Bicara sejarah dan budaya maritim Sulawesi, maka akan menyinggung nama Horst H Liebner. Pria Jerman ini telah mewakafkan dirinya untuk merawat tradisi maritim. Di tahun 2005 Horst pernah ke Baubau mengikuti simposium internasional pernaskahan Nusantara yang digelar di Baruga Keraton Buton.
Makalahnya juga seputar maritim, tentang pelayaran orang-orang Buton masa lalu, tentang sejarah kapal Belanda di Sagori dan Kabaena. Banyak sekali dibahasnya kala itu.
Makalahnya juga seputar maritim, tentang pelayaran orang-orang Buton masa lalu, tentang sejarah kapal Belanda di Sagori dan Kabaena. Banyak sekali dibahasnya kala itu.
Horst kini banyak bermukim di Sulawesi Selatan, menjadi orang yang menggemari Sandeq - perahu layar bercadik khas Mandar yang sangat laju membelah perairan. Bahkan kini hadjir Sandeq Race, lomba adu cepat sandeq-- Lomba tahunan yang sudah terlaksana sejak 1995, dengan rute lazim: Mamuju (Sulawesi Barat) - Makassar (Sulawesi Selatan).
Kini, Sandeq Race dikenal sebagai ajang yang menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara.
Rasa-rasanya, tak banyak yang tahu bahwa ajang pariwisata Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan itu bermula dari kerja keras pria berkebangsaan Jerman, Horst Hebertus Liebner.
Pria berambut pirang dan bertubuh ceking itu mengatakan Sandeq Race bermula dari penelitiannya pada 1995. Dalam penelitiannya, Horst terlibat membuat sandeq, yang dikenal sebagai perahu nirmesin tercepat di perairan Austronesia.
Setelah pembuatan sandeq rampung, Horst melempar pertanyaan kepada warga yang membantunya, "Apa yang akan kita lakukan dengan perahu ini?" Beberapa warga menyarankan untuk berlomba ke Makassar. "Idenya dari nelayan. Saya bantu merencanakan," kata Horst, kala itu.
Kini Horst tinggal di rumah bergaya klasik modern, di kawasan Benteng Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di rumahnya, Horst tinggal bersama istrinya, Kerstin Belse, dan tujuh anjing lokal peliharaan mereka.
Berawal dari beasiswa
Selama tiga dekade menetap di Indonesia, Horst telah mewakafkan dirinya untuk merawat budaya maritim Sulawesi. Sebagai antropolog maritim, dirinya aktif melakukan penelitian di kampung-kampung nelayan, menulis jurnal, membuat kapal, hingga berlayar mengarungi laut.
Doktor dari University of Leeds, Inggris itu juga sempat menulis buku The Siren of Cirebon. Buku itu memuat hasil riset dan rekonstruksi kapal yang karam pada 970M di Laut Jawa Cirebon, Jawa Barat.
Meski kini karib dengan budaya maritim, pria kelahiran 28 November 1960 di Oberhausen, Nordrhen-Westfalen Jerman itu mengaku tak punya banyak pengalaman perihal laut semasa kecil.
Konon, ia hanya sempat kursus berlayar di Inggris pada sela liburan sekolah. Pengalaman lain berlangsung dalam waktu pendek, ketika dirinya tinggal di Leer, Jerman, yang merupakan wilayah pesisir.
Petualangan Horst di Indonesia bermula pada 1984, saat mendapat beasiswa dari Jurusan Sastra Indonesia dan Melayu, Fakultas Antropologi, Universitas Keulen, Jerman.
Tiga tahun berselang, Horst kembali mendapat beasiswa dari pemerintah Jerman dan kuliah di Universitas Hasanuddin, Makassar. Kala itu, ia telah jatuh cinta dengan pinisi, kapal tradisional kebanggaan suku Bugis dan Makassar. Tak heran bila studi beasiswanya berfokus meneliti pinisi.
