BUTONMAGZ—Kelurahan Sowa Kecamatan Togo Binongko, Wakatobi – Sulawesi Tenggara, hingga saat ini masih dikenal sebagai ‘pusat’ produksi parang atau golok berkualitas. Bila ke sana, suara godam bertalu-talu terus terdengar menghantam besi, seolah meramaikan kampung di pesisir barat Pulau Binongko, pulau terujung di gugus pulau yang dulu dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi.
Proses pembuatan parang Binongko ini tak diketahui pasti sejak kapan kehadirannya, namun cerita rakyat bertutur bila akarnya terentang sejak berabad-abad lalu. Itu pula yang kemudian menjadi cikal-bakal mengapa wilayah pulau-pulau itu dikenal sebagai pulaunya Tukang Besi. Konon bermula dari para perajin parang tradisional Binongko ini.
Memang, sematan ”Kepulauan Tukang Besi” yang kini bernama Kabupaten Wakatobi . bermula dari penjelajah Belanda yang konon juga menamai pulau itu ”Toekang Besi Eilanden” alias ”Pulau Tukang Besi” setelah berkunjung ke Binongko pada abad ke-17.
Tak hanya Kelurahan Sowa, industri da penempaan besi menjadi parang Binongko juga ditemukan di wilayah tetangga, seperti Kelurahan Popalia, serta sejumlah desa di Binongko.
Parang Binongko menjadi kondang karena tajam dan awet. Ujung parang berbentuk segitiga siku-siku, persis seperti parang yang dipegang pahlawan nasional Kapitan Pattimura dalam gambar uang kertas pecahan Rp 1.000 edisi tahun 2000.
Mata pencarian sebagai pandai besi ini berbeda dengan kehidupan warga Binongko lainnya yang menjadi pelaut. Sejak berabad-abad lalu, warga Sowa memang telah menguasai keterampilan mengolah besi menjadi parang. Padahal, pulau karang terpencil yang dikepung Laut Banda dan Laut Flores itu tak memiliki sumber bijih besi.
Turun-temurun
Pandai besi di Sowa mempelajari keahlian itu secara turun-temurun. Bahan baku besi didatangkan dari Pulau Jawa. Pada era modern, bahan yang dipakai adalah pelat besi dan per mobil dari Surabaya, Jawa Timur.
Pembuatan parang dimulai dengan memotong pelat besi atau per mobil sesuai ukuran bilah yang akan dibuat. Setelah itu, besi dipanaskan di tungku berbahan bakar arang, kemudian ditempa hingga pipih dan berbentuk parang. Proses selanjutnya adalah merapikan permukaan bilah dengan gerinda sebelum memasuki proses akhir berupa penyepuhan.
Seorang perajin di Sowa bernama Syamsuddin menyebut bila biasanya dapat membuat 50 parang ukuran standar, yakni dengan panjang bilah 40 sentimeter. Hasil buatannya dipasarkan ke pemborong sekaligus pedagang yang memasarkan parang buatannya.
Parang-parang ini selain dipasrkan secara lokal, menyebrang pulau hingga ke Halmahera, Maluku Utara. Di daerah itu, permintaan parang tinggi karena banyak dibutuhkan warga untuk aktivitas perkebunan sawit dan kelapa.
Cerita dalam Tradisi Lisan
Dalam tradisi lisan Binongko yang disebut Culadha Tapetape, yang dituliskan oleh La Rabu Mbaru dalam buku Peradaban Binongko Wakatobi Buton, keahlian pandai besi warga Binongko diperoleh dari Raja Binongko Ke-4 La Soro atau Raja Pati Kapitan Waloindi. Raja sakti yang memerintah pada 1266-1299 itu dikisahkan datang dari Tanah Barat membawa berbagai keterampilan, antara lain menempa besi menjadi parang.
Dikisahkan Arwaddin, warga setempat bahwa pada masa silam, pandai besi Binongko juga membuat jangkar dan paku kapal. Keterampilan itu, lanjutnya, membuat pandai besi Binongko selamat dari kerja paksa pada zaman penjajahan Jepang karena tenaganya lebih dibutuhkan untuk membuat perlengkapan tersebut.
Menurutnya, para perajin parang Binongko awalnya bermukim di wilayah pedalaman pulau di Kampung Kaluku dan Kampung Komba-komba. Pada dekade 1960 hingga 1970-an, warga hijrah ke wilayah pesisir, salah satunya di Kelurahan Sowa sekarang. ”Setelah pindah ke pesisir, parang baru dijual,” ucapnya. Sebelumnya, warga membarter hasil produksi mereka dengan jagung, beras, dan ikan dari warga pesisir.
Setelah parang-parang itu dijual, hasil penjualannya dapat digunakan untuk menyangga nasib ratusan keluarga di Binongko. Parang-parang itu menjadi secercah berkah di tengah kerasnya kehidupan di pulau karang tersebut. (dihimpun dari Kompas dan berbagai sumber)