanjutnya?

“Apakah kerangka itu akan diangkat?” kata saya.

“Kita belum tahu. Tapi untuk mengangkatnya, kita harus memberikan perlakuan yang sangat istimewa. Kondisi rangka sangat rapuh,” kata Budianto.

“Saya berharap, Pemda Maros, melihat itu. Ini pekerjaan yang penuh tantangan kedepan.”

Leang Jarie, salah satu gua istimewa. Ia jadi tempat hunian masa lalu dan tempat berbaur ras manusia. Pada dinding gua, ada lukisan cap tangan hampir saling menindih. Tahun 2014, ketika kerjasama arkeolog Indonesia dan Australia melakukan penanggalan di situs Leang Timpuseng, Leang Jing 1, Leang Jing 2, Leang Lompoa, Leang Barugayya 1, Leang Barugayya 2, dan Leang jarie.

Leang Jarie mendapatkan, usia lukisannya mencapai 30.700 tahun lalu dan gambar lainnya mencapai 39.400 tahun lalu. Dan baru-baru ini mata panahnya mencapai 8.000 tahun lalu, dan kerangka manusianya mencapai 2.1750 tahun lalu.

Saat ini, kerangka itu hanya diamankan menggunakan peti kayu sederhana. Dibungkus kain terpal biru. Setiap minggu, salah seorang arkeolog mendatanginya dan mengolesinya cairan penguat untuk tulang.

Saya berdiri, menyaksikan ketika terpal itu dibuka. Rasanya cukup memprihatinkan. Menduga kelak rembesan air akan memasuki selah tanah dan menerobos masuk ke kotak peristirahatan kerangka. Jelang pukul 12.00 pada Selasa, 4 Desember 2018, saya meninggalkan Leang Jarie. Dan 10 menit kemudian, hujan lebat mengguyur kawasan itu. Wahyudi, kawan perjalanan saya, yang lahir tak lebih dari 500 meter dari situs itu, menghela nafas.

“Kasihan sekali. Semoga terpalnya tetap kuat dan rapat,” katanya. “Dia meninggal dan ditemukan, memberikan kita pengetahuan yang luar biasa. Semoga pemerintah kita tidak abai melihat, manusia tertua itu.” (sumber : eko rusdianto-mongabay)


  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...