BUTONMAGZ---Kaimana, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat saat ini. Daerah ini membahana di telinga orang Indonesia dengan dirilisnya tmbang kenangan bertajuk ‘Senja di Kaiman’ yang diciptakan pada 1962. namun baru direkam tiga tahun kemudian pada 1965. Lagu ini digubah oleh Surni Warkiman, yang terisnpiasi dari keindahan Kaimana diperoleh saat Surni menyaksikan kegiatan latihan militer di Lapangan Banteng dan Gunung Mas pada tahun 1962. Lantas ia kemas dalam sebuah lagu.
Tetapi tahukah Anda bila Kaimana, adalah negeri yang dibentuk oleh para pendatang. Salah satunya perantau asal Buton. Kaimana memang ditempati oleh beragam suku baik orang asli Papua maupun pendatang. Upton (2009) menulis bahwa migrasi orang non-Papua ke Kaimana telah berlangsung sekitar seribu tahun yang lalu.
Tulisan Cahyo Pamungkas dari LIPI dalam jurnalnya bertajuk “Kontestasi antar orang asli Papua terhadap hak pertuanan di Kaimana” merekam kehadiran orang-orang Buton di negeri itu.
Klaim atas hak pertuanan oleh suku-suku orang asli Papua mengusik hubungan antara orang asli Papua dengan kelompok suku pendatang di Kaimana yang nenekmoyangnya sudah menetap di Kaimana sejak 1900-an.
Mereka datang ke Kaimana dengan keluarga mereka, dan membangun komunitas yang tinggal dalam lingkungan tertentu. Kemudian, lahirlah Kampung Seram, Kampung Cina, dan Kampung Buton.
Kedatangan orang-orang Buton di Kaimana diduga sebelum Belanda datang ke Kaimana pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1942, salah seorang tokoh masyarakat Buton, La Abudani, menyaksikan bahwa wilayah yang sekarang ini dinamakan Krooy masih berupa hutan belantara ketika ia masih anak-anak (Wawancara 21 Desember 2008).
Di atas tanah itu tinggal keluarga orang Buton yang menanam pohon kelapa bersama dengan Keluarga Lawai. Hubungan antara orang asli Papua dengan pendatang pada masa lalu ditandai dengan perdamaian dan toleransi antarkelompok etnik.
Pada tahun 1966, dirinya mulai berdagang di Lobo tempat orang-orang suku Mairasi. Menurutnya, orang-orang Mairasi adalah salah satu suku asli Papua yang memiliki hubungan baik dengan pendatang.
Pada hari raya Idul Fitri, orang-orang suku Mairasi datang bersilaturahmi ke rumah para pendatang, namun sesudah jatuhnya Orde Baru, keberadaan pendatang seolah-olah menjadi musuh bersama orang asli Papua. Hal tersebut disebabkan oleh pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru yang telah memarjinalkan orang asli Papua (Widjojo, Satrio M, Amiruddin, Al Rahab, Pamungkas C & Dewi R 2008).
Selain itu, di Papua pada tahun 2000 muncul gerakan menuntut kemerdekaan Papua, terutama pembentukan Presidium Dewan Papua (PDP) sebagai protes terhadap pelanggaran HAM yang terjadi selama masa Orde Baru. Pendatang dianggap sebagai pendukung Pemerintah Indonesia yang merupakan musuh bersama aktivis Papua Merdeka.
Sumbangan masyarakat Buton terhadap perkembangan Kaimana melalui profesi nelayan yang melayani kebutuhan ikan masyarakat, dan bekerja sebagai petani dan pedagang. Orang Buton menanami kebun-kebun di sepanjang Pantai Kaimana dengan pisang dan kelapa.
Pada tahun 1966 diperkirakan terdapat 40 KK yang bekerja di pesisir Pantai Kaimana. Pada tahun 1971 dirinya bertemu dengan Bupati Fak-fak, Sukamto, yang sedang berkunjung ke Kaimana dengan status sebagai Kepala Suku Sulawesi Tenggara.
La Abudani meminta Bupati Fak-fak agar Kaimana diberikan listrik karena masyarakatnya telah berjasa dalam perjuangan integrasi Papua ke Indonesia, namun baru pada tahun 1982 listrik masuk ke Kaimana. Perkumpulan orang Buton memiliki anggota sekitar 800 KK di mana pada tahun 1966 hanya sekitar 40 KK. Tugas perkumpulan adalah membina kerukunan hidup antar-orang Buton, dan antara orang Buton dengan suku-suku non-Buton. (zah)