Suasana interior Masid Agung Keraton Buton di Kota Baubau |
BUTONMAGZ--Salah satu bangunan monumental yang melekat dalam ingatan oang Buton sepanjang zaman adalah keberadaan Masid Agung Keraton Buton di Kota Baubau. Warga setempat mengenalnya dengan nama 'masigi ogena', menjadi simbol keabadian Islam di Tanah Buton. Mungkin Anda pernah ke sini, tetapi tak tak terlalu memperhatikan seluk beluk situs kesohor ini.
Pada artikel bagian pertama telah diungkap asal dan berbagai ukuran dalam Masigi Ogena. bagian kedua ini pun memaparkan detai-detail di dalamnya. artikel ini disadur dari jurnal ilmiah berudul 'pesona masigi ogena Keraton Wolio Kesultanan Buton' tulisan Idham dari Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Makassar. disajikan dalam dua bagian tulisan, berikut ini;
-------------
Pada mulanya masjid ini tidak diplavon, namun belakangan pada bagian seluas limas dua, tepatnya bagian bawah lantai tiga diplavon dengan menggunakan seng.
Ada dua buah tangga, yakni tangga yang menghubungkan antara lantai satu dengan lantai dua dengan 11 anak tangga dan tangga yang menghubungkan lantai dua dengan lantai tiga dengan 13 anak tangga.
Jendela masjid lantai dasar sebanyak 10 buah, terbuat dari kayu jati dengan cat biru. Pintu tersebut dipasang pada tengah dinding. Berada sekira 20 cm dari permukaan lantai bila tampak dari luar dan sejajar dengan lantai masjid bila tampak dari dalam, sehingga bila jamaah berada di dalam, jendela tersebut mirip dengan pintu. Ukuran kusen jendela adalah tinggi 174 cm dan lebar 111 cm dengan ketebalan 14 cm. Adapun daun pintu terbuat dari papan yang terbingkai. Balok bingkai papan daun pintu ketebalan rata-rata 8 cm.
Pada serambi sebelah timur terdapat balai-balai yang dalam bahasa wolio disebut gode-gode. Gode-gode sebelah utara dari tangga berfungsi sebagai tempat istirahat perangkat masjid dan gode-gode sebelah selatan dari tangga masjid berfungsi sebagai tempat istirahat aparat kesultanan.
Gode-gode terbuat dari kayu, tiangnya masih satu kesatuan dengan tiang bangunan utama. Gode-gode ini panjangnya 655 cm dengan lebar 190 cm dan 67 cm dari lantai Godegode yang beralaskan papan ini memiliki tangga injakan satu lembar balok kayu.
Mihrab terletak di bagian tengah agak ke depan (barat) dengan ukuran lebar 125 cm dan panjang 170 cm. Letak mihrab sejajar dengan tembok dinding sebelah barat dengan ukuran 125,5 cm, panjang 281 cm, dan tinggi 206 cm yang menggunakan dinding beton dengan ketebalan 19 cm. Atap mihrab terbuat dari beton melengkung dengan tinggi lengkungan tengan 17 cm.
Mihrab dilengkapi loster bagian tengah dan atas pada sisi sebelah selatan dan bagian atas pada sisi sebelah utara. Lantai mihrab beralaskan karpet warna hijau. Pada lantai mihrab inilah terdapat lubang yang sangat disakralkan dan mempunyai cerita mistik bagi masyarakat Buton. Namun sejak tahun 1929 lubang sudah ditutup dengan beton.
Mimbar dengan lima anak tangga dan tempat duduk khatib di atasnya berukuran lebar 125,5 cm, lebar 218 cm. Pada bagian depan mimbar terdapat tiang yang di atasnya terdapat ukiran setengah lingkaran motif bunga nenas. Dua tiang tersebut berukuran 20x20 cm dengan tinggi 218 cm.
