Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Kampung Mola, Kawasan Wisata Suku Bajo di Wakatobi

Kampung Mola - Wakatobi

SUKU Bajo dikenal sebagai masyarakat yang hidup sepenuhnya dari laut, yang menetap di daerah pesisir. Keberadaan suku Bajo ini bisa ditemukan di 21 provinsi yang ada di Tanah Air. Mereka bahkan dapat ditemui di pesisir Australia, Filipina, Jepang, India dan konon sampai Eropa.

Kampung Mola di Wakatobi merupakan perkampungan Suku Bajo dengan populasi mencapai 16.000 jiwa. Mereka tersebar di lima desa, antara lain, Mola, Mola Selatan, Mola Utara, Mola Bahari, Mola Samaturu, dan Mola Nelayan Bhakti. Mereka bahkan punya Presiden sendiri, yang dijabat oleh Abdul Manan sejak 2008 silam.

Keunikan masyarakat Bajo dengan segala budaya lautnya ternyata kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, khususnya dari mancanegara. Atas dukungan dari British Council, Bank Mandiri dan Pemda Wakatobi, kawasan Mola kemudian dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata pesisir di Wakatobi.

Samran, yang juga terlibat dalam pengelolaan kawasan wisata ini, menjelaskan keberadaan kawasan wisata ini adalah kesempatan untuk memperkenalkan kekhasan budaya Bajo kepada dunia luar. Dalam paket wisata yang dijalankan, mereka misalnya mengajak wisatawan land tour, berkeliling kampung memperlihatkan bagaimana cara hidup, pembuatan perahu dan kuliner yang ada.

Dengan perahu, wisatawan diajak berkeliling, melakukan snorkeling dan menyaksikan lumba-lumba yang banyak ditemukan di kawasan tersebut.

Salah satu dampak yang dirasakan oleh adanya kawasan wisata ini menurut Samran adalah munculnya kesadaran warga untuk menjaga pesisir.

“Kalau ada sampah-sampah berserakan, dengan kesadaran sendiri mereka biasa akan membersihkan. Ekosistem kawasan juga bisa terjaga dengan baik karena tak ada lagi pengeboman ikan di sekitar kawasan tersebut.” ujarnya

Kampung Mola banyak ditemui kanal-kanal kecil yang berukuran tidak lebih dari 1.5 meter terlihat sepi dengan perahu-perahu ramping tertambat di beberapa bagiannya. Sementara di ujung kanal yang berbatasan langsung dengan laut Wanci terlihat hilir mudik sampan-sampan kecil berlalu lalang lengkap dengan pemandangan beberapa wanita dan anak-anak perempuan yang asik mengayuh sampan dengan santai.


Suku Bajo di Kampung Mola memang unik. Mereka sering menyebut diri mereka sebagai orang laut. Lahir, besar dan hidup mereka di laut. Lautan luas adalah halaman rumah-rumah panggung mereka. Biasanya mereka menyusun batu-batu karang di tengah laut kemudian mendirikan rumah panggung diatas nya.

Sampan kecil adalah kendaraan mereka. Mereka tidak pernah berpikir tentang fluktuatifnya harga kendaraan bermotor, mereka tidak pusing dengan kenaikan BBM. Mereka hanya mengayuh sampan nya dengan dayung kecil saja. Pergi dan pulang melaut cukup bermodalkan tekad baja dan beberapa bungkus Kasuami saja – makanan khas Wakatobi dari sari pati singkong.

Kampung Mola berdiri sekitar tahun 1950. Bermula dari persoalan karena ada warga suku bajo di Kaledupa, tempat awal mereka sebelum berpindah ke Mola dituduh terkait dengan gerakan DI/TII. Konon, seorang ulama dari suku mereka tewas di saat mereka tidak tahu menahu tentang gejolak yang sedang terjadi di negeri ini waktu itu. Saat itulah mereka mulai berpindah ke daratan di kampung Mola.

Kehidupan di kampung Mola ini seperti kehidupan kampung nelayan pada umumnya. Memang, wajah kemiskinan masih terlihat jelas di beberapa sudut kampung. Pendidikan masih belum menjadi prioritas utama keluarga di sana. Masih banyak anak-anak usia sekolah dasar terlihat asyik membantu orang tuanya di laut. Namun begitu bukanlah halangan bagi beberapa orang yang bisa meriah kesuksesan duduk di kursi pemerintahan. Warga Bajo di kampung Mola kini sudah sedikit bergeser dari pakem leluhur mereka sebagai orang laut.

Kampung Mola kini mulai terlihat beda dengan kampung-kampung suku Bajo lainnya yang tersebar di Kaledupa, wilayah Wakatobi lainnya. Di kampung Mola ini sudah ada beberapa rumah yang dibuat dari beton beratapkan seng, meskipun di pesisir-pesisirnya masih berupa rumah-rumah panggung yang menancapkan tiang pancangnya ke laut. Sebuah tradisi yang mulai di sudutkan oleh keadaaan. (ref, dari berbagai sumber)

Posting Komentar

0 Komentar


Memuat...