ilustrasi : foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd |
BUTON masa kini niscaya sebuah peradaban sejarah yang terelakkan. Buton disebut sebagai ‘negara’ di zamannya yang secara bilateral tentu banyak bersentuhan dengan Belanda, negara paling berpengaruh di bumi Nusantara selama 3,5 abad.
Sabtu siang, 1 Desember 2018 Butonmagz menyajikan beberapa rangkaian peristiwa bertalian sejumlah perjanjian yang melibatkan kedua negara, hingga reaksi keras masyarakat kesultanan Buton masa lalu terhadap hegomoni Belanda tersebut. Sumber penulisan ini terekam dalam beberapa catatan Ali Hadara, akademisi Universitas Halu Oleo Kendari melalui tulisan-tulisannya yang terpublis awal tahun ini.
Beberapa perjanjian antar kedua negara, yang melibatkan Kerajaan Belanda dengan Ksultanan Buton, adalah sebagai berikut;
PERTAMA kali orang Belanda menginjakan kaki di Buton pada awal tahun 1613. Pada tanggal 5 Januari 1613, ditandatangani perjanjian antara Komandeur Appolonius Schet atas nama VOC dengan Sultan Dayanu Ikhsanuddin.
Perjanjian ini biasa disebut “Kontrak Perjanjian Shcet-Elangi” dan dalam sejarah Buton dikenal dengan istilah janji baana (janji pertama), karena untuk pertamakali Buton menjalin hubungan dengan Belanda, terutama kerjasama perdagangan dan keamanan.
Kerjasama ini menjadi cikal bakal monopoli perdagangan dan awal penjajahan Belanda di Buton karena kemudian ditindaklanjuti dengan kontrak perjanjian berikutnya yang semakin lama semakin merugikan Buton.
PADA tanggal 31 Januari 1667, di atas kapal Thertolen sebuah kapal pemburu milik Kompeni Belanda, Speelman dan Sultan La Simbata (Sultan Buton X), menutup perjanjian, yang pada pokoknya di seluruh Kepulauan Tukang Besi terutama di Kaledupa dan Wangi-Wangi, dinyatakan semua pohon cengkeh dan pala harus ditebang dan sekaligus dimusnahkan di bawah pengawasan orang-orang Kompeni. Hak ekstirpasi (extirpatie) yang dimiliki oleh VOC ini dikukuhkan pada tanggal 25 Juni 1667.
Atas penebangan pohon cengkeh dan pala ini, Kompeni membayar kepada Buton setiap tahun 100 ringgit atau seratus rijksdaalders sebagai pengganti kerugian (recognitie-penning). Perjanjian Speelman-Simbata tersebut dikenal dalam sejarah Buton dengan istilah janji limaanguna, artinya perjanjian yang kelima.
Isi perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan intervensi atas kedaulatan Buton, terutama dalam hak ekstirpasi, yakni hak VOC untuk melakukan penebangan pohon rempah-rempah di Kepulauan Tukang Besi, terutama Kaledupa, Wanci-Wanci, dan Binongko. Meskipun tidak sebanyak produksi di kepulauan Maluku Tengah, pohon cengkeh di Kepulauan Tukang Besi, terutama Wanci dan Kaledupa merupakan ancaman bagi monopoli VOC .
SELANJUTNYA pada tanggal 25 Juni 1667 diadakan lagi perjanjian Speelman-Simbata di atas kapal Thoff van Zeeland. Perjanjian ini sesungguhnya merupakan pengukuhan dan penegasan kembali dari perjanjian sebelumnya.
Dua dari 13 pasal isi perjanjian ini (pasal 1 dan pasal 2) adalah (1) Semua pohon cengkeh dan pala yang terdapat di Pulau-Pulau Tukang Besi harus ditebang dan dimusnahkan dimana Kompeni membayar kepada Buton tiap tahun 100 ringgit sebagai pengganti kerugian dan akan berlaku pada akhir tahun 1667; (2) Juga di tempat-tempat lain di dalam kekuasaan Raja Buton, yang sekarang ataupun kemudian, bila ditemukan pohon cengkeh dan pala boleh ditebang.
