Sebuah catatan penting tentang orang-orang Buton ke Maluku terekam dalam jurnal bertajuk “melacak jalur rempah pelayaran dan migrasi Orang Buton di Kepulauan Maluku” karya Tasrifin Tahara, antropolog Unhas yang terekam dalam jurnal ‘jejak nusantara’ vol. 04 November 2016 – menjadi kekuatan jiwa orang Buton sebagai pelintas samudra.
Dalam jurnal ini terekam salah satu penyebab migrasinya orang Buton ke Maluku, karena ketidak-suburan tanah di Buton yang bebeda dengan daerah-daerh lainnya di Pulau Sulawesi. Begini tuturannya.
--------
Kehadiran migran Buton di Kepulauan Maluku yang berawal sebagai buruh perkebunan rempah-rempah sangat membantu produktivitas perkebunan itu. Orang Buton di Maluku merupakan pekerja keras, pintar berdagang, dan tidak boros. Orang Buton di Maluku bisa keluar dari kehidupan yang sulit di Buton dan bersedia bekerja apa pun untuk menyambung hidup di Maluku.
Kisah sukses pekerja orang Buton di perkebunan cengkih di Kepulauan Maluku tergambar dalam kasus berikut.
Dalam jurnal ini terekam salah satu penyebab migrasinya orang Buton ke Maluku, karena ketidak-suburan tanah di Buton yang bebeda dengan daerah-daerh lainnya di Pulau Sulawesi. Begini tuturannya.
--------
Kehadiran migran Buton di Kepulauan Maluku yang berawal sebagai buruh perkebunan rempah-rempah sangat membantu produktivitas perkebunan itu. Orang Buton di Maluku merupakan pekerja keras, pintar berdagang, dan tidak boros. Orang Buton di Maluku bisa keluar dari kehidupan yang sulit di Buton dan bersedia bekerja apa pun untuk menyambung hidup di Maluku.
Kisah sukses pekerja orang Buton di perkebunan cengkih di Kepulauan Maluku tergambar dalam kasus berikut.
Kasus Haji La Mili, migran dari Buton yang berasal dari subetnik Ciacia; merupakan generasi ketiga ketika kakek Buyutnya datang di Pulau Seram. Haji La Mili menuturkan bahwa pada mulanya ia hanyalah buruh yang mengelola lahan dan pemetik cengkih. Tidak pernah menerima gaji karena tidak berlaku sistem gaji melainkan sistem bagi hasil. Jika lahan kebun cengkih yang dikelola 10 hektar, misalnya, maka hasil penjualan dibagi dua; masing-masing 50 persen kepada pemilik (orang Ambon), dan buruh.
Lambat-laun proses itu mengubah kehidupan ekonomi La Mili. Kini, ia memiliki ratusan hektar kebun cengkih, bisa menyekolahkan anak hingga jenjang sarjana, dan menunaikan ibadah haji.
Kasus La Isa,migran Buton dari Pulau Binongko yang datang di Pulau Seram pada 1978. Awalnya ia hanya mengolah lahan/kebun milik orang Ambon; dari hasil kerja yang diperolehnya selama bertahun-tahun ia berhasil membeli beberapa bidang kebun dan mengolahnya sendiri.
Dilihat dari perkembangan ekonominya, kini La Isa tergolong berada dalam tingkat ekonomi menengah ke atas. Bahkan menurut penuturannya, apabila musim panen tiba dan harga cengkih naik, ia membeli aneka perabot dan kendaraan (mobil) untuk menunjang aktivitas keluarga.
Kasus La Nasiri,migran Buton dari Tomia;pada awalnya sebagai pemetik cengkih di Seram dan Ambon kemudian berhasil memiliki lahan dan pendidikan. Dalam proses dinamika politik lokal, ia ikut pemilihan umum daerah dan berhasil menduduki jabatan politik.
