20 November 2018 bersamaan dengan ritual ‘Gorano Oputa’ di Rujab Wali Kota Baubau – sebuah ritual permohonan doa dari pemimpin negeri di Buton jelang Maulid Nabi Muhammad SAW – menjadi waktu yang menasbihkan Dr. H. AS. Tamrin, MH tepat berumur 66 tahun. Usai yang terbilang sepuh seorang pemimpin daerah.
Abdul Sajid Tamrin, begitu nama lengkapnya. Ia sosok yang memiliki karakter berbeda dengan banyak pemimpin daerah. Ia selalu tampil apa adanya dan penuh kesederhanaan. Ketika bertutur pun selalu mencirikan diri dalam dialeg ke-Buton-an. Persepsi lainnya yang melekat dalam diri Wali Kota Baubau dua periode ini adalah wataknya yang tak neka-neko. Para pejabat di daerah ini menyimpul kata untuk AS. Tamrin sebagai ‘orang tua’ khas Buton.
Mungkin karena kesederhanaan itu pula terkadang ia teranggap remeh dalam persepsi banyak orang. Hal itu disadarinya, namun mahfum dengan situasi itu. Pak Tamrin lebih memilih mengalah, dan hanya ingin memberi teladan melalui prilaku keseharian.
“Di Buton ini kita diwariskan falsafah sara pataanguna, ada filosofi saling menyayangi, saling memelihara, saling mengangkat, saling menghormati, dan toleransi. Saya ingin kita semua konsisten dengan warisan leluhur ini, dalam pikiran, tindakan, dan hubungan sosial kita antar sesama. Dalam disertasi doktoral saya mengangkat falsafah ini menjadi nilai yang saya sebut sebagai Po-lima,” ujar Wali Kota AS. Tamrin di acara bedah buku ‘Sejarah Buton – Labu Rope labu Wana” karya Prof. Susanto Zuhdi yang digelar Kamis kemarin (22/11) di Palagimata.
Ibarat seorang penenun, Pak Tamrin seolah memintal ‘faham’ ke-Buton-an di dalam dirinya. Ia ingin nilai-nilai luhur yang agung dan abadi dalam masyarakat Buton tak sekadar wacana dialektika belaka, tetapi merasuk dalam pikiran dan tingkah laku orang Buton, di manapun ia berada. Faham atau ‘fahamu’ dalam diksi masyarakat Wolio-Buton seolah menjadi diksi yang sulit diurai dalam dimensi harfiah, seibarat mengurai benag kusut kajian-kajian filsafat.
Ia juga sangat menyadari jika peristilahan Po-lima banyak diperdebatkan di masyarakat. Namun Pak Tamrin menampik jika itu upaya menggeser ‘sara pataaguna’ atau empat falsafah dasar masyarakat Buton yang disebut binci-binciki kuli, yang di dalamnya terdiri dari poangka-angkataka, pomaa masiaka, popia-piara, pomaa-maeaka, yang termaktub dalam kitab Martabat Tujuh
“Saya ini orang Buton asli, lahir di Keraton tak mungkin punya niat macam-macam. Saya ingin membumikan nilai-nilai ‘Sara Pataaguna’ ini dalam diri kita. Saya mengemasnya secara ilmiah dengan Po-lima itu. Intinya po-lima itu bukan untuk didiskusikan saja tetapi nilainya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari” ujar Pak Tamrin simple.
Pak Tamrin sangat memahami perbedaan cara berpikir itu bisa jadi karena persoalan perbedaan pandangan politik. “Kalau saya marimi kita sama-sama, menjaga dan membangun daerah ini. perjalanan politik sudah selesai, tugas kita adalah berikan energi positif agar Baubau bisa lebih baik lagi,” ujarnya.
Abdul Sajid Tamrin, begitu nama lengkapnya. Ia sosok yang memiliki karakter berbeda dengan banyak pemimpin daerah. Ia selalu tampil apa adanya dan penuh kesederhanaan. Ketika bertutur pun selalu mencirikan diri dalam dialeg ke-Buton-an. Persepsi lainnya yang melekat dalam diri Wali Kota Baubau dua periode ini adalah wataknya yang tak neka-neko. Para pejabat di daerah ini menyimpul kata untuk AS. Tamrin sebagai ‘orang tua’ khas Buton.
