BUTONMAGZ---Penggalan-penggalan sejarah memang tak banyak terbaca di masyarakat umum Sulawesi Tenggara. Literasi berkait itu sangat minim, termasuk dinamika yang mewarnai Buton dan Muna sejak dulu. Hangat dan dingin, kendati keduanya dianggap saudara sekandung.
Media www.butonmagz.id menukil kisahnya yang disadur dari buku “Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara” yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya – Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah – Tahun 1978/1979.
Tim penulisan buku ini diantaranya; Tim penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, terdiri dari (1). B. Burhanuddin (2). Syamsuddin, B.A, (3). A. Mulku Zahari, (4) Ch. Pingak.
Sementara Tim penyempuma naskah di Pusat terdiri dari: Konsultan/ Anggota : (1). Prof. Dr. Haryati Soebadio. (2). Abdurachman Surjomihardjo. (3) A.B. Lapian. Ketua; Sutrisno Kutoyo. Sekretaris M. Soenjata Kartadarmadja, dan anggota-anggota terdiri dari ; (1). Anhar Gonggong (2). Mardanas Safwart (3). Masjkuri (4). Surachman. (5) Muchtaruddin Ibrahim (6) Sri Sutjiatiningsih dan (7). Frans Hitipeuw.
Disebutan, Menurut Ligtvoet wilayah Kesultanan Buton meliputi:
a. Pulau Buton
b. Pulau Muna
c. Pulau Kabaena
d. Pulau-pulau kecil sekitar Pulau Boton dan Pulau Muna.
e. Pulau-pulau Tukang Besi
f. Poleang dan Rumbia yang terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi (ujung barat daya).
Wilayah Kesultanan Buton yang berawal dari empat Negeri Asal. Tersusun dalam tata pemerintahan di mana tiap-tiap wilayah besar dan kecil menempatkan dirinya masing-masing sesuai dengan sejarah dan tradisinya masing-masing. Wilayah bawahan Kesultanan Buton dapat dibedakan atas:
a. Wilayah Inti
b. Moronene
c. Barata.
a. Wilayah Inti terbagi lagi atas dua jenis, yaitu wilayah Bonto dan Wilayah Bobato. Wilayah Bonto yaitu wilayah-wilayah yang diperintah oleh kaum Walaka yang berjumlah tiga puluh Negeri yang disebut Kadie.
Ketiga puluh Kadie ini berasal dari pengembangan wilayah Bonto yang empat (Mia Patamia) pada awal munculnya Kerajaan Buton. Wilayah Bobato yang berjumlah empat puluh Kadie adalah Pengembangan wilayah dari sembilan Negeri yang masing-masing mempunyai "rajanya" sendiri-sendiri, yang disebut Lakina, yang mula-mula menggabung ke dalam Kerajaan Buton.
Sembilan negeri ini secara kesatuan disebut Sio Lipuna (Lipu = wilayah). Wilayah Bobato yang terdiri dari empat puluh Kadie ini masing-masing dikepalai oleh seorang Lakina. Mereka ini adalah dari turunan Kaumu (bangsawan).
Masing-masing Kadie di samping kepalanya (Bonto atau Lakina) mempunyai Dewan Pemerintahan sendiri yang disebut Sara Kadie. Sara Kadie ini tidak sama susunannya untuk semua Kadie, tetapi bervariasi menurut adat dan tradisinya masing-masing.
Secara keseluruhan jenis jabatan Sara Kadie itu adalah:
I) Bonto (bukan kepala Kadie Walaka)
2) Pangalasa
3) Kaosa
4) Tunggu
5) Parabela
6) Anakamia
7) Wati.
Wilayah Kadie juga tidak seragam, ada yang terdiri dari satu kampung dan ada pula yang meliputi beberapa kampung. Sebagai contoh:
a) Gundu-gundu, Kepala Negeri adalah Bonto.
Sara Kadie: Wati (satu orang)
b) Mawasangka, Kepala Wilayah Lakina (Bobato)
Sara Kadie :.