Ganti rugi penebangan cengkeh dan pala tersebut kemudian diatur sebagai berikut : 100 real untuk kerajaan, 50 real isi meja (antona meja) untuk pribadi Sapati Baluwu (dinyatakan dalam keputusan tersendiri), jurubasa dan tau-tau mengambil 10 real dan dari uang meja lima real seluruhnya 15 real dibagi dua masing-masing tujuh boka dan dua suku.
Lebihnya 90 real masih kurang lagi karena pengeluaran untuk kompanyia yaitu anggota kometer yang keempat yang kembali satu boka, jurubasa di Ujung Pandang satu boka, opasi satu boka, yang membawa surat dua suku, dan yang memegang uang dua suku.
PADA tanggal 8 April 1906 ditatandatangani perjanjian antara Sultan Buton ke-33, Muhammad Asyikin, dengan Residen Belanda bernama Brugman, sehingga lebih dikenal dengan sebutan Perjanjian Asyikin-Brugman.
Perjanjian atau Korte Verklaring (perjanjian pendek) ini adalah strategi politik Belanda untuk memperkokoh cengkeraman kekuasaannya di Buton. Perjanjian ini menandai dualisme pemerintahan di Kesultanan Buton.
Di satu pihak Buton tetap diperbolehkan menjalankan pemerintahannya sendiri seperti keadaan sebelumnya, di pihak lain harus mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya. Sejak itu Kesultanan Buton menjalankan sistem pemerintahan sendiri yang dinamakan Zelfbesturende Landschappen di bawah lindungan dan pengawasan pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda berangsur-angsur menancapkan kekuasaannya melalui berbagai macam peraturan yang semakin mempersempit kekuasaan Sultan Buton dan aparatnya ke bawah hingga dibentuknya pemerintahan Afdeling Buton en Laiwui pada tanggal 24 Februari 1940 yang salah satu daerah bawahannya adalah Onderafdeling Buton dan Pulau-Pulau Tukang Besi yang dikepalai oleh seorang Controleur Belanda, struktur mana tidak berubah hingga masa pendudukan Jepang (1942-1945).
SESUAI perjanjian Asykin-Brugman, maka sejak tahun 1910, wilayah Kesultanan Buton telah direstrukturisasi ke dalam sistem district, menjadi tidak kurang dari 22 distrik. Masing-masing distrik membawahi beberapa onderdistrict. Beberapa jabatan penting mulai ditiadakan seperti Raja Sorawolio, Raja Badia, Kapitalao Matanaeo dan Sukanaeo, Kapita dan Sabandara, sistem barata sejak itu mulai ditiadakan. Semua limbo (kadie) yang berada berubah status menjadi onderdistrik.
PADA masa pendudukan Jepang, sistem pemerintahan dualisme Belanda tetap dipertahankan. Pembagian wilayah bawahan tidak berubah, yang diubah hanya nama kesatuan wilayah dan pejabat pemerintahan sipil. Afdeling menjadi Ken dengan kepala Kenriken.
Onderafdeling menjadi Bunken dengan kepala Bun Kenriken. District/Onderdistrict menjadi Gun dengan kepala Gunco. Kampung menjadi Son yang dikepala oleh Sonco. Jabatan Kenriken dan Bun Kenriken dijabat oleh orang Jepang sedangkan jabatan Gunco dan Sonco oleh orang Indonesia. Istilah Jepang kemudian ditiadakan bersamaan dengan berakhirnya masa pendudukan.
Ketika memasuki zaman kemerdekaan, pihak pemerintahan Swapraja Buton berupaya memulihkan kembali jabatan-jabatan penting yang dibekukan sejak tahun 1910, akan tetapi kembali ditiadakan oleh pemerintah pada tanggal 15 Januari 1951 melalui kebijakan demokrasi sering hingga sultan tinggal seorang diri didampingi oleh empat orang pembantu sampai tahun 1960 ketika dibentuk empat Daerah Tingkat II (Kabupaten) di Sulawesi Tenggara.
Baca Juga :Perjanjian Bongaya: Cara Belanda Lemahkan Kesultanan Gowa
Empat kabupaten tersebut adalah Kabupaten Buton ibukotanya Bau-Bau, Kabupaten Muna ibukotanya Raha, Kabupaten Kendari ibukotanya Kendari dan Kabupaten Kolaka ibukotanya Kolaka. Pada tahun 1964 dibentuk Provinsi Sulawesi Tenggara ibukotanya Kendari yang wilayahnya mencakup empat kabupaten tersebut (Buton, Muna, Kendari, dan Kolaka).