Pada kedua tiang terdapat tempat tongkat bendera yang dipasang pada hari Jumat. Adapun mimbar bagian belakang yang sejajar dengan tempat duduk khatib setinggi 288 cm dari lantai ke puncak. Puncak mimbar berupa balok segi empat yang disilangkan. Balok persegi empat tersebut ditutup dengan kain putih sebagai atap di hari Jumat. Sebelah barat (belakang mimbar) terdapat tempat kosong dan sebelah utara adalah maksurah dengan lebar 130 cm dan panjangnya sampai ke tembok paling barat.
Ventilasi sebagai sirkulasi cahaya dan udara selain diperoleh dari pintu, jendela lantai dasar dan jendela pada limas dua, ventilasi yang paling dominan adalah ventilasi antara tembok dinding dengan atap setinggi rata-rata 50 cm di sekeliling bangunan masjid yang terbuka sepanjang masa.
Tempat wudu bagi setiap masjid merupakan hal yang sangat penting, karena bagi umat Islam yang ingan melakukan ibadah salat disyariatkan untuk bersuci, dengan cara berwudhu atau tayamum. Tempat wudu selalu mengalami perubahan sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Demikian halnya dengan masigi ogena yang mengalami perubahan.
Tempat wudu pada masjid ini paling tidak sudah berubah sebanyak tiga kali. Tempat wudu pertama berupa guci (wolio: gusi) dengan ukuran tinggi 82 cm, panjang lingkaran bibir guci 92 cm (diameter 60 cm) lingkaran tengan 287 cm, dan lingkaran bawah tertanam. Guci tersebut tertanam sekira 10 ke dalam lantai dan berada di depan pintu utama masjid dengan penutup yang terbuat dari kayu.
Tempat wudu kedua juga berada di depan pintu, tepatnya diujung dua gode-gode. Tempat wudu ini terbuat dari susunan batu bata yang plaster untuk tempat wudu di sebalah selatan dengan ukuran 80 x 168 dengan ketebalan didingnya bervariasi 10, 12 dan 17 cm. Adapun tempat wudu yang berada di seblah utara dengan ukuran 100 x 168 cm dengan ketebalan dinding 16 dan 15 cm. tempat wudu pertama dan kedua ini sudah tidak difungsikan lagi.
Adapun tempat wudu yang digunakan sekarang berada pada satu bangunan khusus dengan menggunakan kran air. Bangunan ini juga dilengkapi dengan dua buah kamar kecil dengan kolam yang ditimba. Adapun air dialirkan dari tempat penampungan air yang berjarak 10 meter sebelah timur dari tempat wudu. Tempat wudhu ini berada diluar pondasi yang ditinggikan yakni di sebelah selatan pondasi yang ditinggikan tersebut.
Semua perangkat masigi ogena yang berjumlah 22 orang memakai tongkat kecuali tungguna ganda yang berjumlah 4 orang. Tongkat tersebut akan dibawah oleh perangkat masjid tersebut bila datang di masjid, tongkat yang dibawa tersebut disimpan pada tempat
dan posisi tertentu.
Adapun tongkat sara ogena, sara kidina (imam), dan 4 orang khatib ditancapkan pada kayu berlubang enam yang diletakkan di dalam tempat bekas wudhu di sebelah selatan. Adapun tongkat 12 orang moji ditencapkan pada papan yang berlubang 12 yang berada pada bekas tempat wudhu sebelah utara.
