BUTONMAGZ--Pertanian di Rumbia mengalami banyak kemajuan dan mampu menjadi penyangga ekonomi masyarakat dan kerajaan. Salah seorang saksi kelahiran tahun 1880-an menuturkan: “nai daamo awaho yo momuro miano tomoronene wotuno Sangia I Ntera”. Artinya orang Moronene tidak mengalami wabah kelaparan di zaman Sangia I Ntera.
-------------------------------
Oleh : H. Kasra J. Munara
-------------------------------
Rumbia juga banyak dikunjungi oleh pedagang dari berbagai daerah sekitarnya. Para pedagang datang tanpa hambatan ke Rumbia membawa barang-barang dagangan berupa peralatan rumah tangga terbuat dari logam atau porselen seperti periuk, piring, mangkok, guci untuk ditukarkan dengan hasil bumi dari Rumbia seperti padi, jagung, ubi, kelapa, kayu, rotan, damar. Beberapa barang dagangan yang ditukarkan tersebut ada yang termasuk barang mewah sehingga sering menjadi ukuran kemakmuran seseorang pada masa itu.
Istana Rahawatu dahulu banyak menyimpan benda-benda pusaka dan koleksi barang antik dari Eropa dan Cina. Namun sebagian besar barang-barang tersebut dijarah oleh “gerombolan badik” yang dibantu oleh penghianat kerajaan sekitar akhir tahun 1950 yang menyebabkan gugurnya 8 orang “tamalaki”. Penyerangan dilakukan pada saat keluarga kerajaan dalam keadaan berkabung. (Nanti saya akan ceritakan peristiwa yang memilukan ini secara terpisah).
Gerombolan badik ini melakukan banyak penjarahan dan penculikan hingga ke perkampungan Hukaea Laea tanpa belas kasih. Mereka menimbulkan banyak kekacauan di Rumbia hingga tahun 1953. Aksi mereka ini bukan murni aksi kriminal tetapi manuver politik.
Kemudian terjadi peristiwa “Taubonto Lautan Api” dimana gerombolan DII/TII secara membabibuta membakar sejumlah perkampungan dan membumihanguskan Istana Rahawatu tanggal 9 Oktober 1957. Keluarga kerajaan menjadi target pembunuhan dan harus mengungsi menyelamatkan diri. Sejak kedua peristiwa ini Kerajaan Moronene Rumbia mengalami stagnasi beberapa lama hingga keamanan wilayah Rumbia dipulihkan kembali oleh pasukan MOBRIG. Kini puing-puing Istana Rahawatu hanya bisa menjadi saksi bisu karena ia pun seakan tak penting untuk menjadi bagian kebanggaan daerahnya.
Sebenarnya, ketika ada ancaman atau tekanan politik dari pihak luar, Sangia I Ntera dan penerus Kerajaan Moronene Rumbia selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya agar selalu bisa aman dan tenteram. Sebisa mungkin menghindari konflik peperangan melalui diplomasi termasuk ketika Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan aturan pajak. Karena sebetulnya masyarakat Moronene sudah mengenal sistim pajak namun berbeda dengan sistim perpajakan yang ingin diterapkan oleh Belanda.
Dalam sistim pemerintahan tradisional kerajaan, pajak menjadi tanggungjawab kepala kampung atau perwakilan dari “limbo” (rakyat) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga raja secara bergantian. Ada yang disebut “momua” dimana masyarakat menyerahkan sebagian hasil bumi mereka kepada pihak kerajaan sesuai keikhlasan. Ada juga sistem “uma mpedohoia” dimana masyarakat secara gotong royong mengolah lahan pertanian milik kerajaan dan masyarakat akan mendapatkan bagian dari hasil yang diperoleh.
Contoh lain dalam mengatur perekonomian adalah dalam mengelola peternakan kerbau. Disebutkan bahwa tahun 1930, Sangia I Ntera memiliki lebih dari 100 ekor kerbau. Sangia I Ntera menyebutnya “kaoe”. Masing-masing kepala kampung juga memiliki beberapa ekor kerbau. Semua kerbau biasanya dilepas secara bebas di alam terbuka. Namun setiap tahun selama musim panas (sekitar tiga bulan lamanya), semua kerbau dikumpulkan sebanyak-banyaknya untuk digembalakan yang disebut “mompakani”.
Masing-masing pemilik akan menggembalakan kerbau-kerbau mereka melalui anggota keluarganya atau orang yang ditugaskan. Untuk orang yang tidak memiliki kerbau tetapi telah pernah menggembalakan kerbau pada tahun sebelumnya akan diberikan satu ekor anak kerbau sebagai imbalan dan demikian seterusnya sehingga seseorang bisa memiliki beberapa ekor ternaknya sendiri dalam beberapa tahun.
Pada masa akhir tiga bulan “mompakani”, akan digelar upacara adat yang disebut “mododo ngani” yaitu semacam ritual untuk kesuburan kerbau. Seekor kerbau akan dipilih lalu ditempatkan ke dalam lingkaran yang dibentuk oleh beberapa tombak yang ditancapkan ke tanah. Kerbau kemudian diberi makan beras hitam bercampur kelapa yang sudah ditumbuk.
Lalu kepala sang kerbau pilihan akan dipercikan dengan “air yang sudah disucikan” dan sisanya untuk kawanan kerbau yang lainnya. Setelah itu, semua kawanan kerbau akan dilepaslan kembali ke alam bebas hingga tiba masa “mompakani” tahun berikutnya. (bersambung)
---------------------------
*) Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber. Salah satunya adalah buku “Nieuwe hoofden, nieuwe goden”, Dr. Christian de Jong, 2017 dan buku “Sejarah Peradaban Moronene”, Rekson dkk, 2015.
---------------------------
BACA BERITA SEBELUMNYA :