Memahami pelayaran Orang Buton ke berbagai tempat Nusantara, ternyata tak banyak yang mengenal bagaimana ‘cerita Buton’ dalam perspektif kesejarahan masa silam. Artikel ini menjadi pelanjut kisah dari jurnal “melacak jalur rempah pelayaran dan migrasi Orang Buton di Kepulauan Maluku” karya Tasrifin Tahara, dalam ‘jejak nusantara’ vol. 04 November 2016. Berikut kelanjutan ceritanya;
BUTON adalah nama pulau di sebelah tenggara jazirah Pulau Sulawesi. Pulau itu diapit oleh lautan yaitu Laut Banda di sebelah utara dan timur, Laut Flores di sebelah selatan, dan Selat Buton serta
Teluk Bone di sebelah barat. Dulu, di pulau itu pernah berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan yang disebut Buton atau Wolio.
Selain Pulau Buton, daerah kekuasaan Kesultanan Buton pernah meliputi beberapa pulau di kawasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Pusat pemerintahannya terletak di pesisir barat bagian selatan Pulau Buton, sekitar Kota Bau-Bau sekarang, yang dikenal dengan nama Wolio atau Keraton Buton.
Selama ini, studi tentang Buton banyak dilakukan berdasarkan catatan penjelajah dan pegawai pemerintah Belanda, misalnya Ligvoet (1878) hingga Van Den Berg (1937, 1939, 1940). Mereka bercerita tentang banyak hal mulai dari ritual, konsepsi kesultanan serta masyarakatnya, hingga catatan tentang berbagai peristiwa penting di Buton.
BUTON adalah nama pulau di sebelah tenggara jazirah Pulau Sulawesi. Pulau itu diapit oleh lautan yaitu Laut Banda di sebelah utara dan timur, Laut Flores di sebelah selatan, dan Selat Buton serta
Teluk Bone di sebelah barat. Dulu, di pulau itu pernah berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan yang disebut Buton atau Wolio.
Selain Pulau Buton, daerah kekuasaan Kesultanan Buton pernah meliputi beberapa pulau di kawasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Pusat pemerintahannya terletak di pesisir barat bagian selatan Pulau Buton, sekitar Kota Bau-Bau sekarang, yang dikenal dengan nama Wolio atau Keraton Buton.
Selama ini, studi tentang Buton banyak dilakukan berdasarkan catatan penjelajah dan pegawai pemerintah Belanda, misalnya Ligvoet (1878) hingga Van Den Berg (1937, 1939, 1940). Mereka bercerita tentang banyak hal mulai dari ritual, konsepsi kesultanan serta masyarakatnya, hingga catatan tentang berbagai peristiwa penting di Buton.
Ligtvoet dan Berg merupakan perwakilan pemerintah kolonial Belanda yang ditugaskan di Buton untuk merekam kejadian penting seperti pelantikan sultan dan situasi keamanan di wilayah itu. Mereka juga menelaah sejumlah catatan penjelajah sebelumnya yang pernah singgah ke Buton seperti Jan Pieterszoon Coen, 1 Appolonius Scotte,2 dan lain-lain.
Sebagai pegawai pemerintah kolonial, catatan Ligtvoet dan Berg penuh nuansa penaklukan yang
penuh bias etnosentrik yang memahami kebudayaan Buton dalam perspektif kebudayaan Barat. Akibatnya, sering terjadi perbedaan konsepsi antara para penulis tersebut dengan warga lokal―
yang sayangnya suara mereka harus menjadi suara yang lirih dan tidak senyaring para penulis tersebut.
Salah satu contoh pandangan yang sangat etnosentrik adalah pernyataan Coen yang sinis ketika melihat Buton. Ia mengatakan, “Di sini terdapat rakyat miskin, budak murah, dan orang tidak banyak dapat berdagang di sini. Di sini, penduduk makan ubi yang disebut calabi.” Pernyataan itu khas para penjelajah yang melihat satu wilayah hanya dari sisi resource atau sumber daya yang harus dikuasai.
Masyarakat Buton bukanlah rakyat miskin atau budak murah seperti yang ia maksudkan, namun karena pandangannya bias sebagai orang Barat yang menggunakan kebudayaannya sebagai indikator tingkat kehidupan.
Dilihat dari aspek politik eksternal, posisi Buton sebagai kerajaan di Nusantara yang berada di kawasan timur berada dalam ketegangan yang tarik-menarik antara kekuatan Gowa dan Ternate. Ekspansi kedua kerajaan besar di bagian timur Nusantara itu menjadikan kondisi Buton―digambarkan Schoorl―seperti ”shuttle cock” yang dipukul ulang alik, sesekali ke Gowa dan kali yang lain ke Ternate dalam periode yang lama. Secara jelas, bisa dilihat dalam kutipan berikut:
...Dalam persetujuannya yang pertama dengan Buton pada 1613, VOC membujuknya supaya jangan melakukan kegiatan bermusuhan dengan raja Buton atau terhadap warganya yang manapun. ...
Sejak saat itu hingga 1667, Kerajaan Buton serupa bola bulu tangkis (shuttle cock) dalam suatu pertandingan antara Makassar, Ternate, dan VOC. . .(Schoorl 1994).
Tradisi lisan banyak mengisahkan bagaimana Buton senantiasa berada dalam tarik-menarik antara dua kekuatan tersebut. Sikap ekspansif Gowa―yang ditunjang armada persenjataan yang perkasa―untuk menguasai kawasan timur menjadi ancaman bagi banyak bangsa termasuk Buton.
Di sisi lain, banyaknya bajak laut yang berasal dari Tobelo (Ternate) yang menguasai perairan kawasan timur juga menjadi kekhawatiran yang harus segera diatasi.
Dalam sejumlah tradisi lokal dinyatakan, “Ane akowii ngalu bhara, tajagaka Gowa, ane akowii ngalu timbu, tajagaka Taranate” atau kalau tiba musim barat kita [Buton] bersiap-siap menghadapi Gowa, dan kalau tiba musim timur kita [Buton] bersiap-siap menghadapi Ternate.
Secara metaforik, kondisi Buton bisa dibayangkan seperti perahu (Zuhdi 2010), yang juga dapat
berarti kenyataan sesungguhnya, “barata Buton” terombang-ambing tiada menentu. Ke arah haluan (rope) Buton menghadapi ancaman Gowa sedangkan ke arah buritan (wana) harus berhadapan dengan ancaman Ternate.
Dalam ketegangan terus-menerus itulah, kehadiran VOC yang “membebaskan” Buton dari ancaman bahkan serangan armada kuat Gowa beberapa kali dilakukan dalam dekade pertengahan abad ke-17.** (ref- bersambung ke bagian-4)
Baca sebelumnya : Budaya bahari di Buton disebut ‘sabangka-asarope’ (Bagian-2)