![]() |
Dr. Suryadi - Filolog Universitas Leiden Belanda |
Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal berjudul “Surat-surat
Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitbibliotheek Leiden, Belanda” karya Suryadi, staf pengajar
pada Departemen Asia Tenggara dan Oseania (Opleiding Talen en
Culturen van Zuidoost
Azië en Oceanië) dan doktor pada School of Asian, African, and Amerindian Studies (CNWS), Leiden University, Belanda.
Tulisan Suryadi ini telah terpublikasi di jurnal Humaniora, Vol. 19, No. 3 Oktober 2007: 285-302. Begini pemaparannya.
Azië en Oceanië) dan doktor pada School of Asian, African, and Amerindian Studies (CNWS), Leiden University, Belanda.
Tulisan Suryadi ini telah terpublikasi di jurnal Humaniora, Vol. 19, No. 3 Oktober 2007: 285-302. Begini pemaparannya.
SALAH SATU jenis naskah Buton yang cukup menonjol adalah surat-surat kerajaan (royal letters). Surat-surat tersebut dikirimkan oleh raja-raja Buton kepada sesama penguasa lokal di bagian timur Nusantara atau kepada Kompeni Belanda.
Dalam katalog naskah Buton koleksi Abdul Mulku Zahari susunan Achadiati Ikram dkk. (2002) tercatat 97 naskah Buton yang digolongkan ke dalam jenis surat.
Banyaknya surat resmi raja-raja Buton itu merefleksikan eksistensi Kerajaan Buton di masa lalu walaupun VOC, setidaknya pada mulanya, menganggap kerajaan itu tidak begitu penting karena miskinnya (Kielstra, 1910:309).
Namun demikian, naskah surat-surat raja Buton yang cukup banyak itu belum mendapat perhatian maksimal secara akademis. Studi terhadap surat-surat raja Buton antara lain telah dilakukan oleh Zahari (1977), Gallop (2002: part 1, vol. I, 127, 200-1; part 2, vol. III, 497-500), Mu’jizah (2004), Pudjiastuti (2004), dan Suryadi (2005,2006)
Tampaknya, studi mengenai surat-surat raja Buton cukup lama terabaikan setelah untuk pertama kalinya mendapat perhatian W.G. Shellabear pada akhir abad ke- 19. Shellabear (1898) membahas surat seorang kapitalao (kapiten laut) Kerajaan Buton yang ditulis pada abad ke-17 (kira-kira 1667), pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-10, Sultan Adilik Rahim (atau La Limbata atau Oputa Mosabuna) yang berkuasa tahun 1664- 1669.
Surat itu, bersama sejumlah surat lain dari raja-raja Melayu yang dikirimkan kepada penguasa kolonial Belanda dan Inggris pada abad ke-17, sekarang tersimpan di Bodleian Library di Oxford, Inggris (Ab Karim 1994:49).
Surat-surat Melayu klasik adalah objek studi yang sudah sejak abad ke-19 telah menarik perhatian dunia akademis karena banyak aspek yang terkandung di dalamnya amat bermanfaat bagi pemahaman sejarah, politik, bahasa, seni, dan kebudayaan masyarakat Nusantara. Surat- surat tersebut jelas merupakan salah satu sumber pribumi dari tangan pertama (bronen) yang amat bermanfaat bagi penelitian sejarah Indonesia dan perkembangan bahasa Melayu Nusantara di masa lampau.
Sayangnya, sampai sekarang data penting itu masih dipandang sebelah mata oleh para peneliti di luar bidang ilmu filologi dan sastra Melayu klasik pada umumnya. Demikianlah, umpamanya, sumber- sumber pribumi berupa surat-surat kerajaan tersebut belum banyak dimanfaatkan dalam studi sejarah lokal Indonesia.
Usaha untuk meneliti dan mentransliterasikan surat-surat tersebut, terutama yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan luar negeri, perlu ditingkatkan terus, agar isinya dapat diketahui oleh pembaca masa kini dan dapat dimanfaatkan untuk penelitian-penelitian dalam bidang ilmu terkait.
Pada hakikatnya, surat adalah wakil diri seseorang. Oleh karena itu, dalam ungkapan Melayu klasik dikatakan bahwa “surat adalah pengganti badan”. Dengan demikian, ada rahasia-rahasia yang amat pribadi yang termaktub di dalamnya, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain selain si penerima surat. Namun, dalam kasus surat-surat kerajaan Nusantara di masa lalu, hakikat surat sebagai representasi diri/ pribadi itu agak kompleks sifatnya.
