Banyak tradisi dan budaya masyarakat menyambut hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Di Sulsel khususnya wilayah Takalar dan sekitarnya ada perayaan besar-besaran disebut ‘Maudu Lompoa’ dengan mengarak replika perahu Pinisi yang dihiasi aneka ragam kain sarung dan dipamerkan, setelah itu perah diangkat dan diarak kelililing desa juga dengan tetabuhan gendang.
Di wilayah Kalimantan Selatan disebut dengan 'Baayun Maulid', di Jogjakarta disebut ‘Grebeg Maulid’, sementara di Cirebon disebut dengan ‘Panjang jimat’, yakni perigatan yang bermula dilaksanakan di makam Sunan Gunung Jati, Kecamatan Gunung Jati. Upacara akan ditandai dengan adanya sembilan kali bunyi lonceng Gajah Mungkir yang berada di depan gerbang keraton.
Selain lonceng, pembukaan juga ditandai dengna tiupan peluit yang mengisyaratkan kepada warga agar memberikan jalan bagi iring-iringan famili.
Nah, tradisi unik di Buton menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW agak berbeda dengan tradisi lainnya di Nusantara itu. Disebut dengan ‘Gorano Oputa’ dan prosesinya jauh dari kesan kemeriahan.
Secara harfiah dalam bahasa Indonesia, Gorano Oputa diartikan sebagai ‘Doa Sultan’. Kata ‘gorano’ dari diksi ‘gora’ diartikan sebagai pengaharapan, permintaan, Sementara Oputa dan berarti ‘sang raja – sultan’. Gorano Oputa ini dipandu langsung perangkat Syara masjid Agung Keraton Buton – jabatan agama yang sangat disakralkan keberadaannya.
Gorano Oputa itu dilaksanakan dalam suasana yang sunyi, tengah malam tepat pukul 00.00 waktu setempat – sejumlah doa-doa dan shalawat Nabi terlantun di kesunyian itu, maka jadilah Gorano Oputa menjadi ritual yang sangat sakral. Itu sebab mereka yang hadir di acara ini tak boleh mengeluarkan suara yang akan mengganggu prosesi – demi hikmadnya doa-doa tersebut.
Di masa kekinian, Gorano Oputa ytak lagi digelar di rumah para Sultan-sultan Butoon, selanjutnya secara simbolik dipusatkan di rumah jabatan wali kota, sebaga simbolisasi kepemimpinan di negeri Wolio – pusat peradaban kesultanan Buton.
Seperti diungkap Wali Kota Baubau, Dr. H. AS. Tamrin MH, sesuadah prosesi Gorana Oputa di rujab Walikota Baubau, selasa dini hari, 20 November 2018 yang menyebut jika kegiatan ini rutinitas tahunan yang dipusatkan di Rujab Wali Kota.
“Malam ini yang kita laksanakan adalah maulid memperingati nabi besar kita yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan Sara Masjid Agung Keraton yang merupakan kegiatan rutin tiap tahun jadi kita mengagungkan dan menjunjung tinggi nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW sekalian sambil merefres otak kita, dan banyak hikmah yang bisa diambil hikmanya,”ungkapnya.
Di wilayah Kalimantan Selatan disebut dengan 'Baayun Maulid', di Jogjakarta disebut ‘Grebeg Maulid’, sementara di Cirebon disebut dengan ‘Panjang jimat’, yakni perigatan yang bermula dilaksanakan di makam Sunan Gunung Jati, Kecamatan Gunung Jati. Upacara akan ditandai dengan adanya sembilan kali bunyi lonceng Gajah Mungkir yang berada di depan gerbang keraton.
Selain lonceng, pembukaan juga ditandai dengna tiupan peluit yang mengisyaratkan kepada warga agar memberikan jalan bagi iring-iringan famili.
Nah, tradisi unik di Buton menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW agak berbeda dengan tradisi lainnya di Nusantara itu. Disebut dengan ‘Gorano Oputa’ dan prosesinya jauh dari kesan kemeriahan.
Secara harfiah dalam bahasa Indonesia, Gorano Oputa diartikan sebagai ‘Doa Sultan’. Kata ‘gorano’ dari diksi ‘gora’ diartikan sebagai pengaharapan, permintaan, Sementara Oputa dan berarti ‘sang raja – sultan’. Gorano Oputa ini dipandu langsung perangkat Syara masjid Agung Keraton Buton – jabatan agama yang sangat disakralkan keberadaannya.
Gorano Oputa itu dilaksanakan dalam suasana yang sunyi, tengah malam tepat pukul 00.00 waktu setempat – sejumlah doa-doa dan shalawat Nabi terlantun di kesunyian itu, maka jadilah Gorano Oputa menjadi ritual yang sangat sakral. Itu sebab mereka yang hadir di acara ini tak boleh mengeluarkan suara yang akan mengganggu prosesi – demi hikmadnya doa-doa tersebut.
Di masa kekinian, Gorano Oputa ytak lagi digelar di rumah para Sultan-sultan Butoon, selanjutnya secara simbolik dipusatkan di rumah jabatan wali kota, sebaga simbolisasi kepemimpinan di negeri Wolio – pusat peradaban kesultanan Buton.
Seperti diungkap Wali Kota Baubau, Dr. H. AS. Tamrin MH, sesuadah prosesi Gorana Oputa di rujab Walikota Baubau, selasa dini hari, 20 November 2018 yang menyebut jika kegiatan ini rutinitas tahunan yang dipusatkan di Rujab Wali Kota.
“Malam ini yang kita laksanakan adalah maulid memperingati nabi besar kita yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan Sara Masjid Agung Keraton yang merupakan kegiatan rutin tiap tahun jadi kita mengagungkan dan menjunjung tinggi nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW sekalian sambil merefres otak kita, dan banyak hikmah yang bisa diambil hikmanya,”ungkapnya.
Gorano Oputa sendiri merupakan tradisi yang sudah ada sejak masa leluhur dimasa lalu, dan dalam proses haroa yang dibaca adalah riwayat Nabi Muhammad SAW, menjadi petanda jika Gorano Oputa sudah digelar maka masyarakat Buton juga menggelar ‘haroa’ maulud di rumah masing-masing selama bulan Maulid berlangsung.
Namun ada yang mewacanakan, jika proses Gorano Oputa itu secara budaya baiknya dikembalikan secara adat ke pemengang jabatan Kesultanan Buton saat ini. Alasannya sederhana, telah ada perangkat kesultanan secara budaya di daerah, kendati kewenangannya sebatas pada hal yang sant terbatas. (ref)