Tangga pada pondasi yang ditinggikan setinggi 3 meter berada di sebelah timur, tepatnya di depan pintu utama. Tangga tersebut terbuat dari batu dengan specimen pasir dan kapur. Kini tangga tersebut juga sudah di marmer. Marmer yang digunakan sama dengan marmer lantai masjid. Tangga yang beratapkan seng dengan penyanggah kayu balok mempunyai pagar penutup dan mempunyai 1931 anak tangga (1732 di dalam pagar dan dua33 anak tangga di luar pagar)
Dari segi arsitektur, masigi ogena tampak berbeda dengan masjid tua di nusantara yang pada umumnya kemunjak dari limas paling atas ada mustoko yang merupakan pertemuan empat sudut. Tidak demikian halnya dengan masigi ogena, kemuncaknya memanjang dari barat ke timur menyerupai bubungan rumah (Wolio:banua) orang Buton. (Ref.- habis)
Pada artikel bagian pertama telah diungkap asal dan berbagai ukuran dalam Masigi Ogena. bagian kedua ini pun memaparkan detai-detail di dalamnya. artikel ini disadur dari jurnal ilmiah berudul 'pesona masigi ogena Keraton Wolio Kesultanan Buton' tulisan Idham dari Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Makassar. disajikan dalam dua bagian tulisan, berikut ini;
-------------
Pada mulanya masjid ini tidak diplavon, namun belakangan pada bagian seluas limas dua, tepatnya bagian bawah lantai tiga diplavon dengan menggunakan seng.
Ada dua buah tangga, yakni tangga yang menghubungkan antara lantai satu dengan lantai dua dengan 11 anak tangga dan tangga yang menghubungkan lantai dua dengan lantai tiga dengan 13 anak tangga.
Jendela masjid lantai dasar sebanyak 10 buah, terbuat dari kayu jati dengan cat biru. Pintu tersebut dipasang pada tengah dinding. Berada sekira 20 cm dari permukaan lantai bila tampak dari luar dan sejajar dengan lantai masjid bila tampak dari dalam, sehingga bila jamaah berada di dalam, jendela tersebut mirip dengan pintu. Ukuran kusen jendela adalah tinggi 174 cm dan lebar 111 cm dengan ketebalan 14 cm. Adapun daun pintu terbuat dari papan yang terbingkai. Balok bingkai papan daun pintu ketebalan rata-rata 8 cm.
Pada serambi sebelah timur terdapat balai-balai yang dalam bahasa wolio disebut gode-gode. Gode-gode sebelah utara dari tangga berfungsi sebagai tempat istirahat perangkat masjid dan gode-gode sebelah selatan dari tangga masjid berfungsi sebagai tempat istirahat aparat kesultanan.
Gode-gode terbuat dari kayu, tiangnya masih satu kesatuan dengan tiang bangunan utama. Gode-gode ini panjangnya 655 cm dengan lebar 190 cm dan 67 cm dari lantai Godegode yang beralaskan papan ini memiliki tangga injakan satu lembar balok kayu.
Mihrab terletak di bagian tengah agak ke depan (barat) dengan ukuran lebar 125 cm dan panjang 170 cm. Letak mihrab sejajar dengan tembok dinding sebelah barat dengan ukuran 125,5 cm, panjang 281 cm, dan tinggi 206 cm yang menggunakan dinding beton dengan ketebalan 19 cm. Atap mihrab terbuat dari beton melengkung dengan tinggi lengkungan tengan 17 cm.
Mihrab dilengkapi loster bagian tengah dan atas pada sisi sebelah selatan dan bagian atas pada sisi sebelah utara. Lantai mihrab beralaskan karpet warna hijau. Pada lantai mihrab inilah terdapat lubang yang sangat disakralkan dan mempunyai cerita mistik bagi masyarakat Buton. Namun sejak tahun 1929 lubang sudah ditutup dengan beton.
Mimbar dengan lima anak tangga dan tempat duduk khatib di atasnya berukuran lebar 125,5 cm, lebar 218 cm. Pada bagian depan mimbar terdapat tiang yang di atasnya terdapat ukiran setengah lingkaran motif bunga nenas. Dua tiang tersebut berukuran 20x20 cm dengan tinggi 218 cm.
Pada kedua tiang terdapat tempat tongkat bendera yang dipasang pada hari Jumat. Adapun mimbar bagian belakang yang sejajar dengan tempat duduk khatib setinggi 288 cm dari lantai ke puncak. Puncak mimbar berupa balok segi empat yang disilangkan. Balok persegi empat tersebut ditutup dengan kain putih sebagai atap di hari Jumat. Sebelah barat (belakang mimbar) terdapat tempat kosong dan sebelah utara adalah maksurah dengan lebar 130 cm dan panjangnya sampai ke tembok paling barat.
