BUTONMAGZ--Dibagian keempat dikisahkan hubungan kedua kerajaan (Makassar dan Buton) karena adanya peristiwa peperangan antar kerajaan. Di sesi kelima ini, Syahrir Kila dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan menulis jurnal ilmiahnya dengan menceritakan tentang peperangan segitiga, VOC-Bone-Buton melawan Maassar. Seperti berikut ini;
Serangan atas Kerajaan Buton pada 1655 itu adalah rangkaian dari usaha Kerajaan Makassar untuk memperluas wilayah pengaruh kekuasaannya yang dimulai sejak 1616 dengan sasaran pertama adalah daerah yang berada pada jalur pelayaran selatan ke Maluku, yaitu Pulau Sumbawa.
Dari sini perluasan kekuasaan terus diperluas ke arah timur hingga memiliki pengaruh di Flores, Solor, dan Timor pada 1626. Juga daerah yang berada pada jalur pelayaran utara dan daerah di sekitarnya seperti Buton, kemudian menyusul Muna dan Kepulauan Sula pada tahun yang sama serta Manado pada 1634.
Sementara Gorontalo telah merupakan pengaruh wilayah kekuasaan Mandar, yang kemudian penguasaannya diserahkan kepada Kerajaan Makassar empat tahun kemudian (1638). Begitu pula daerah-daerah yang berada pada jalur pelayaran melalui Selat Makassar ditaklukkan seperti Kutai pada pesisir timur Kalimantan dan Brunai di bagian utara Kalimantan (Poelinggomang,dkk, 2004:66).
Penaklukan tersebut dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin dan raja Tallo I Malingkaang Daeng Manyonri Karaeng Matoaya. Alasan penaklukkan itu sebab VOC telah menduduki Kesultanan Buton. Dalam menghadapi serangan Makassar, orang-orang Belanda hanya menghasut Sultan Buton saja tanpa memberikan bantuan yang maksimal.
Ketika Kerajaan Makassar melakukan serangan, sebagian armada Belanda telah meninggalkan Buton, hanya sedikit yang tinggal membantu Buton. Karena serangan yang begitu hebat dilancarkan oleh pasukan Makassar sehingga pasukan Buton yang dibantu oleh pasukan VOC tidak dapat menahannya. Semua pasukan VOC tewas dalam serangan itu. Enam bulan pasca serangan itu (September 1655), Laksamana De Flammingh tiba di Buton dan hanya mendapati puing-puing pertahanan VOC di sana (Sagimun, 1986: 125).
De Flammingh meneruskan perjalanan ke Somba Opu, Makassar lalu menyerng orang-orang Portugis. Setelah melakukan penyerangan, ia lalu mencoba menghubungi pembesar Kerajaan Makassar melalui salah seorang tawanan dan mengirimkan sebuah hadiah berupa sebilah keris berhulu emas kepada Karaeng Karunrung, yaitu milik pimpinan orang-orang Makassar yang tewas dalam mempertahankan daerah Assahudi.
Hadiah tersebut lalu dikembalikan kepada De Flammingh sebab menurut Karaeng Karunrung bahwa hadiah itu adalah hanya sebuah sindirin belaka. Setelah peristiwa itu, De Flammingh kembali meneruskan perjalanan ke Ambon.
Menurut Lontarak Bilang Makassar-Tallo bahwa sebuah kapal Belanda yang memblokade perairan Makassar diledakkan oleh orang-orang Makassar pimpinan Karaeng Popo di daerah Bontocoik. Serangan ini terjadi pada 23 Oktober 1655 yang mengakibatkan sehingga seluruh awak kapalnya yang berjumlah 24 orang tewas (Kamaruddin,dkk.1986:118)
Sebelum dilakukan penaklukan atas Buton (1655), Sultan Buton sapati La Buke sudah mengantisipasinya dengan cara mengirim utusan kepada pimpinan VOC. Utusan Buton itu membawa dua orang budak kepada gubernur Van Speult di Ambon sebagai imbalan bantuan VOC dalam menghadapi ancaman Makassar.