Ada urusan pribadi dan sekaligus peristiwa politik yang terekam di dalam surat-surat tersebut, dan sampai batas tertentu, teksnya bersifat emotif, tidak “kering” seperti laporan-laporan resmi enjajah. Surat itu sendiri adalah tradisi yang diserap oleh subjek jajahan dari penjajahnya: semacam peniruan (mimicry) yang diserap dan dipelajari dari kekuatan literacy penjajah yang dengan selembar kertas yang disebut surat dapat mengambil alih dan menghilangkan kekuasaan si subjek terjajah atas tanah dan otoritas mereka atas rakyat dan negerinya sendiri.
Surat-surat kerajaan Nusantara tersebut ering merekam peristiwa-peristiwa politik dan sosial, khususnya yang terjadi di sekitar lingkungan elite istana yang justru tidak terekam dalam laporan-laporan atau dokumen-dokumen Belanda. Dengan demikian, data historis yang berupa surat-surat kerajaan lokal Nusantara dan laporan-laporan resmi penjajah (Belanda) adalah dua jenis dokumen yang bersifat komplementer yang satu dapat melengkapi yang lainnya. Surat-surat kerajaan lokal Nusantara itu adalah semacam “lorong waktu” (time tunnel) untuk masuk ke dalam istana-istana kerajaan lokal Nusantara pada masa lampau dan menyaksikan segala peristiwa (sosial dan politik) penuh dengan intrik yang terjadi di antara para penghuninya.
Surat-surat itu merekam peristiwa-peristiwa politik mikro serta berbagai tradisi budaya dalam
kerajaan-kerajaan lokal Nusantara itu—intrik-intrik politik, perubahan rezim, sistem birokrasi kerajaan, figur-figur politik penting di sekitar Sultan, perang lokal dan aksi makar, aktivitas eknomi dan perdagangan, perilaku dan kebiasaan-kebiasaan pribadi para raja dan elite lokal, dan lain sebagainya.
Banyak aspek kebudayaan Nusantara masa lampau yang dapat diungkap melalui penelitian terhadap surat-surat tersebut. Tidak berlebihan apabila pakar persuratan dan perstempelan Nusantara klasik, Annabel Teh Gallop, berkata bahwa surat-surat Melayu adalah “an important resource for the study of political, diplomatic and economic history of the Malay world and for the historical development of the Malay language” (Gallop, 1992:1).
Walaupun beberapa ahli sudah bertekun meneliti surat-surat Melayu dari berbagai aspek dan displin ilmu, masih ada banyak lagi surat klasik Nusantara yang belum dialihaksarakan dan belum diungkapkan isinya.
Di dalam artikel ini saya membincangkan tiga surat raja Buton dari awal abad ke-19 yang tersimpan di Universiteitsbibliotheek Leiden (Perpustakaan Universitas Leiden; selanjutnya ditulis: UB Leiden).
Surat pertama dan kedua berturut- turut adalah Cod. Or. 2242-II (15) [no. 246] dan Cod. Or. 2242-II (16) [no. 399] atas nama Sultan Dayyan Asraruddin, sultan Buton ke-27 yang memerintah tahun 1799-1822. Surat ini ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Wieringa 1998:415).
Surat ketiga adalah Cod. Or. 2233 (55) atas nama Sultan Kaimuddin I, Sultan Buton ke-29, berkuasa tahun [1821]-1851. Surat ini ditujukan kepada Kolonel Jan David van Schelle penguasa sipil dan militer Kompoeni diMakassar (Ibid.:303). Ketiga surat itu adalah bagian dari koleksi surat-surat resmi raja Buton yang tersimpan di Belanda dan, oleh karenanya, mungkin belum banyak diketahui di Indonesia.
Penerbitan transliterasi ketiga surat tersebut diharapkan dapat menarik perhatian kalangan akademis, khususnya di Indonesia, terhadap koleksi surat-surat raja Buton, dan naskah Buton pada umumnya yang beratus tahun tersimpan di luar negeri.
Surat-surat raja Buton yang tersimpan di UB Leiden Salah satu dari sedikit perpustakaan di luar negeri yang menyimpan surat-surat raja Buton adalah UB Leiden, di kota Leiden, Belanda. Di perpustakaan ini tersimpan delapan surat raja Buton (lih. Wieringa, 1998:303-15). Tabel Buton (lih. Wieringa, 1998:303-15). Tabel berikut ini menyajikan informasi kolofon surat-surat tersebut.
Dalam katalog naskah Buton koleksi Abdul Mulku Zahari susunan Achadiati Ikram dkk. (2002) tercatat 97 naskah Buton yang digolongkan ke dalam jenis surat.
Banyaknya surat resmi raja-raja Buton itu merefleksikan eksistensi Kerajaan Buton di masa lalu walaupun VOC, setidaknya pada mulanya, menganggap kerajaan itu tidak begitu penting karena miskinnya (Kielstra, 1910:309).