Reaksi msyarakat atas dominasi Belanda
KONTRAK perjanjian Belanda-Buton, menimbulkan dua keadaan. Di satu pihak kekuasaan Belanda (VOC dan Hindia Belanda) atas Buton semakin lama semakin kokoh, di pihak lain Buton semakin lama semakin tidak berdaya, semakin tertindas dan melarat.
Penguasa Buton semakin lama semakin menjadi alat kekuasaan Belanda melalui berbagai ikatan kontrak perjanjian, sementara rakyat Buton semakin miskin dan menderita.
Akibatnya timbul reaksi masyarakat baik secara individual maupun berkolompok atau gabungan keduanya. Reaksi masyarakat timbul dalam dua bentuk perlawanan, fisik dan nonfisik, di seluruh wilayah kekuasaan Buton termasuk di empat Barata.
Di Buton ada nama La Walanda karena kegigihannya melawan politik devide et impera Belanda ia tewas dipenggal kepalanya oleh Steven Barentzoon (seorang pejabat Belanda di Buton) pada tahun 1644 pada saat pembuatan benteng Keraton Buton.
Bahwa distribusi uang 100 ringgit ganti rugi penebangan pohon cengkeh dan pala yang ada di Wangi-Wangi dan Kaledupa sebagian besar hanya dinikmati oleh pejabat tinggi Kesultanan Buton. Akibatnya timbul reaksi keras dari masyarakat di ke dua pulau tersebut.
Mereka sama sekali tidak memberikan dukungan terutama terhadap empat orang anggota detasemen pengawas penebangan pohon cengkeh dan pala yang ditempatkan di Kepulauan Tukang Besi, mereka tidak memberikan bantuan tumpangan dari satu pulau ke pulau lainnya.
Fakta sukses VOC di satu pihak berakibat pada munculnya masalah ekonomi, yang dihadapi rakyat di pihak lain. Hal itu dapat dilihat dari berbagai cara yang dilakukan penduduk untuk menghindari ekstirpasi. Cara-cara tertentu misalnya dengan tindakan “mengelabui” yang sering kali dilakukan untuk menghindari ekstirpasi. Dalam kegiatan ekstirpasinya, di Kepulauan Tukang Besi, tiga orang serdadu VOC mengeluh karena tidak mendapat bantuan penuh dari penduduk setempat.
Tokoh yang paling menentang perjanjian Speelman-Simbata karena dirasakan langsung oleh rakyatnya adalah Kapita Waloindi di Binongko. Ia memimpin gerakan perlawanan rakyat melawan Belanda jelang akhir abad ke-17 hingga akhir hayatnya.
Selama empat kali ia bertempur melawan Belanda hingga ia tewas pada tahun 1680. Sisa-sisa pasukannya sebagian melarikan diri ke Ambon, di antara mereka ada yang diduga sebagai Patimura.
Di Muna ada tokoh bernama La Ode Ngkadiri (Sangia Kaindea) terpaksa diasingkan ke Ternate pada tahun 1667 karena menentang perjanjian Speelman-Simbata. Perjuangannya dilanjutkan oleh permaisurinya bernama Wa Ode Wakelu hingga tahun 1668.
Di Buton ada nama La Karambau alias Himayatuddin Muhammad Saidi alis Oputa Yi Koo. Selama dua kali menjabat Sultan Buton (ke-20 dan ke-23). Ia memimpin gerakan perlawanan rakyat terhadap Belanda (1751-1763). Karena kuatir akan merugikan Buton, maka ia berhenti dari jabatannya sebagai Sultan Buton atas pesetujuan Syara.
Di Kulisusu terdapat seorang tokoh pejuang bernama La Ode Gure alias Raja Jin yang berhasil menenggelamkan sebuah kapal Belanda bernama Bark de Noteboom. Akibatnya Buton terkena sanksi harus menyerahkan 100 orang budak kepada Kompeni Belanda karena tindakan La Ode Gure.
