Beberapa hari belakangan ini, isu sampah plastik di perairan Wakatobi menyeruak ke permukaan bersamaan dengan upaya daerah itu mempertahankan predikat sebagai ‘top ten’ destinasi unggulan pariwisata Nusantara. Bahkan sejumlah aktivis lingkungan di sana mulai resah dengan ancaman cemaran sampah plastik bagi ekositem ekositem perairan di sana.
Ini tak lagi dianggap sepele, sebab ditemukannya Paus Sperma hitam sepanjang 9,6 meter yang telah mati dan membusuk di perairan Pulau Kapota atau dikenal pula dengan nama Pulau Kambode di perutnya di temukan sampah plastik seberat 5,9 kg.
Ini tak lagi dianggap sepele, sebab ditemukannya Paus Sperma hitam sepanjang 9,6 meter yang telah mati dan membusuk di perairan Pulau Kapota atau dikenal pula dengan nama Pulau Kambode di perutnya di temukan sampah plastik seberat 5,9 kg.
“ini tantangan bagi kita semua, sebab temuan 5,9 sampah plastik dalam perut Paus yang telah membusuk menjadi cerita pilu, jika laut kami ini ternyata telah tercemar, dan ini membahayakan tidak hanya bagi dunia pariwisata Wakatobi, tetapi juga kehidupan masyarakat kami yang menggantungkan hidupnya di laut sebagai nelayan” ujar La Ode Nur Ahmad, SH. - aktivis kepemudaan Pulau Kapota, kepada Butonmagz Rabu sore ini. (21/11)
Memang, di Wakatobi telah ada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 berkaitan penanganan sampah, namun kekuarangan aturan ini tidak ada yang spesifik nomenklatur di dalamnya berkaitan pengelolaan sampah di laut. Penegasan sanksi juga terbilang sangat administratif.
“Sudah saatnya pengelolaan sampah laut di Wakatobi dan daerah-daerah yang memiliki perairan laut diregulasikan khusus, memang ada kesulitan untuk memantau pelakunya, sebab sampah plastik bisa saja kiriman dari perairan daerah lain, tetapi setidaknya masyarakat setempat sudah teredukasi dengan hadirnya peraturan daerah berkait hal tersebut,” saran Irwan, penggiat hukum perairan yang saat ini bermukim di Jakarta saat dimintai pendapatnya oleh Butonmagz.
Menyeruaknya isu sampah plastik dengan temuan Paus Sperma tersebut di Wakatobi juga disorot sejumlah media nasional. Kompas.com melalui laporan koresponden Kiki Andi Pati misalnya, hari ini menyorot khusus kasus pencemaran lingkungan ini. media ini menukil pernyataan pegiat lingkungan dari Komunitas Melihat Alam (Kamelia) Wakatobi.
Mereka menyebut bahwa ekosistem di perairan Wakatobi terancam akibat sampah plastik. Koordinator Kamelia Wakatobi, Hardin, menyebutkan, pihaknya pernah melakukan aksi bersih di sejumlah pantai di sekitar Wakatobi, mulai dari Kabupaten Kepulauan Tukang Besi hingga Pantai Sembani di Pulau Sambano di Pulai Kaledupa, Wakatobi.
Aksi itu dilakukan dengan kolaborasi beberapa lembaga peduli lingkungan dalam aksi Diet Plastik di acara Beach Clean Up pada Maret 2018. Hasilnya, mereka menemukan 1,7 ton sampah plastik berserakan di wilayah pesisir dan pantai sekitar Wakatobi.
Padahal laut Wakatobi sudah ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia. Bahkan, kata Hardin, sepanjang 2 kilometer perairan laut Waha Raya, Wakatobi, pernah ada yang menyelam di kedalaman 5 hingga 10 meter, dan ditemukan sebanyak 24 kilogram sampah yang didominasi botol plastik, dan ada juga sampah seperti jaring, popok dan toples plastik.
Sampah Plastik dalam Perut Paus yang Mati di Wakatobi Kejadian itu sungguh sangat mengancam ekosistem laut. Hal itu dibuktikan dengan matinya seekor paus dengan perut berisi sampah plastik seberat 5,9 kilogram.
"Kalau dilihat, sampah plastik sudah warna hitam dalam perut paus. Tentunya bukan hanya sampah buangan dari masyarakat Wakatobi. Sebab banyak juga kapal yang melintas di sini juga biasa membuang sampah di laut," ungkap Hardin.
Menurutnya, semakin banyak sampah plastik di lautan, maka kian besar ancaman bagi kelestarian ekosistem di laut. Meski ancaman kerusakan tak hanya berasal dari sampah plastik, tetapi dia tetap mengingatkan bahwa dampak yang ditimbulkan dari sampah plastik juga sangat berbahaya. Lokasi pengolahan sampah Saat ini, sampah yang terkumpul belum diketahui cara pengelolaannya yang tepat, karena belum adanya lokasi pengolahan sampah, terutama sampah plastik di Pulau Kapota, Kecamatan Wangiwangi, tempat ditemukannya paus mati.
"Penanganan sampah menjadi penting karena sampah plastik yang terkena sinar matahari, terus menerus terkena ombak dan pasang surut, menyebabkan plastik terdegradasi menjadi partikel-partikel kecil atau mikroplastik yang tertelan oleh fauna laut, mengkontaminasi produk hasil laut yang kita konsumsi," jelas Hardin.
Kini, sampah plastik di lautan menjadi sorotan khusus. Media Kompas.com juga mengurai data tentang negara penyumbang sampah terbesar Berdasarkan data Jambeck (2015) di mana Indonesia menjadi negara penyumbang sampah plastik ke laut terbesar di dunia, yakni mencapai 187,2 juta ton setelah China 262,9 juta ton per tahun. Di urutan ketiga adalah Filipina mencapai 83,4 juta ton diikuti Vietnam 55,9 juta ton per tahun. (ref : data dari berbagai sumber)