Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi

ilustrasi : petani rumput laut

 BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara ini.  Bahkan, Wakatobi diprioritaskan dan digadang-gadang menjadi 10 Top Destinasi Pariwisata Nasional, atau yang dikenal sebagai Sepuluh Bali Bali.

Oleh : Sariamin Sahari*

Di samping pariwisata bahari, sektor perikanan menjadi andalan mayarakat pesisir dan laut. Tidaklah heran, karena selama bergenerasi orang Wakatobi dikenal sebagai manusia-manusia yang lahir dan berjuang di tengah lautan samudera.

Dari hasil laut, mereka menangkap ikan dan melakukan perdagangan antar pulau menggunakan perahu layar tanpa mesin (dalam bahasa lokal disebut bangka). Saat musim angin timur mereka berlayar menuju Jawa untuk memuat dan mengambil barang. Saat angin barat, mereka berlayar ke kepulauan Maluku dan Papua untuk menjual barang dagangan mereka.

Waktu berlalu, mereka lalu bertranformasi menjadi pembudidaya hasil perikanan. Salah satunya lewat komoditas rumput laut. Dahulu rumput laut dianggap tak bernilai karena nilai jualnya rendah. Namun perlahan, -dengan memaksimalkan potensi yang ada, rumput laut “meski hasilnya kecil tapi mencukupi”. Ia pun menjelma menjadi pilar ekonomi rumah tangga.

Namun masih ada juga tantangan untuk pembudidayaan rumput laut. Seperti yang dialami oleh Adi Huma Lakapala. Pria paruh baya berperawakan tegap, asal Liya Bahari, Wakatobi ini sudah banyak pengalaman jatuh bangun dalam urusan rumput laut.

“Bagi kami nelayan di Liya Kecamatan Wangi-Wangi, tak ada pilihan untuk bertani dan berladang, hasil minim,” serunya. Sekarang sepenuhnya dia tergantung mata pencariannya pada rumput laut.

Awalnya dia meminta bibit pada keluarga dekat, modal seadanya. Tapi kini ia berhasil membudidayakan rumput laut. Satu musim dia bisa peroleh hasil 1-3 ton. Dulu dia membudidayakan Eucheuma spinosum, sekarang dia coba beralih ke E. cottoni, jenis rumput laut yang harga jualnya lebih tinggi jika dijual kering di Baubau.

Selain Adi, ada juga Wahidin Gundi, seorang pensiunan PNS golongan rendah. Dia pun hidup dari berbudidaya rumput laut.

Di Liya Raya, kegiatan pembudidayaan rumput laut sebenarnya baru marak kurang dari 10 tahun ini. Awalnya para nelayan melihat rumput laut yang banyak dibudidayakan di perairan Buton. Awalnya, mereka beli bibit seadanya dari Buton untuk dipelihara di Liya.

Umumnya metode pembudidayaan rumput laut di Liya menggunakan tali rentang (long line). Bibit rumput laut (kisarannya 100-250 gram) diikat pada nilon sepanjang 30 m dengan jarak simpul 15 cm. Pada ujung tali bentang, terpasang pemberat semacam jangkar dan pelampung besar. Untuk menandai kepemilikan, kadang pembudidaya memasang bendera di bentang utama nilon mereka.

Dilema Nelayan

Meski sudah mulai banyak nelayan rumput laut yang memahami teknik budidaya. Terdapat kendala yang mereka jumpai, khususnya pada harga jual komoditas.

Harga dapat turun drastis dari Rp8.500/kg/kering menjadi hanya Rp4.000/kg/kering. “Bahkan pernah empat tahun lalu, saat panen melimpah, harga rumput laut hanya Rp2.000/kg/kering,” tutur Wahidin.

Saat itu tak ada pilihan bagi Wahidin. Dia pun terpaksa harus menjual hasil rumput lautnya.

Sejalan dengan waktu, ada bantuan datang dari Dinas Kelautan dan Perikanan Pemkab Wakatobi. Nelayan pun diperkenalkan dengan rumput laut jenis Eucheuma cottonii hasil kultur jaringan.