Lainnya, adalah La Ode Gola bersama pasukannya berhasil menenggelamkan kapal Belanda, Rust en Werk pada tahun 1906 sebagai reaksi atas penolakan perjanjian Asyikin-Brugman (1906). Kapten kapal bernama Van den Burg (ada yang menyatakan dari nama ini menjadi Wa Ode Buri). Pada tahun 1914 ia tewas dalam pertempuran melawan Belanda di Kulisusu.
Baca juga : Drs. H. La Ode Manarfa, sejarah menulis pendidikannya dengan Doktor Indologie
Penentang lain perjanjian Asyikin-Brugman adalah Ani Abdul Latif. Ia dan kawan-kawannya kemudian dipenjarakan di Ujung Pandang pada tahun 1907.
La Ode Boha melakukan serangan ke kapal Belanda di teluk Bau-Bau hingga tewas pada tahun 1912. Pemimpin pemberontakan lainnya adalah Mantalagi di Pasar Wajo (1914), La Ode Sampela dan La Ode Ebo di Tiworo (1914), La Ode Ijo dan La Ode Pulu di Muna (1914).
Tiga orang tokoh penting Moronene yang menentang Korte Verklaring (Perjanjian Asyikin-Brugman) adalah Sangia Dowo, Mbohogo, dan I Ule. Pemimpin pejuang, Sangia Dowo, tewas diracun Belanda dalam suatu perundingan tahun 1911.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia masih sempat mengucapkan pernyataan patriotik yang berbunyi “mati adalah soal biasa, tetapi munafik itu hukumannya dosa. Mati adalah pilihan seorang pahlawan yang mencintai tanah airnya. Meskipun aku telah mati karena tipu muslihatmu, namun jiwaku tetap hidup dan melawan bangsamu”.
Ia mati sebagai perisai perjuangan dalam usia 37 tahun, suatu usia yang masih sangat muda. Jenazahnya diusung pulang ke istana dan dimakamkan secara adat kebesaran kerajaan. Kepadanya diberi gelar Sangia Nilemba yang berarti raja yang diusung.
Perjuangannya dilanjutkan oleh Mbohogo dan I Ule. Tahun 1912, Mbohogo dibuang ke Nusa Kambangan dan tewas di tiang gantungan di Nusa Kambangan. Sementara I Ule pada tahun yang sama tewas di tiang gantungan dalam status pembuangan di Bau-Bau. (ref )
Sabtu siang, 1 Desember 2018 Butonmagz menyajikan beberapa rangkaian peristiwa bertalian sejumlah perjanjian yang melibatkan kedua negara, hingga reaksi keras masyarakat kesultanan Buton masa lalu terhadap hegomoni Belanda tersebut. Sumber penulisan ini terekam dalam beberapa catatan Ali Hadara, akademisi Universitas Halu Oleo Kendari melalui tulisan-tulisannya yang terpublis awal tahun ini.
Beberapa perjanjian antar kedua negara, yang melibatkan Kerajaan Belanda dengan Ksultanan Buton, adalah sebagai berikut;
PERTAMA kali orang Belanda menginjakan kaki di Buton pada awal tahun 1613. Pada tanggal 5 Januari 1613, ditandatangani perjanjian antara Komandeur Appolonius Schet atas nama VOC dengan Sultan Dayanu Ikhsanuddin.
Perjanjian ini biasa disebut “Kontrak Perjanjian Shcet-Elangi” dan dalam sejarah Buton dikenal dengan istilah janji baana (janji pertama), karena untuk pertamakali Buton menjalin hubungan dengan Belanda, terutama kerjasama perdagangan dan keamanan.
Kerjasama ini menjadi cikal bakal monopoli perdagangan dan awal penjajahan Belanda di Buton karena kemudian ditindaklanjuti dengan kontrak perjanjian berikutnya yang semakin lama semakin merugikan Buton.
PADA tanggal 31 Januari 1667, di atas kapal Thertolen sebuah kapal pemburu milik Kompeni Belanda, Speelman dan Sultan La Simbata (Sultan Buton X), menutup perjanjian, yang pada pokoknya di seluruh Kepulauan Tukang Besi terutama di Kaledupa dan Wangi-Wangi, dinyatakan semua pohon cengkeh dan pala harus ditebang dan sekaligus dimusnahkan di bawah pengawasan orang-orang Kompeni. Hak ekstirpasi (extirpatie) yang dimiliki oleh VOC ini dikukuhkan pada tanggal 25 Juni 1667.
