![]() |
Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie) |
BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.
Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa kendati tak ada ritual magis, terkecuali gerakan gemulai dengan lantunan syair-syair berbahasa lokal. Ada yang menyebut, tarian ini dulunya mengisahkan penyambutan kapal-kapal yang memasuki Pulau Kaledupa.
Menyaksikan langsung tarian ini atau dapat pula mengunduh lewat aplikasi-aplikasi video di internet, maka menikmatinya sungguh melahirkan rasa hanyut tatkala gerakan kaki dan tangan, tata rias wajah dan rambut, serta mendengar suara para gadis itu menyanyi. Ini yang disebut sejarawan dan pembina Asosiasi Tradisi Lisan, Mukhlis PaEni, sebagai tradisi yang terbarukan, selalu aktual dalam setiap pengulangan.
Menjadi penari Lariangi, wanita-wanita remaja biasanya butuh waktu seharian untuk persiapannya. Riasannya rumit, terutama bagian rambut. Bentuk segitiga di sisi kanan dan kiri kepala tersebut bukan hiasan tempelan, tetapi dibentuk dari rambut sendiri. Begitu juga dengan bagian poni. Sanggul atau pantau juga tidak mudah membuatnya.
Para penari mengenakan busana yang penuh hiasan dan manik-manik, plus berbagai aksesori, seperti gelang berukir, kalung, dan giwang. Semua dandanan itu sesuai dengan arti kata Lariangi. Lari berarti ’menghias’ dan Angi bermakna ’orang-orang yang berhias untuk menyampaikan sesuatu atau nasihat’.
Lariangi bagi masyarakat Pulau Kaledupa bagai menu wajib dalam jamuan tetamu penting. Mementaskan Lariangi sudah menjadi kebiasaan setiap kali ada hajatan.
Diiringi alat musik kendang, gong, dan bonang, para penari memainkan kipas, melirik, merendahkan tubuh, seperti pasang kuda-kuda, sambil terus melantunkan syair.
Lagu pertama, ”Iya Malahu”, menceritakan satu cerita di Keraton Buton pada masa silam, tentang kapal-kapal yang masuk ke Kaledupa. Lagu kedua, ”Ritanjo”, tentang puji-pujian untuk Pulau Hoga. ”Mari kita sama-sama pelihara isi Pulau Hoga, terumbu kerangnya jangan dibom. Laut itu warisan dunia dari Barata Kaledupa,” begitu isi liriknya, kata pemimpin Sanggar Hoga Island Kaledupa, Maswar beberapa waktu lalu.
”Pada zaman dulu, bisa semalaman tarian ini dipentaskan untuk raja. Lagunya bisa sampai 30-an. Isinya macam-macam, ada sejarah, petuah, keindahan alam, perang, permainan, kisah cinta, dan lain-lain. Kalau sekarang, biasanya pentas dua lagu sudah cukup,” imbuh Ilmiati Daud, Wakil Bupati Wakatobi beberapa waktu lalu di Baubau, ketika membawa penari Lariangi disebuah kegiatan membahas isu pembentukan Provinsi Kepulauan Buton, 2021 lalu.
Tari persembahan
Lariangi merupakan tradisi lisan yang sudah ada sejak abad ke-17 di Kesultanan Buton, tepatnya di Kaledupa yang dikenal sebagai ‘andi-andina Wolio’. Sumber lain menyebutkan, tarian ini sudah ada sejak abad ke-14 ketika Raja Wakaaka dinobatkan sebagai raja pertama di Buton. Tarian yang telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Nasional pada 2013 ini mulanya adalah tari persembahan untuk menghibur raja yang sedang letih.
Lariangi diwariskan turun-temurun hingga kini. Gerakan menari diajarkan secara lisan dari generasi ke generasi, juga lagunya. Tarian ini sejatinya telah menjadi warisan dunia tak benda mengingat banyaknya simbol-simbol bermakna di setiap detail riasan dan pakaian, juga pesan-pesan kebaikan dalam syair-syairnya.
Simbol-simbol itu antara lain hiasan yang disebut panto yang diletakkan di kepala, menandakan derajat kebangsawanan. Lalu ada bunga konde sebagai lambang pagar beton keraton, kalung dengan bentuk matahari dan bulan sebagai sumber cahaya, dan hiasan naga sebagai lambang penjaga benteng keraton.
”Karena tarian ini berasal dan tumbuh di kepulauan, juga gaya menariknya yang lemah gemulai, saya menyebutnya tarian di atas gelombang,” kata Ilmiati Daud. Kini lariangi makin menyesuaikan dengan zaman. Penonton boleh masuk ke dalam barisan penari dan ikut melenggak-lenggok kendati dengan gerakan asal-asalan. Penari penonton biasanya meletakkan meletakkan uang ke dalam piring yang telah disediakan.
Banyak tradisi di Wakatobi yang sarat dengan nilai. Pasikamba, misalnya, satu prosesi doa agar beruntung dalam mencari ikan. Pasikamba mengajari nelayan untuk akrab dengan alam, membaca alam. Lalu ada issu, tradisi mengatur waktu untuk berlayar.
Beragam tradisi itu dilingkupi satu semangat gau satoto, yakni sebuah ideologi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Gau satoto dimaknai sebagai penyatuan kata dan perbuatan, dijabarkan ke dalam lima prinsip nilai, yakni tara (tangguh), turu (sabar), toro (teguh), taba (berani), dan toto (jujur). Ideologi ini mengontrol laku orang Wakatobi (Hadara, Ali, Gau Satoto: Kearifan Lokal Orang Wakatobi, 2014).
Simbol dan kearifan lokal warga di mana pun, mungkin dianggap sebagai mitos. Namun, mitos itu memiliki tujuan kreatif yang mampu melindungi suatu kawasan yang seharusnya dilindungi oleh masyarakat adat. (Susanto, Hary: 1987). Dengan demikian, tradisi-tradisi lisan tersebut berperan penting dalam menjaga lingkungannya. (red)