Pada 1987, ia mulai meneliti tradisi pembuatan perahu dan pelayaran. Lokasi penelitiannya adalah Tana Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang dikenal sebagai sentra pembuatan pinisi.
Di sana, Horst mempelajari pembuatan perahu hingga tradisi para perajinnya. Sebagai peneliti maritim, Horst juga tak segan melaut demi belajar tentang tradisi dan teknologi pelaut. Alhasil, ia cakap berlayar dengan pinisi, indigen (sejenis pinisi tetapi lebih kecil), dan sandeq.
Pelayaran pertamanya berlangsung selama setahun dengan menumpang pinisi dan bertujuan mencari tempat lain yang punya tradisi maritim. Lewat ekspedisi itulah Horst bersentuhan dengan budaya Mandar, di wilayah yang kini menjadi teritori Sulawesi Barat.
Ketertarikannya atas budaya Mandar mengerucut pada sandeq. Belakangan, perahu yang sebelumnya nyaris punah itu berhasil mendapat tempat lewat kerja keras Horst--termasuk Sandeq Race dan pelbagai risetnya. Kini, sandeq telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda nasional.
Pada awal 1990-an, Horst juga sempat jadi dosen pembantu untuk studi Antropologi di Universitas Hasanuddin dan Universitas Negeri Makassar.
Ada satu cerita semasa mengajar, yang membuat Horst miris dengan pandangan sebagian orang Sulawesi Selatan ihwal budaya maritim. Alkisah, dalam perkuliahan, Horst menunjukkan foto-foto pelaut tua yang tengah membuat perahu di Tana Beru.
Namun, foto-foto itu kerap disambut tawa mahasiswa. Lantaran penasaran, Horst pun bertanya kepada seorang mahasiswa yang tertawa paling keras.
"Saya tanya, 'Kamu sudah pernah ke mana?' Dia jawab, 'belum'. Lalu, saya bilang, 'Kenapa ketawa. Orang dalam foto itu sudah pergi ke Singapura, Filipina, dan lain-lain. Kamu baru sampai Makassar sudah berani ketawa.'"
Ia merasa miris sebab mahasiswa-mahasiswa yang sering tertawa berasal dari pinggiran Makassar (baca: desa).
"Apa yang membuat mereka jadi manusia, itulah yang mereka tertawakan dan buang, lalu menggantinya dengan segala hal yang didapat di kota," ujar Horst. "Itu yang saya sesali."
Menyentil pemerintah
Pengalaman miris pernah pula didapat Horst dalam Sandeq Race 2011. Saat itu, pengelolaan Sandeq Race telah diserahkan ke pemerintah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Insiden terjadi ketika sejumlah sandeq hendak merapat ke Makassar (finis), tetapi terhalang cuaca yang kurang bersahabat. Alhasil, para pasandeq (pengemudi sandeq) kesulitan mengikuti prosesi penyerahan piala. Demi mengikuti prosesi tersebut, seorang pasandeq rela berenang ke tepian.
Setibanya di tepian, pasandeq itu disambut sorak-sorai penonton. Namun, tiba-tiba, seorang pejabat Dinas Pariwisata Makassar melarang sang pasandeq naik podium. Si pejabat keberatan, sebab kondisi pasandeq yang basah kuyup dianggap tak sopan. Lebih-lebih bila bersemuka gubernur yang bakal memberi piala.
Menurut Horst, keberatan pejabat itu seolah menunjukkan sikap pemerintah yang sekadar peduli pada sandeq, sedangkan pasandeq cenderung diabaikan. "Padahal, tidak akan ada sandeq tanpa pasandeq," ujarnya dengan mata memicing.
Bila berkenaan budaya maritim, Horst memang tak segan mengirim sentilan kepada pemerintah. Sekadar misal, ia mengkritik bantuan kapal nelayan dari pemerintah. Program macam itu kerap memberikan kapal jadi yang umumnya berbahan fiber glass.
Masalahnya, kata Horst, ketahanan kapal bantuan itu tak begitu lama--berkisar tiga sampai empat tahun. Padahal, kapal buatan nelayan bisa bertahan 15-20 tahun.