Atas penebangan pohon cengkeh dan pala ini, Kompeni membayar kepada Buton setiap tahun 100 ringgit atau seratus rijksdaalders sebagai pengganti kerugian (recognitie-penning). Perjanjian Speelman-Simbata tersebut dikenal dalam sejarah Buton dengan istilah janji limaanguna, artinya perjanjian yang kelima.
Isi perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan intervensi atas kedaulatan Buton, terutama dalam hak ekstirpasi, yakni hak VOC untuk melakukan penebangan pohon rempah-rempah di Kepulauan Tukang Besi, terutama Kaledupa, Wanci-Wanci, dan Binongko. Meskipun tidak sebanyak produksi di kepulauan Maluku Tengah, pohon cengkeh di Kepulauan Tukang Besi, terutama Wanci dan Kaledupa merupakan ancaman bagi monopoli VOC .
SELANJUTNYA pada tanggal 25 Juni 1667 diadakan lagi perjanjian Speelman-Simbata di atas kapal Thoff van Zeeland. Perjanjian ini sesungguhnya merupakan pengukuhan dan penegasan kembali dari perjanjian sebelumnya.
Dua dari 13 pasal isi perjanjian ini (pasal 1 dan pasal 2) adalah (1) Semua pohon cengkeh dan pala yang terdapat di Pulau-Pulau Tukang Besi harus ditebang dan dimusnahkan dimana Kompeni membayar kepada Buton tiap tahun 100 ringgit sebagai pengganti kerugian dan akan berlaku pada akhir tahun 1667; (2) Juga di tempat-tempat lain di dalam kekuasaan Raja Buton, yang sekarang ataupun kemudian, bila ditemukan pohon cengkeh dan pala boleh ditebang.
Ganti rugi penebangan cengkeh dan pala tersebut kemudian diatur sebagai berikut : 100 real untuk kerajaan, 50 real isi meja (antona meja) untuk pribadi Sapati Baluwu (dinyatakan dalam keputusan tersendiri), jurubasa dan tau-tau mengambil 10 real dan dari uang meja lima real seluruhnya 15 real dibagi dua masing-masing tujuh boka dan dua suku.
Lebihnya 90 real masih kurang lagi karena pengeluaran untuk kompanyia yaitu anggota kometer yang keempat yang kembali satu boka, jurubasa di Ujung Pandang satu boka, opasi satu boka, yang membawa surat dua suku, dan yang memegang uang dua suku.
PADA tanggal 8 April 1906 ditatandatangani perjanjian antara Sultan Buton ke-33, Muhammad Asyikin, dengan Residen Belanda bernama Brugman, sehingga lebih dikenal dengan sebutan Perjanjian Asyikin-Brugman.
Perjanjian atau Korte Verklaring (perjanjian pendek) ini adalah strategi politik Belanda untuk memperkokoh cengkeraman kekuasaannya di Buton. Perjanjian ini menandai dualisme pemerintahan di Kesultanan Buton.
Di satu pihak Buton tetap diperbolehkan menjalankan pemerintahannya sendiri seperti keadaan sebelumnya, di pihak lain harus mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya. Sejak itu Kesultanan Buton menjalankan sistem pemerintahan sendiri yang dinamakan Zelfbesturende Landschappen di bawah lindungan dan pengawasan pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda berangsur-angsur menancapkan kekuasaannya melalui berbagai macam peraturan yang semakin mempersempit kekuasaan Sultan Buton dan aparatnya ke bawah hingga dibentuknya pemerintahan Afdeling Buton en Laiwui pada tanggal 24 Februari 1940 yang salah satu daerah bawahannya adalah Onderafdeling Buton dan Pulau-Pulau Tukang Besi yang dikepalai oleh seorang Controleur Belanda, struktur mana tidak berubah hingga masa pendudukan Jepang (1942-1945).
SESUAI perjanjian Asykin-Brugman, maka sejak tahun 1910, wilayah Kesultanan Buton telah direstrukturisasi ke dalam sistem district, menjadi tidak kurang dari 22 distrik. Masing-masing distrik membawahi beberapa onderdistrict. Beberapa jabatan penting mulai ditiadakan seperti Raja Sorawolio, Raja Badia, Kapitalao Matanaeo dan Sukanaeo, Kapita dan Sabandara, sistem barata sejak itu mulai ditiadakan. Semua limbo (kadie) yang berada berubah status menjadi onderdistrik.