Pihak VOC menyiapkan bantuan berupa satu armada yang diharapkan tiba pada musim angin barat. Dan ketika Gubernur VOC bertolak ke Jakarta, ia singgah di Buton, lalu ke Makassar bersama utusan Sultan Buton. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi agar Kerajaan Makassar dapat membebaskan Kesultanan Buton dari kekuasaannya.Permintaan Gubernur VOC itu tidak ditanggapi oleh pihak Sultan Makassar, dan ia hanya ingin berhubungan langsung dengan pihak Kesultranan Buton dan tidak mau jika VOC terlibat di dalamnya atau menjadi perantara.
Jauh sebelum penguasaan wilayah yang disebutkan tersebut, Kerajaan Makassar juga telah menjalin hubungan politik dan kerjasama dengan Kerajaan Ternate pada 1580. Jalinan hubungan itu dilakukan ketika penguasa Ternate yang bernama Sultan Baabullah mengunjungi wilayah taklukannya di Selayar, ia juga berkunjung ke Kerajaan Makassar. Dan pada perkembangan selanjutnya, bukan hanya Ternate yang dilakukan hubungan, tetapi termasuk daerah Banda, Ambon, dan Tidore.
Setelah dilakukan hubungan politik, Kerajaan Makassar beberapa kali memberikan bantuan tenaga atau pasukan ketika wilayah itu bersengketa dengan VOC. Misalnya pada 1642 ketika Hitu melakukan perlawanan terhadap VOC, Kerajaan Makassar memberikan bantuan militer di bawah pimpinan I Daeng Battu. Begitu juga ketika Majira melakukan penentangan terhadap Sultan Ternate, Mandar Syah, yang telah melakukan persekutuan dengan VOC pada Januari 1652, Kerajaan Makassar juga memberikan bantuan militer di bawah pimpinan Daeng Ri Bulekang (Poelinggomang,dkk. 2004:67).
Ketika terjadi pembangkangan yang dilakukan oleh Arung Palakka bersama seluruh tawanan perang yang terdiri atas orang-orang Soppeng dan Bone melarikan diri dari tempat tawanan di Somba Opu, menyebabkan Sultan Hasanuddin sangat murka. Arung Palakka akhirnya menjadi buronan Kerajaan Makassar yang mengakibatkan terjadinya perang antara kedua belah pihak, meskipun Arung Palakka memiliki tenaga pendukung yang sangat besar, namun masih jauh lebih besar lagi pasukan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar sebab mendapat bantuan tenaga dari sekutunya.
Itulah sebabnya sehingga Arung Palakka tidak pernah menang dalam perang selama berhadapan dengan pasukan Kerajaan Makassar, dan diburu kemana-mana seperti binatang buruan. Kondisi itulah yang memaksa Arung Palakka harus melarikan diri dan meninggalkan tanah leluhurnya sekaligus tempat kelahirannya.
Tempat pelarian yang paling aman untuk sementara menurut perkiraan Arung Palakka adalah Kerajaan Buton. Arung Palakka berangkat bersama sejumlah kecil pengikutnya pada 7 Agustus 1660 (Poetra, 2015:59), sedang pada sumber lain disebutkan bahwa Arung Palakka berangkat ke Buton pada 25 Desember 1660 (Mattulada, 2011:93). Beliau diterima baik oleh Sultan Buton La Awu (1654-1664), dan selama mereka berada di Buton, ia ditempatkan di dalam sebuah gua yang terdapat pada sebuah tebing terjal di pinggir Benteng Keraton Wolio sebelah timur.
Kurang lebih tiga tahun lamanya Arung Palakka mendapat perlindungan dari Sultan Buton dengan segala resikonya. Dan pada November 1663, Arung Palakka berangkat ke Batavia menumpang kapal Belanda yang bernama de Leuwinne (Kila,2014:43).
Ketika Sultan Hasanuddin mengetahui bahwa Arung Palakka melarikan diri ke Buton, alangkah marahnya beliau sebab Kerajaan Buton ketika itu masih menjadi wilayah kekuasaannya. Itulah sebabnya sehingga Sultan Hasanuddin mengirimkan utusan ke Buton untuk memastikan keberadaan Arung Palakka. Menurut Imran Kudus ”Ketika utusan Sultan Hasanuddin tiba di Buton, ia disambut dengan sangat baik oleh Sultan Buton La Awu. Ketika utusan Sultan Hasanuddin menanyakan prihal Arung Palakka dan pengikutnya yang diduga berada di Buton, pihak Sultan Buton bersumpah dan menyatakan “bahwa yang bersangkutan tidak ada di atas Bumi Buton“.