Ketiga kasus tersebut menunjukkan bahwa eksistensi migran Buton dalam jejak rempah-rempah di Kepulauan Maluku sangat penting dan menjadi bagian dari peradaban di Maluku. Orang Buton telah berdiaspora dan ikut menjadi bagian dari proses sosial-politik dan ekonomi. Kondisi itu sangat memungkinkan karena populasi migran Buton di Kepulauan Maluku cukup besar.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, populasi orang Buton sebesar 10,59 persen dari 1.163.122 penduduk Maluku. Populasi itu menempati urutan kedua setelah Kei 10,59 persen [sic.], disusul etnik Ambon pada peringkat ketigasebesar 10,53 persen, selanjutnya Seram 6,88 persen dan Saparua 5,94 persen.
Orang Buton di Maluku Utara juga cukup “mewarnai” karena masuk urutan keempat besar yakni sebesar 6,30 persen setelah Galela 7,87 persen, Makian 9,12 persen, dan Sula 9,46 persen dari total penduduk sebesar 1.895.575 jiwa (Suryadinata, dkk.2003)
Sebagai suku bangsa yang bermigrasi di Kepualauan Maluku, orang Buton merupakan pekerja keras hingga berhasil dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang ekonomi dan penguasaan lahan perkebunan cengkih atau rempah-rempah, mereka menguasai pasar-pasar di Kota Ambon dan pemilikan lahan perkebunan cengkih.
Di bidang politik dan kekuasaan, dua wakil bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, adalah putra Buton yakni Haji La Kadir dan Haji Muhammad Husni.
Selain itu, di Kepulauan Sula dan Pulau Taliabu, Provinsi Maluku Utara, putra Buton juga menduduki posisi sebagai bupati. Dengan demikian, anggapan atau stereotipe orang Buton yang pernah digambarkan sebagai “orang bawahan,” “kotor,” dan sebagainya,terjawab “tidak benar” dengan mengacu pada keberhasilan diaspora orang Buton di Kepulauan Maluku sebagai bagian terpenting dalam rona kehidupan di wilayah itu..
Penutup
Menelusuri jejak rempah-rempah di Nusatara khususnya di Kepulauan Maluku tidak terlepas dari tradisi pelayaran dan migran orang Buton di kepulauan itu. Pelayaran dan migrasi yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun merupakan bagian terpenting dalam peradaban Nusantara.
Orang Buton yang hadir di Kepuluan Maluku sebagai kelompok migran akibat keterbatasan sumberdaya dan tekanan struktur kini memiliki andil dalam proses pembangunan ekonomi, sosial dan politik.
Dalam konteks jejak rempah-rempah di Nusantara, orang Buton sangat berperan dalam proses produksi dan distrubusi rempah-rempah di seluruh wilayah Nusantara. Dalam hal produksi, orang Buton telah menjadi buruh atau pekerja perkebunan cengkih pada hampir seluruh wilayah Maluku sejak ratusan tahun yang lalu. Proses itu berlangsung sejak masa kolonial hingga migrasi atas keinginan pribadi atau kelompok yang meninggalkan wilayah leluhurnya di Buton.
Proses itu tidak hanya pada proses produksi sebagai pekerja atau buruh, namun dalam perkembangannya migran Buton telah menjadi pemilik lahan perkebunan cengkih di Kepulauan
Maluku.
Tidak hanya itu, peran orang Buton dalam menelusuri jejak rempah-rempah juga sangat strategis dalam distribusi hasil rempah yang dijalaninya sejak ratusan tahun melalui tradisi pelayaran lintas samudra ke berbagai wilayah penjuru Nusantara. Dalam konteks itu, tradisi pelayaran telah menjadi moda perekonomian Nusantara karena tradisi itu ibarat ”tol laut”―seperti wacana kebijakan poros maritim dalam era pemerintahan Jokowi-JK saat ini. (ref)
Baca sebelumnya : Migrasinya orang Buton ke Kepulauan Maluku (bagian 5)