PADA masa pendudukan Jepang, sistem pemerintahan dualisme Belanda tetap dipertahankan. Pembagian wilayah bawahan tidak berubah, yang diubah hanya nama kesatuan wilayah dan pejabat pemerintahan sipil. Afdeling menjadi Ken dengan kepala Kenriken.
Onderafdeling menjadi Bunken dengan kepala Bun Kenriken. District/Onderdistrict menjadi Gun dengan kepala Gunco. Kampung menjadi Son yang dikepala oleh Sonco. Jabatan Kenriken dan Bun Kenriken dijabat oleh orang Jepang sedangkan jabatan Gunco dan Sonco oleh orang Indonesia. Istilah Jepang kemudian ditiadakan bersamaan dengan berakhirnya masa pendudukan.
Ketika memasuki zaman kemerdekaan, pihak pemerintahan Swapraja Buton berupaya memulihkan kembali jabatan-jabatan penting yang dibekukan sejak tahun 1910, akan tetapi kembali ditiadakan oleh pemerintah pada tanggal 15 Januari 1951 melalui kebijakan demokrasi sering hingga sultan tinggal seorang diri didampingi oleh empat orang pembantu sampai tahun 1960 ketika dibentuk empat Daerah Tingkat II (Kabupaten) di Sulawesi Tenggara.
Baca Juga :Perjanjian Bongaya: Cara Belanda Lemahkan Kesultanan Gowa
Empat kabupaten tersebut adalah Kabupaten Buton ibukotanya Bau-Bau, Kabupaten Muna ibukotanya Raha, Kabupaten Kendari ibukotanya Kendari dan Kabupaten Kolaka ibukotanya Kolaka. Pada tahun 1964 dibentuk Provinsi Sulawesi Tenggara ibukotanya Kendari yang wilayahnya mencakup empat kabupaten tersebut (Buton, Muna, Kendari, dan Kolaka).
Reaksi msyarakat atas dominasi Belanda
KONTRAK perjanjian Belanda-Buton, menimbulkan dua keadaan. Di satu pihak kekuasaan Belanda (VOC dan Hindia Belanda) atas Buton semakin lama semakin kokoh, di pihak lain Buton semakin lama semakin tidak berdaya, semakin tertindas dan melarat.
Penguasa Buton semakin lama semakin menjadi alat kekuasaan Belanda melalui berbagai ikatan kontrak perjanjian, sementara rakyat Buton semakin miskin dan menderita.
Akibatnya timbul reaksi masyarakat baik secara individual maupun berkolompok atau gabungan keduanya. Reaksi masyarakat timbul dalam dua bentuk perlawanan, fisik dan nonfisik, di seluruh wilayah kekuasaan Buton termasuk di empat Barata.
Di Buton ada nama La Walanda karena kegigihannya melawan politik devide et impera Belanda ia tewas dipenggal kepalanya oleh Steven Barentzoon (seorang pejabat Belanda di Buton) pada tahun 1644 pada saat pembuatan benteng Keraton Buton.
Bahwa distribusi uang 100 ringgit ganti rugi penebangan pohon cengkeh dan pala yang ada di Wangi-Wangi dan Kaledupa sebagian besar hanya dinikmati oleh pejabat tinggi Kesultanan Buton. Akibatnya timbul reaksi keras dari masyarakat di ke dua pulau tersebut.
Mereka sama sekali tidak memberikan dukungan terutama terhadap empat orang anggota detasemen pengawas penebangan pohon cengkeh dan pala yang ditempatkan di Kepulauan Tukang Besi, mereka tidak memberikan bantuan tumpangan dari satu pulau ke pulau lainnya.
Fakta sukses VOC di satu pihak berakibat pada munculnya masalah ekonomi, yang dihadapi rakyat di pihak lain. Hal itu dapat dilihat dari berbagai cara yang dilakukan penduduk untuk menghindari ekstirpasi. Cara-cara tertentu misalnya dengan tindakan “mengelabui” yang sering kali dilakukan untuk menghindari ekstirpasi. Dalam kegiatan ekstirpasinya, di Kepulauan Tukang Besi, tiga orang serdadu VOC mengeluh karena tidak mendapat bantuan penuh dari penduduk setempat.