Untuk meyakinkan bahwa yang bersangkutan tidak ada di atas Bumi Buton, maka Sultan Buton menpersilahkan mencari sendiri di dalam Keraton Wolio. Akan tetapi yang bersangkutan tidak menemukan siapa yang dicari sehingga utusan itu kembali ke Makassar untuk melaporkan kepada Sultan Hasanuddin“ (Wawancara: Irman Kudus di Baubau, 15 Mei 2016).
Setelah beliau menerima laporan dari utusannya, maka terjadi ketegangan hubungan antara kedua pihak. Sultan Hasanuddin tidak yakin bahwa Arung Palakka tidak ada di Kerajaan Buton. Menurutnya, ia tidak dapat ditemukan di Keraton Kerajaan Wolio sebab yang bersangkutan memang sengaja disembunyikan oleh Sultan Buton. Itulah sebabnya Sultan Hasanuddin marah terhadap Sultan Buton karena tidak memberikan suatu keterangan jelasdimana persembunyian Arung Palakka bersama pengikutnya.
Menurut versi Makassar, Arung Palakka tidak hanya sebagai musuh Makassar, tetapi juga membuat malu raja dan bangsawan Makassar karena dalam pelariannya telah membawa serta “Daeng Talele” seorang putri bangsawan Makassar. Dalam perkembangannya, Sultan Hasanuddin mendengar lagi berita bahwa Arung Palakka memang berada di Kerajaan Buton dan disembunyikan oleh Sultan Buton La Awu.
Pada 23 Oktober 1666 raja Makassar memberangkatkan pasukan armada lautnya yang berkekuatan 20.000 orang pasukan lengkap dengan persenjataan untuk menghukum Buton. Sejarahwan menulis bahwa kekuatan pasukan itu adalah yang terbesar yang pernah dikerahkan oleh Kerajaan Makassar dalam suatu perang yang akan dilakukan. Pimpinannya dipercayakan kepada seorang bangsawan Makassar yang bernama Karaeng Bontomarannu. Selain jumlah pasukan besar itu, masih didukung oleh pasukan tambahan berasal dari Bone yang dipimpin oleh Arung Amali, sedang pasukan dari Soppeng dipimpin oleh La Tenritappu To Walennae (Zuhdi, 1996:72).
Kalau dicermati penjelasan di atas, tampak jelas bahwa ketika Kerajaan Makassar mengirim pasukan yang sangat besar untuk menghukum Kerajaan Buton, Arung Palakka sebenarnya sudah tidak berada di Buton. Arung Palakka bersama pengikutnya meninggalkan Kerajaan Buton pada November 1663 menuju Batavia untuk meminta bantuan VOC. Dan beliau kembali ke Sulawesi Selatan bersama pasukan VOC pimpinan C. Speelman setelah terlebih melakukan peperangan di Sumatera.
Setelah itulah baru Arung Palakka kembali ke Sulawesi Selatan untuk melakukan pembalasan dendam atas perlakukan Kerajaan Makassar terhadap orang-orang Bugis, terutama Bone dan Soppeng. Serangan secara besar-besaran itu, akhirnya dapat melumpuhkan perlawanan pasukan Kerajaan Buton hingga tetes darah yang penghasilan.
Meski demikian, pasukan Kerajaan Buton tidak dapat menandingi kekuatan pasukan Kerajaan Makassar yang terdiri dari 700 buah kapal perang di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu. Akhirnya Kerajaan Buton menyatakan kalah perang. Namun sehari setelah kekalahan itu, pasukan gabungan VOC, Arung Palakka baru tiba di perairan Buton untuk membantu Sultan Buton. Keadaan kembali terbalik sebab terjadi peperangan antara VOC bersama sekutunya melawan pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu (Patunru,1969:46).
Ketika pertempuran hebat sedang berlangsung, pasukan Kerajaan Makassar yang terdiri dari orang-orang Bugis yang berjumlah sekitar 15.000 orang mengetahui bahwa yang datang adalah Arung Palakka bersama sekutunya, sehingga sebagian besar dari pasukan orang Bugis tersebut berbalik haluan melawan pasukan Makassar dan bergabung dengan pasukan Arung Palakka.