1) Mawasangka : a) Bonto (dua orang)
b) Parabela-(empat orang)
c) Wati (delapan orang).
2) Longkamu : a) Bonto ( satu orang )
b) Parabela (empat orang)
c) Wati (delapan orang)
Yang menjalankan pemerintahan Kadie sebenarnya adalah Sara Kadi, karena Kepala Kadie (Bonto atau Lakina) sebenarnya harus tinggal di Kraton (lbukota). Para Bonto (tiga puluh orang) mempunyai tugas-tugas khusus di pusat kerajaan sedangkan para Lakina (Bobato) mempunyai tugas dalam pertahanan dan keamanan kerajaan, baik dari luar maupun dari dalam.
Daerah dari wilayah inti yang tujuh puluh Kadi ini meliputi Pulau Buton kecuali Kulisusu dan Pulau Muna bagian selatan.
b. Daerah Moronene yang terdiri dari tiga wilayah yaitu Pulau Kabaena, Poleang, dan Rumbia merupakan daerah yang diperintah langsung secara adat (de jure) tetapi tidak langsung dalam kepemerintahan.
Kabaena secara tradisional (adat) merupakan wilayah dari Sapati. Keadaan ini bersumber dari pengangkatan Sapati yang pertama (Sapati Manjawari) yang menurut tradisi berasal dari Kabaena. Namun demikian di Kabaena ada Kepala Pemerintahan sendiri yang bergelar Mokole.
Pada tahun 1867 atau 1868 Controleur Selayar menerima sepucuk surat dari Kabaena (bukan dari Bupati) yang menginginkan penggabungan Kabaena ke Selayar. Demikian pula Poleang dan Rumbia masing-masing punya Kepala Pemerintahan (Mokole), tetapi secara adat keduanya masuk dalam wilayah Bonto yaitu Bontona Wandailolo dan Bontona Somba Marusu.
c. Barata berarti cadik (perahu). Dengan demikian wilayah Barata adalah wilayah yang dianggap dan diharapkan untuk menjaga kestabilan kerajaan.·Dalam hal ini ternasuk pula pengertian menjaga keamanan dari luar.
Dalam Kesultanan Buton ada empat wilayah yang berkedudukan sebagai Barata yaitu Muna, Tiworo, Kalingsusu, dan Kaledupa.
Muna dan Tiworo merupakan kerajaan-kerajaan yang bersamaan munculnya dengan Kerajaan Buton. Muna mempunyai wilayah di Pulau Muna bagian tengah sedangkan wilayah Tiworo meliputi bagian utara Pulau Muna dan pulau-pulau di Selat Tiworo.
Tidak lama setelah timbulnya kerajaan-kerajaan ini, ketiganya menjalin hubungan kekerabatan. Barata Kesultanan Buton yang empat ini masing-masing mengatur dirinya dengan Dewan Legislatif dan Dewan Pemerintahannya sendiri-sendiri.
Pada pertengahan abad XIX semua Barata kecuali Muna sudah merupakan wilayah yang menyatu dengan Buton. Muna dengan berpegang teguh pada tradisi hubungannya dengan Buton sebagai dua kerajaan bersaudara, selalu menolak kedudukan dianggap Barata dari Buton.
Perjanjian bersaudara ini bermula pada jaman diangkatnya Murhum yang sementara menjabat Raja Muna sebagai Raja (kemudian Sultan) Buton. Di Muna dia digantikan adiknya La Posasu. Dan sejak itu pula Muna Selatan digabungkan ke dalam Kerajaan Buton. Secara tradisional memang Buton tidak mencampuri pemerintahan Kerajaan Muna.
Sepanjang sejarahnya, Muna sering bertentangan dengan Buton yang selalu menempatkan Muna di pihak yang merugi. Dalam setiap kekalahan Muna menghadapi Buton, Buton selalu menempatkan pejabatnya sebagai pejabat Raja Muna. Tetapi sesudah keadaan aman dan dapat dikuasai, Sara Muna kembali bebas memilih rajanya.