"Apakah pejabat-pejabat itu pernah turun ke permukiman nelayan?" ujar Horst.
Telanjur cinta dengan pinisiPetualangan Horst juga membuatnya karib dengan para nelayan. Salah satunya, Ridwan Alimuddin, seorang nelayan berdarah Mandar. Mereka berdua tercatat sebagai pendiri Forum Lopi Sandeq, yang kelak bersalin nama menjadi Komunitas Bahari Mandar.
Pada 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberi anugerah kebudayaan kepada Komunitas Bahari Mandar atas aktivitas mengembangkan budaya bahari lewat program Perahu Pustaka dan pelbagai penelitian.
Perahu Pustaka merujuk pada inisiatif menyediakan bahan baca untuk warga di pulau-pulau kecil sekitar Sulawesi. Horst memang tak terlibat langsung dalam pencetusan ide itu, tetapi ia kerap ambil bagian dalam pelayaran Perahu Pustaka ke pulau-pulau terpencil.
Perihal pengalamannya bersentuhan dengan tradisi nelayan, Horst mengaku tak ingin jadi orang asing yang sekadar ingin menyaksikan eksotisme budaya. Jangan heran, bila Horst berusaha melebur dengan kebudayaan setempat, termasuk mempelajari bahasa lokal.
"Saking banyaknya bahasa yang saya pelajari, ketika anak saya datang ke Indonesia dan membawa minuman bersoda, saya sampai lupa bahasa Jerman-nya," katanya beriring gelak.
Pada 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberi anugerah kebudayaan kepada Komunitas Bahari Mandar atas aktivitas mengembangkan budaya bahari lewat program Perahu Pustaka dan pelbagai penelitian.
Perahu Pustaka merujuk pada inisiatif menyediakan bahan baca untuk warga di pulau-pulau kecil sekitar Sulawesi. Horst memang tak terlibat langsung dalam pencetusan ide itu, tetapi ia kerap ambil bagian dalam pelayaran Perahu Pustaka ke pulau-pulau terpencil.
Perihal pengalamannya bersentuhan dengan tradisi nelayan, Horst mengaku tak ingin jadi orang asing yang sekadar ingin menyaksikan eksotisme budaya. Jangan heran, bila Horst berusaha melebur dengan kebudayaan setempat, termasuk mempelajari bahasa lokal.
"Saking banyaknya bahasa yang saya pelajari, ketika anak saya datang ke Indonesia dan membawa minuman bersoda, saya sampai lupa bahasa Jerman-nya," katanya beriring gelak.
Keseriusannya pada bahasa lokal terlihat lewat pengalamannya mendalami seluk beluk pinisi di Tana Beru. Saat itu, Horst juga belajar bahasa warga setempat: Bahasa Konjo. Bahkan, gelar magisternya dari Universitas Keulen (1993) diraih lewat riset ihwal istilah-istilah perkapalan dan pelayaran dalam Bahasa Konjo.
Pun, bagi Horst, Tana Beru adalah rumah kedua di Indonesia. Saban pekan, lelaki berusia 56 itu memacu sepeda motor ke Tana Beru, yang berjarak sekitar 181 kilometer dari Makassar.
Belakangan, ia lebih sering ke Tana Beru, guna menyiapkan miniatur Padewakang, kapal dagang jarak jauh asli Sulawesi Selatan (abad ke-18). Horst sedang merekonstruksi kapal itu guna dipamerkan pada ajang Europalia, International Arts Festival (10 Oktober 2017-21 Januari 2018) di Belgia. Pada ajang itu Indonesia diundang sebagai negara tamu.
"Orang Indonesia patut bangga memiliki budaya dan sejarah kemaritiman. Harusnya budaya itu dilestarikan. Bukan dilupakan," ujarnya. Ia juga masih menyimpan mimpi untuk mengantarkan pinisi menjadi warisan budaya tak benda dunia.** (dirangkum dari beritagar)