Pasar pun terbuka. Perusahaan nasional PT Baruna Sumber Sejahtera (PT BSS) bersedia menampung E. cottoni dengan harga beli Rp17.000/kg/kering. Nelayan pun untuk sementara bisa menarik napas lega.

Persoalannya, jenis E. cottoni yang dibudidayakan nelayan rentan terdapat penyakit ais-ais, yang dicirikan dengan warna keputihan pada rumput laut.

“Selain penyakit ais-ais, juga ada persoalan ketersediaan bibit. Di Wakatobi belum ada kebun bibit, jika terpaksa karena kebutuhan, kami harus pesan dan beli di Buton,” ungkap Adi.

Masa pelihara jenis ini juga terbatas, yaitu hanya tiga bulan antara bulan Juni sampai Agustus setiap tahun. Jenis ini pun hanya mau hidup perairan Liya dan Darawa yang sempit. Walhasil produksi nelayan tak mampu mencukupi permintaan kuota yang diminta perusahaan.

Untuk mengatasi persoalan ini Akademi Komunitas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, yang fokus pada vokasi kelautan dan perikanan, mencoba membangun kerjasama dengan masyarakat pembudidaya rumput laut di kedua lokasi ini. Kajian diarahkan pada bio-fisik perairan dan pemanfaatan kolom air laut.

Pemkab Wakatobi pun merancang program dan kegiatan untuk membantu penyediaan laboratorium kualitas air dan percobaan untuk daya tahan rumput laut terhadap serangan penyakit.

 Nilon dan Ancaman Mikro Plastik


Masalah dalam budidaya rumput laut juga berasal dari material yang biasa dipakai nelayan.  Untuk mengikat rumput laut, biasanya nelayan menggunakan nilon berukuran 2-2,5 mm sebanyak 3-5 gulung, sementara tali ris pengikat bibit berukuran 4-5 mm sebanyak 5-10 gulung. Dalam sekali musim, nilon bisa terendam antara 30-45 hari.

Tali nilon yang digunakan nelayan ini bisa digunakan 50-100 kali panen rumput laut, atau sekitar maksimal 7 tahun penggunaan. Dimana setelahnya, ia akan getas dan rapuh. Penggunaan tali nilon ini, kedepannya dapat berpotensi menjadi cemaran tambahan di lautan, berupa mikro plastik di perairan tersebut.

Sedikit fakta tentang nilon, ia terbuat dari polimer sintetik. Saat rapuh, nilon akan terlepas dan melayang di laut lepas. Saat ikan memakan ujung plastik nilon di sekitar bentangan lokasi budidaya, maka ia akan membentuk partikel berukuran 4 mikrometer.

Badan dunia seperti FAO dan WHO pun telah menyatakan bahwa partikel monomer ini dapat bersifat karsinogenik atau toksik jika tertelan mahluk hidup.

Saat ini inovasi baru sedang dijajaki untuk mengurangi dampak plastik di perairan. Akademi Komunitas KP  Wakatobi bekerjasama dengan para inovator muda mencoba untuk mencari bahan serat alami (non plastik) seperti ijuk, sabuk kelapa dan serat rotan sebagai tali bentang rumput laut.

Alternatif lain adalah penggunaan waring dan rakit bambu yang didesain khusus, dimana rumput laut hanya akan dilepas dalam karamba. Di tahun 2020, penelitian ini akan coba diuji dan diadaptasikan di tingkat nelayan di Liya.

Untuk meningkatkan nilai tambah produk di tingkat nelayan, maka fasilitasi akan terus dilakukan. Seperti menjadikan produksi olahan setengah jadi dalam skala home-industry, seperti karagenan, stik rumput laut, kerupuk dan olahan rumput lain yang dapat dijual pada konsumen setempat. (mongabay)

------------

*) penulis adalah pengajar konservasi kelautan pada Akademi Komunitas Kelautan Perikanan Wakatobi



  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...