Ketetapan Barata yang empat menurut tradisi Buton bermula sejak Sultan Buton IV La Elangi (1597-1631). Perselisihan antara Buton dengan Muna bermula sejak 1664. Pada waktu itu yang menjadi raja Muna adalah Sangia Kaindea. Saat itu (1664) Sultan Ternate menyerahkan kembali Pantsiano (Muna) kepada Sultan Buton dengan tidak setahu Raja Gowa, sedangkan sebenarnya pulau itu adalah masuk daerah kekuasaan Gowa.
Rupanya sejak serangan Sultan Hasanuddin ke Buton (1655) Muna dan Tiworo telah dapat dikuasai oleh Gowa dan Raja Muna Sangia Kaindea menjadikan kesempatan ini untuk bebas dari pengaruh Ternate.
Penyerahan ini ditentang oleh Raja Muna dan tidak mau mengakui kekuasaan Buton. Atas bantuan VOC dan Ternate Sangia Kaiindea dapat ditangkap dan dibawa ke Ternate. Selama di Ternate jabatan Raja Muna dipegang oleh istrinya Wa Ode Wakelu anak dari La Manempa Sapati Bu ton waktu itu.
Sesudah peperangan Gowa, Sangia Kaindea kembali ke Muna sebagai Raja Muna tetapi pemerintahan sebenarnya dijalankan oleh La Ode Idris seorang Kapitalau dari Buton. Pemerintahan La Ode Idris ini disebut Muna sebagai Sarano Kaindeadea.
Cucu Sangia Kaindea Raja Muna La Ode Husain Ompuo Sangia pada masa pemerintahannya selalu tidak mengakui kekuasaan Buton atas Mμna. Malah Belanda menganggap Muna "Vrij en on van Boeton" pada 1756
Anak-anak La Ode Husain yang berturut-turut menggantikannya pada akhir abad. XVIII dan awal abad XIX menunjukkan perkembangan-perkembanganatas kuasa Buton. Malah sebelum 1799 terjadi perang yang hebat di mana dikabarkan gugurnya Raja Muna dan banyaknya rakyat Muna yang korban.
Raja yang korban ini kemungkinan adalah La Ode Harisi yang di Muna digelar Omputo Nigege (Raja yang dihukum mati dengan jeratan benang di leher).
Pada 1816 Muna bersama dengan Tiworo dengan bantuan Syarif Ali dari Sulawesi Selatan kembali menentang Buton. Perang ini berlangsung sampai akhir 1823 dengan kekalahan Muna dan Tiworo.
Seorang Kapitalau dari Buton ditunjuk oleh Sultan Buton sebagai pejabat Raja Muna yaitu La Ode Ngkumabusi.
Pada 1838 Sultan Buton Muh. Idrus mengadakan Undang Undang Barata yang baru yang turut pula ditandatangani Raja Muna La Ode Sumaili. Pengganti La Ode Sumaili adalah La Ode Bulai yang pada tahun 1861 berselisih dengan pembantunya Kapitalao Lohia ( Laode Ngkada):
Dalam peristiwa ini Sultan Buton mengirim tentaranya. La Ode Bulai diasingkan di suatu tempat walaupun resminya masih Raja Muna dan La Ode Ngkada menyingkir ke Kendari.
Sesudah La Ode Bulai meninggal La Ode Ngkada dipanggil kembali oleh Sultan Buton ke Muna. Seterusnya·raja-raja Muna diangkat atas penunjukan atau persetujuan Sultan Buton.
Jelaslah bahwa sepanjang abad XIX Muna adalah wilayah (Barata) dari Buton, walaupun Muna berdaulat ke dalam. Orang Muna sampai jaman terakhir tidak mengakui negerinya sebagai bawahan Buton.
Barata yang lain (Kalisusu, Tiworo, dan Kaledupa) dalam perkembangannya secara bertahap menjadi wilayah yang menyatu dengan Buton. Yang tinggal pada mereka hanya kedudukan khusus sebagai Barata. Pejabat-pejabatnya selalu ditentukan dari Kraton Buton, di mana bebas mengangkat rajanya sendiri. (ref)
0 Komentar