Namun demikian, naskah surat-surat raja Buton yang cukup banyak itu belum mendapat perhatian maksimal secara akademis. Studi terhadap surat-surat raja Buton antara lain telah dilakukan oleh Zahari (1977), Gallop (2002: part 1, vol. I, 127, 200-1; part 2, vol. III, 497-500), Mu’jizah (2004), Pudjiastuti (2004), dan Suryadi (2005,2006)
Tampaknya, studi mengenai surat-surat raja Buton cukup lama terabaikan setelah untuk pertama kalinya mendapat perhatian W.G. Shellabear pada akhir abad ke- 19. Shellabear (1898) membahas surat seorang kapitalao (kapiten laut) Kerajaan Buton yang ditulis pada abad ke-17 (kira-kira 1667), pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-10, Sultan Adilik Rahim (atau La Limbata atau Oputa Mosabuna) yang berkuasa tahun 1664- 1669.
Surat itu, bersama sejumlah surat lain dari raja-raja Melayu yang dikirimkan kepada penguasa kolonial Belanda dan Inggris pada abad ke-17, sekarang tersimpan di Bodleian Library di Oxford, Inggris (Ab Karim 1994:49).
Surat-surat Melayu klasik adalah objek studi yang sudah sejak abad ke-19 telah menarik perhatian dunia akademis karena banyak aspek yang terkandung di dalamnya amat bermanfaat bagi pemahaman sejarah, politik, bahasa, seni, dan kebudayaan masyarakat Nusantara. Surat- surat tersebut jelas merupakan salah satu sumber pribumi dari tangan pertama (bronen) yang amat bermanfaat bagi penelitian sejarah Indonesia dan perkembangan bahasa Melayu Nusantara di masa lampau.
Sayangnya, sampai sekarang data penting itu masih dipandang sebelah mata oleh para peneliti di luar bidang ilmu filologi dan sastra Melayu klasik pada umumnya. Demikianlah, umpamanya, sumber- sumber pribumi berupa surat-surat kerajaan tersebut belum banyak dimanfaatkan dalam studi sejarah lokal Indonesia.
Usaha untuk meneliti dan mentransliterasikan surat-surat tersebut, terutama yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan luar negeri, perlu ditingkatkan terus, agar isinya dapat diketahui oleh pembaca masa kini dan dapat dimanfaatkan untuk penelitian-penelitian dalam bidang ilmu terkait.
Pada hakikatnya, surat adalah wakil diri seseorang. Oleh karena itu, dalam ungkapan Melayu klasik dikatakan bahwa “surat adalah pengganti badan”. Dengan demikian, ada rahasia-rahasia yang amat pribadi yang termaktub di dalamnya, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain selain si penerima surat. Namun, dalam kasus surat-surat kerajaan Nusantara di masa lalu, hakikat surat sebagai representasi diri/ pribadi itu agak kompleks sifatnya.
Ada urusan pribadi dan sekaligus peristiwa politik yang terekam di dalam surat-surat tersebut, dan sampai batas tertentu, teksnya bersifat emotif, tidak “kering” seperti laporan-laporan resmi enjajah. Surat itu sendiri adalah tradisi yang diserap oleh subjek jajahan dari penjajahnya: semacam peniruan (mimicry) yang diserap dan dipelajari dari kekuatan literacy penjajah yang dengan selembar kertas yang disebut surat dapat mengambil alih dan menghilangkan kekuasaan si subjek terjajah atas tanah dan otoritas mereka atas rakyat dan negerinya sendiri.
Surat-surat kerajaan Nusantara tersebut ering merekam peristiwa-peristiwa politik dan sosial, khususnya yang terjadi di sekitar lingkungan elite istana yang justru tidak terekam dalam laporan-laporan atau dokumen-dokumen Belanda. Dengan demikian, data historis yang berupa surat-surat kerajaan lokal Nusantara dan laporan-laporan resmi penjajah (Belanda) adalah dua jenis dokumen yang bersifat komplementer yang satu dapat melengkapi yang lainnya. Surat-surat kerajaan lokal Nusantara itu adalah semacam “lorong waktu” (time tunnel) untuk masuk ke dalam istana-istana kerajaan lokal Nusantara pada masa lampau dan menyaksikan segala peristiwa (sosial dan politik) penuh dengan intrik yang terjadi di antara para penghuninya.
Surat-surat itu merekam peristiwa-peristiwa politik mikro serta berbagai tradisi budaya dalam
kerajaan-kerajaan lokal Nusantara itu—intrik-intrik politik, perubahan rezim, sistem birokrasi kerajaan, figur-figur politik penting di sekitar Sultan, perang lokal dan aksi makar, aktivitas eknomi dan perdagangan, perilaku dan kebiasaan-kebiasaan pribadi para raja dan elite lokal, dan lain sebagainya.