Hanya dalam waktu kira-kira tiga hari saja pasukan Arung Palakka sudah berjumlah 4.000 orang (Zahari,1977: 50-51). Akibat pembelotan sebagian pasukannya, menyebabkan perlawanan pasukan Karaeng Bontomarannu terpaksa terhenti hanya dalam waktu kurang lebih tiga hari saja, yaitu pada 4 Januari 1667.
Sebagian armadanya yang masih utuh melarikan diri dengan meninggalkan perairan Buton. Sementara mereka yang masih bersama Karaeng Bontomarannu menjadi tawanan perang Speelman (Patunru; 1969:47).
Jumlah pasukan Karaeng Bontomarannu yang tertawan kurang lebih 10.000 orang yang terdiri dari orang Makassar sekitar 5.000 orang dan sisanya adalah orang Bugis. Tawanan perang ini oleh Speelman ditempatkan pada sebuah pulau kecil di depan Kota Baubau. Tawanan ini sengaja ditempatkan di pulau itu dan hanya diberi persediaan makanan untuk beberapa hari saja sehingga hanya dalam beberapa hari saja para tawanan itu banyak meninggal dunia karena kelaparan. Hanya sedikit yang hidup sebab dapat menyelamatkan diri dengan berenang ke daratan yang terdekat (Andaya, 2013:96).
Menurut sumber lain menyatakan bahwa meskipun Speelman tidak menyediakan bahan makanan yang cukup untuk bertahan lebih lama,namun sepeninggal Speelman menuju Ambon, Sultan Buton memberikan bantuan perbekalan dan tumpangan secukupnya sampai tiba kembali di negerinya, namun ada juga yang tetap tinggal menetap di pulau itu hingga sekarang anak keturunannya menetap di pulau itu (Zahari, 1977:52). Pulau tempat penahanan dari para pasukan Makassar dinamakan Pekuburan Makassar (Makassarche Kerkhof) atau sebutan orang Belanda yang lainnya adalah pulau orang-orang yang menang (overwinnars eiland)atau pulau penakluk (Andaya,2013:96) dan sekarang dikenal sebagai Pulau Makassar.
Meskipun pasukan Makassar menang dalam perang melawan Buton, namun empat hari kemudian kalah dalam perang di Buton melawan VOC dan sekutunya, tetapi status Kerajaan Buton belum berubah sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar. Nanti secara nyata Kerajaan Makassar melepaskan haknya atas Kerajaan Buton setelah setahun kemudian, yaitu ketika Sultan Hasanuddin kalah dalam Perang Makassar 18 November 1667 yang diakhiri dengan suatu perjanjian perdamaian yang dikenal dengan nama “Perjanjian Bungaya”.
Salah satu isi pasal perjanjian yang dimaksud menekankan dengan jelas bahwa Kerajaan Makassar harus melepaskan haknya atas Kerajaan Buton adalah pasal 16 yang berbunyi; “ Sultan harus melepaskan segala haknya atas Kerajaan Buton” (Amir, 2011: lampiran No.2).
Perjanjian Bungaya secara langsung berkaitan dengan Kerajaan Buton,baik yang bersifat menguntungkan maupun yang merugikan. Segi keuntungannya adalah sebab Kerajaan Buton sudah terlepas dari pengaruh kekuasaan Kerajaan Makassar seperti yang disebutkan pada pasal 16 Perjanjian Bungaya tersebut.
Ketika masa penguasaan itu ada fakta yang menyebutkan bahwa Kerajaan Makassar telah lama melakukan perampasan hak atas orang Buton. Tampaknya orang Buton menjadi komoditas dagang, terutama bagi orang-orang yang menjadi rampasan perang lalu dijadikan barang dagangan sebab dianggap sebagai budak.
Ketika usai ditandatangani Perjanjian Bungaya tersebut, persoalan seperti itu sudah dapat diatasi dan tidak terulang lagi. Segi kerugian bagi Kerajaan Buton sebab meskipun ia terlepas dari belenggu Kerajaan Makassar, namun ia akan berada dalam kungkungan penindasan kekuatan VOC yang jauh lebih berat dibandingkan pengaruh kekuasaan Kerajaan Goa. (**)