Ventilasi sebagai sirkulasi cahaya dan udara selain diperoleh dari pintu, jendela lantai dasar dan jendela pada limas dua, ventilasi yang paling dominan adalah ventilasi antara tembok dinding dengan atap setinggi rata-rata 50 cm di sekeliling bangunan masjid yang terbuka sepanjang masa.
Tempat wudu bagi setiap masjid merupakan hal yang sangat penting, karena bagi umat Islam yang ingan melakukan ibadah salat disyariatkan untuk bersuci, dengan cara berwudhu atau tayamum. Tempat wudu selalu mengalami perubahan sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Demikian halnya dengan masigi ogena yang mengalami perubahan.
Tempat wudu pada masjid ini paling tidak sudah berubah sebanyak tiga kali. Tempat wudu pertama berupa guci (wolio: gusi) dengan ukuran tinggi 82 cm, panjang lingkaran bibir guci 92 cm (diameter 60 cm) lingkaran tengan 287 cm, dan lingkaran bawah tertanam. Guci tersebut tertanam sekira 10 ke dalam lantai dan berada di depan pintu utama masjid dengan penutup yang terbuat dari kayu.
Tempat wudu kedua juga berada di depan pintu, tepatnya diujung dua gode-gode. Tempat wudu ini terbuat dari susunan batu bata yang plaster untuk tempat wudu di sebalah selatan dengan ukuran 80 x 168 dengan ketebalan didingnya bervariasi 10, 12 dan 17 cm. Adapun tempat wudu yang berada di seblah utara dengan ukuran 100 x 168 cm dengan ketebalan dinding 16 dan 15 cm. tempat wudu pertama dan kedua ini sudah tidak difungsikan lagi.
Adapun tempat wudu yang digunakan sekarang berada pada satu bangunan khusus dengan menggunakan kran air. Bangunan ini juga dilengkapi dengan dua buah kamar kecil dengan kolam yang ditimba. Adapun air dialirkan dari tempat penampungan air yang berjarak 10 meter sebelah timur dari tempat wudu. Tempat wudhu ini berada diluar pondasi yang ditinggikan yakni di sebelah selatan pondasi yang ditinggikan tersebut.
Semua perangkat masigi ogena yang berjumlah 22 orang memakai tongkat kecuali tungguna ganda yang berjumlah 4 orang. Tongkat tersebut akan dibawah oleh perangkat masjid tersebut bila datang di masjid, tongkat yang dibawa tersebut disimpan pada tempat
dan posisi tertentu.
Adapun tongkat sara ogena, sara kidina (imam), dan 4 orang khatib ditancapkan pada kayu berlubang enam yang diletakkan di dalam tempat bekas wudhu di sebelah selatan. Adapun tongkat 12 orang moji ditencapkan pada papan yang berlubang 12 yang berada pada bekas tempat wudhu sebelah utara.
Tangga pada pondasi yang ditinggikan setinggi 3 meter berada di sebelah timur, tepatnya di depan pintu utama. Tangga tersebut terbuat dari batu dengan specimen pasir dan kapur. Kini tangga tersebut juga sudah di marmer. Marmer yang digunakan sama dengan marmer lantai masjid. Tangga yang beratapkan seng dengan penyanggah kayu balok mempunyai pagar penutup dan mempunyai 1931 anak tangga (1732 di dalam pagar dan dua33 anak tangga di luar pagar)
Dari segi arsitektur, masigi ogena tampak berbeda dengan masjid tua di nusantara yang pada umumnya kemunjak dari limas paling atas ada mustoko yang merupakan pertemuan empat sudut. Tidak demikian halnya dengan masigi ogena, kemuncaknya memanjang dari barat ke timur menyerupai bubungan rumah (Wolio:banua) orang Buton. (Ref.- habis)
Artikel sebelumnya : Mengenal Morfologi bangunan Masjid Keraton Buton (bagian 1)
0 Komentar