Banyak aspek kebudayaan Nusantara masa lampau yang dapat diungkap melalui penelitian terhadap surat-surat tersebut. Tidak berlebihan apabila pakar persuratan dan perstempelan Nusantara klasik, Annabel Teh Gallop, berkata bahwa surat-surat Melayu adalah “an important resource for the study of political, diplomatic and economic history of the Malay world and for the historical development of the Malay language” (Gallop, 1992:1).
Walaupun beberapa ahli sudah bertekun meneliti surat-surat Melayu dari berbagai aspek dan displin ilmu, masih ada banyak lagi surat klasik Nusantara yang belum dialihaksarakan dan belum diungkapkan isinya.
Di dalam artikel ini saya membincangkan tiga surat raja Buton dari awal abad ke-19 yang tersimpan di Universiteitsbibliotheek Leiden (Perpustakaan Universitas Leiden; selanjutnya ditulis: UB Leiden).
Surat pertama dan kedua berturut- turut adalah Cod. Or. 2242-II (15) [no. 246] dan Cod. Or. 2242-II (16) [no. 399] atas nama Sultan Dayyan Asraruddin, sultan Buton ke-27 yang memerintah tahun 1799-1822. Surat ini ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Wieringa 1998:415).
Surat ketiga adalah Cod. Or. 2233 (55) atas nama Sultan Kaimuddin I, Sultan Buton ke-29, berkuasa tahun [1821]-1851. Surat ini ditujukan kepada Kolonel Jan David van Schelle penguasa sipil dan militer Kompoeni diMakassar (Ibid.:303). Ketiga surat itu adalah bagian dari koleksi surat-surat resmi raja Buton yang tersimpan di Belanda dan, oleh karenanya, mungkin belum banyak diketahui di Indonesia.
Penerbitan transliterasi ketiga surat tersebut diharapkan dapat menarik perhatian kalangan akademis, khususnya di Indonesia, terhadap koleksi surat-surat raja Buton, dan naskah Buton pada umumnya yang beratus tahun tersimpan di luar negeri.
Surat-surat raja Buton yang tersimpan di UB Leiden Salah satu dari sedikit perpustakaan di luar negeri yang menyimpan surat-surat raja Buton adalah UB Leiden, di kota Leiden, Belanda. Di perpustakaan ini tersimpan delapan surat raja Buton (lih. Wieringa, 1998:303-15). Tabel Buton (lih. Wieringa, 1998:303-15). Tabel berikut ini menyajikan informasi kolofon surat-surat tersebut.
Semua surat tersebut termasuk koleksi ‘Rijks-Instelling’ III di UB Leiden. Dari tabel di bawah dapat dilihat bahwa surat tertua ditulis tahun 1788 (surat no. 1) dan yang termuda tahun 1821 (surat no. 8). Semua surat tersebut berbahasa Melayu dan ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Jawi).
Dalam beberapa katalog disebutkan bahwa ada satu lagi surat raja Buton yang tersimpan di UB Leiden, yaitu Cod. Or. 2240-II (9) (Wan Mamat, 1985:28; Wieringa, 1998:384-85).
Namun, rupanya surat itu, yang termasuk jenis ‘silver’ letter, bukan surat raja Buton, melainkan surat Sultan Abunasar Muhammad dari Banten bertarikh 11 April 1807 (Pudjiastuti, 2005:173). Bahwa surat itu berasal dari Banten dapat diidentifikasi dengan jelas pada kolofonnya yang menyatakan ‘kota Intan Surasupan [!]’ (Wieringa, 1998:85)—yang dimaksud ialah Surasuwan—yaitu nama lain untuk Banten pada zaman dulu.
Lima surat yang pertama dalam daftar di atas, yaitu surat-surat Sultan Muhyiuddin Abdul Gafur (surat no. 1, 2, 3, 4, 5), sudah dibicarakan oleh Suryadi (2006). Dalam artikel ini hanya akan dibahas tiga surat terakhir (surat no. 6, 7, dan 8).
Dalam artikel ini akan diberikan gambaran mengenai konteks sosio-historis ketiga surat tersebut dan disajikan transliterasinya. Hasil transliterasi ini paling tidak akan membantu pembaca masa kini untuk mengetahui isi ketiga surat tersebut. Dalam kajian Suryadi (2007) belum sempat disajikan transliterasi tiga surat ini.
Dengan demikian, artikel ini boleh dianggap sebagai lanjutan dari kajian itu, dalam rangka menyajikan transliterasi seluruh surat raja Buton yang tersimpan di UB Leiden. Selain akan me- nambah kepustakaan mengenai studi pernaskahan Buton, hasil transliterasi ketiga surat ini, dan lima surat terdahulu (Ibid.), diharapkan dapat dimanfaatkan oleh bidang ilmu terkait seperti linguistik dan sejarah. (bersambung ke bagian2)