![]() |
Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia) |
BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate of Buton). Berikut petikannya;
Sultan La Elangi adalah sultan ke-4 yang juga dikenal dengan nama Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Sultan La Elangi menjabat selama 37(1578-1615 M) tahun lamanya.
Ada perbedaan dalam penulisan tahun masa jabatan sultan La Elangi. Perbedaan tersebut tertulis dalam nisan kuburan yang tertera tahun 1597-1631 M, yakni selama 34 tahun. (Abdul Mulku Zahari, 1977:51). La Elangi berasal dari keturunan bangsawan kaum Tanailandu.
Tanailandu adalah salah satu dari tiga golongan bangsawan Buton. Ketiga golongan tersebut adalah Kaum Tanailandu, Kaum Tapi-tapi dan Kaum Kumbewaha.
Ketiga kaum ini merupakan keturunan dari raja pertama Kerajaan Buton yaitu Wa Kaa Kaa. Wa Kaa Kaa melahirkan Bulawambona-raja Buton ke-2 yang kemudian juga melahirkan Bataraguru-raja Buton ke-3.
Anak dari Bataraguru yakni Kayjula menikah dengan Warandea putri dari raja Tiworo yang beranakan Watubapala. Watubala bersuamikan Sugimaru-Raja Muna ke-2 yang kemudian melahirkan Murhum.
Murhum adalah Raja Buton ke-6 yang juga merupakan Sultan Buton pertama, dikarenakan di masa pemerintahannya, sistem kerajaan dirubah menjadi sistem kesultanan.
Kesultanan terbentuk setelah 20 tahun Raja Murhum menjabat Kerajaan Buton. Raja Murhum menerima kedatangan penyiar Agama Islam yang bernama Syaikh Abdul Wahid.
Syaikh Abdul Wahid adalah keturunan arab yang datang dari Gujarat melalui Johor yang juga berprofesi sebagai pedagang selain Penyiar Agama Islam. (Abdul Mulku Zahari, 1977:51)
Kembali pada pembahasan tiga golongan bangsawan Buton, pada keturunan Sultan Murhum inilah tiga golongan (Tanailandu, Tapi-tapi, Kumbewaha) bangsawan Buton ini berasal.
Sultan Murhum beristrikan Wa Sameka yang melahirkan Wa Sugirampu, Paramasuri, dan Wa Bunganila.
Paramasuri bersuamikan La Siridatu yang beranakan salah satunya Sultan La Elangi. Sedangkan Wa Bunganila bersuamikan La Kabaura yang melahirkan La Singga dan La Bula.
Dari keturunan La Elangi inilah disebut golongan bangsawan Tanailandu. Dari keturunan La Singga disebut golongan bangsawan Tapi-tapi dan dari keturunan La Bula disebut golongan bangsawan Kumbewaha. (Abdul Mulku Zahari, 1977: 62-63).
Pada masa pemerintahan Sultan La Elangi, banyak sistem yang dibuat dan ditata guna kelancaran roda pemerintahan pada saat itu. Diantaranya, undang-undang dasar kesultanan yang sarat dengan konsep Martabat tujuh, syarat-syarat pegawai kesultanan, susunan pegawai kesultanan, tugas pokok pegawai kesultanan, alat-alat kebesaran pegawai kesultanan, Syara/perangkat Agama, pembagian daerah kepemintahan yang juga tercantum di dalamnya undang- undang daerah Barata atau juga disebut daerah otonom, tata tertib musyawarah, weti atau pajak, undang-undang pertanahan. (Abdul Mulku Zahari, 1977: 51).
Tidak hanya itu, sejumlah perjanjian Sultan La Elangi dengan Komandeur Appolonius Schotte perwakilan dari Kompeni atau VOC (Vereenigde Oost Indiesche Kompagnie). Perjanjian persahabatan tersebut diperkuat dan ada beberapa poin yang ditambahkan oleh Pieter Both-Gubernur Jendral Kompeni, tepatnya pada tanggal 29 Agustus 1613.
Adapun bunyi perjanjian Sultan Dayyan Ikhsanuddin dengan Kapten Schotte sebagai berikut:
Dari pihak Schotte:
- Memberikan bantuan dan perlindungan kepada Kerajaan Buton bila mendapat serangan dari kerajaan lain ataupun pertentangan yang terjadi di dalam Kerajaan Buton.
- Pihak VOC memberikan 4 buah meriam beserta pelurunya dan juga tenaga teknis yang mengajarkan penggunaannya.
- Tidak mengganggu dan menyulitkan rakyat Buton beserta rajanya dan pembesar Kerajaan dalam menjalankan kepercayaannya/agamanya.
- Pihak Kompeni/VOC akan mehimbau Sultan dan Pembesar Kerajaan Ternate agar memperingati orang-orang Ternate yang akan datang ke Buton dalam urusan kerajaan harus disertai dengan surat keterangan serta cap resmi dari kerajaan.
- Mata uang logam Kompeni sama nilainnya dengan uang Kerajaan Buton. Setelah beberapa bulan perjanjian tersebut berjalan, pihak Kompeni yakni Gubernur Pieter Both kembali memperkuat perjanjian tersebut dengan menambahkan beberapa poin, yakni:
- Apabila Sultan La Elangi wafat, maka calon penggantinya adalah Kamaruddin dan Syamsuddin.
- Semua bangsa asing seperti Spanyol dan Portugis dan lainnya, dapat bebas berada di Buton dengan persetujuan pihak Kompeni.
- Musuh yang membawa barang dengan perahu dari Surabaya dibongkar di Makassar dengan pemberitahuan dari Sultan Buton, maka perahu itu dapat dirampas beserta seluruh muatannya atas hasil pemerikasaan Kompeni.
- Barang-barang sitaan tersebut sebagian diserahkan kepada Raja Buton dan sebagian sisanya kepada Kompeni.
Dari Pihak Sultan Dayanu Ikhsanuddin:
- Memerangi musuh Kerajaan Ternate dan musuh Kompeni. Memberikan bantuan tentara kepada Kompeni ke Solor ketika perjanjian ini telah resmi ditanda tangani.
- Pengawasan penetapan harga atas kebutuhan bahan pokok sehari-hari disepakati dan dipegang teguh.
- Tidak mengadakan hubungan perdagangan dengan kerajaan yang lain selain dari pihak Kompeni.
- Orang-orang Belanda/VOC tidak akan dimintai suatu pembayaran berupa pajak dan diberikan kesempatan berdagang dengan bebas di dalam Kerajaan Buton.
- Menerima pemasukan beras terutama dari Maluku.
- Tentara Kompeni dapat mengawini perempuan dari kaula Kerajaan
- Buton yang tidak dalam ikatan pernikahan dan atas kemauannya serta menurut agama suaminya.
- Demikian pula pembelian budak oleh Kompeni dengan ketentuan bahwa pelarian budak dari salah satu pihak harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Kontrak perjanjian ini juga dimaksudkan dengan perdamaian dan persahabatan dengan Banda. Kecuali bila terjadi perpecahan antara Kompeni dengan orang-orang Banda, maka semua orang Buton yang tinggal di Banda di panggil kembali. (Abdul Mulku Zahari, 1977: 66-69) (red)