Tokoh yang paling menentang perjanjian Speelman-Simbata karena dirasakan langsung oleh rakyatnya adalah Kapita Waloindi di Binongko. Ia memimpin gerakan perlawanan rakyat melawan Belanda jelang akhir abad ke-17 hingga akhir hayatnya.
Selama empat kali ia bertempur melawan Belanda hingga ia tewas pada tahun 1680. Sisa-sisa pasukannya sebagian melarikan diri ke Ambon, di antara mereka ada yang diduga sebagai Patimura.
Di Muna ada tokoh bernama La Ode Ngkadiri (Sangia Kaindea) terpaksa diasingkan ke Ternate pada tahun 1667 karena menentang perjanjian Speelman-Simbata. Perjuangannya dilanjutkan oleh permaisurinya bernama Wa Ode Wakelu hingga tahun 1668.
Di Buton ada nama La Karambau alias Himayatuddin Muhammad Saidi alis Oputa Yi Koo. Selama dua kali menjabat Sultan Buton (ke-20 dan ke-23). Ia memimpin gerakan perlawanan rakyat terhadap Belanda (1751-1763). Karena kuatir akan merugikan Buton, maka ia berhenti dari jabatannya sebagai Sultan Buton atas pesetujuan Syara.
Di Kulisusu terdapat seorang tokoh pejuang bernama La Ode Gure alias Raja Jin yang berhasil menenggelamkan sebuah kapal Belanda bernama Bark de Noteboom. Akibatnya Buton terkena sanksi harus menyerahkan 100 orang budak kepada Kompeni Belanda karena tindakan La Ode Gure.
Lainnya, adalah La Ode Gola bersama pasukannya berhasil menenggelamkan kapal Belanda, Rust en Werk pada tahun 1906 sebagai reaksi atas penolakan perjanjian Asyikin-Brugman (1906). Kapten kapal bernama Van den Burg (ada yang menyatakan dari nama ini menjadi Wa Ode Buri). Pada tahun 1914 ia tewas dalam pertempuran melawan Belanda di Kulisusu.
Baca juga : Drs. H. La Ode Manarfa, sejarah menulis pendidikannya dengan Doktor Indologie
Penentang lain perjanjian Asyikin-Brugman adalah Ani Abdul Latif. Ia dan kawan-kawannya kemudian dipenjarakan di Ujung Pandang pada tahun 1907.
La Ode Boha melakukan serangan ke kapal Belanda di teluk Bau-Bau hingga tewas pada tahun 1912. Pemimpin pemberontakan lainnya adalah Mantalagi di Pasar Wajo (1914), La Ode Sampela dan La Ode Ebo di Tiworo (1914), La Ode Ijo dan La Ode Pulu di Muna (1914).
Tiga orang tokoh penting Moronene yang menentang Korte Verklaring (Perjanjian Asyikin-Brugman) adalah Sangia Dowo, Mbohogo, dan I Ule. Pemimpin pejuang, Sangia Dowo, tewas diracun Belanda dalam suatu perundingan tahun 1911.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia masih sempat mengucapkan pernyataan patriotik yang berbunyi “mati adalah soal biasa, tetapi munafik itu hukumannya dosa. Mati adalah pilihan seorang pahlawan yang mencintai tanah airnya. Meskipun aku telah mati karena tipu muslihatmu, namun jiwaku tetap hidup dan melawan bangsamu”.
Ia mati sebagai perisai perjuangan dalam usia 37 tahun, suatu usia yang masih sangat muda. Jenazahnya diusung pulang ke istana dan dimakamkan secara adat kebesaran kerajaan. Kepadanya diberi gelar Sangia Nilemba yang berarti raja yang diusung.
Perjuangannya dilanjutkan oleh Mbohogo dan I Ule. Tahun 1912, Mbohogo dibuang ke Nusa Kambangan dan tewas di tiang gantungan di Nusa Kambangan. Sementara I Ule pada tahun yang sama tewas di tiang gantungan dalam status pembuangan di Bau-Bau. (ref )
0 Komentar