Mungkin karena kesederhanaan itu pula terkadang ia teranggap remeh dalam persepsi banyak orang. Hal itu disadarinya, namun mahfum dengan situasi itu. Pak Tamrin lebih memilih mengalah, dan hanya ingin memberi teladan melalui prilaku keseharian.
“Di Buton ini kita diwariskan falsafah sara pataanguna, ada filosofi saling menyayangi, saling memelihara, saling mengangkat, saling menghormati, dan toleransi. Saya ingin kita semua konsisten dengan warisan leluhur ini, dalam pikiran, tindakan, dan hubungan sosial kita antar sesama. Dalam disertasi doktoral saya mengangkat falsafah ini menjadi nilai yang saya sebut sebagai Po-lima,” ujar Wali Kota AS. Tamrin di acara bedah buku ‘Sejarah Buton – Labu Rope labu Wana” karya Prof. Susanto Zuhdi yang digelar Kamis kemarin (22/11) di Palagimata.
Ibarat seorang penenun, Pak Tamrin seolah memintal ‘faham’ ke-Buton-an di dalam dirinya. Ia ingin nilai-nilai luhur yang agung dan abadi dalam masyarakat Buton tak sekadar wacana dialektika belaka, tetapi merasuk dalam pikiran dan tingkah laku orang Buton, di manapun ia berada. Faham atau ‘fahamu’ dalam diksi masyarakat Wolio-Buton seolah menjadi diksi yang sulit diurai dalam dimensi harfiah, seibarat mengurai benag kusut kajian-kajian filsafat.
Ia juga sangat menyadari jika peristilahan Po-lima banyak diperdebatkan di masyarakat. Namun Pak Tamrin menampik jika itu upaya menggeser ‘sara pataaguna’ atau empat falsafah dasar masyarakat Buton yang disebut binci-binciki kuli, yang di dalamnya terdiri dari poangka-angkataka, pomaa masiaka, popia-piara, pomaa-maeaka, yang termaktub dalam kitab Martabat Tujuh
“Saya ini orang Buton asli, lahir di Keraton tak mungkin punya niat macam-macam. Saya ingin membumikan nilai-nilai ‘Sara Pataaguna’ ini dalam diri kita. Saya mengemasnya secara ilmiah dengan Po-lima itu. Intinya po-lima itu bukan untuk didiskusikan saja tetapi nilainya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari” ujar Pak Tamrin simple.
Pak Tamrin sangat memahami perbedaan cara berpikir itu bisa jadi karena persoalan perbedaan pandangan politik. “Kalau saya marimi kita sama-sama, menjaga dan membangun daerah ini. perjalanan politik sudah selesai, tugas kita adalah berikan energi positif agar Baubau bisa lebih baik lagi,” ujarnya.
Bicara politik kadang Pak Tamrin tersendak dalam berbicara. Banyak sekali hal yang menurutnya tak lazim ia terima. Cacian, hinaan, hingga kata-kata yang selayaknya tak pantas ia terima sebagai ‘orang tua’. Itu sebab ketika mengenang perjalanan politiknya, terkadang emosionalitas kejiwaannya tersentak. Matanya kadang sembab menahan air mata dan suaranya serak menahan tangis.
Dalam dimensi pandangan orang-orang yang dekat dengan Pak Tamrin, melihat tokoh ini sebagai sesuatu yang berbeda semata karena ketidak dekatan belaka. “Jika dekat, insha Allah akan memahami beliau, seperti apa beliau. Saya hanya ingin mengtakan jiwa Bapak Tamrin sangat tulus, sederhana, dan apa adanya,” ujar H. Idrus Taufiq Saidi, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Baubau.
Karakter kepemimpinan Pak Tamrin, juga agak terasa berbeda dengan banyak pemimpin lainnya. Ia sosok yang sangat percaya dengan mekanisme sistem yang ada. Mungkin karena ia birokrat tulen dari jalur instansi vertikal, dan purna bakti di ‘top golongan’ PNS, IV/e.
“Umumnya seperti itu, pemerintahan dari jalur vertikal sangat kuat dan percaya pada sistem yang ada. Karenanya ia sangat percaya dengan struktur-struktur dibawahnya dapat bekerja dengan maksimal, tentu dngan pengawasan dan evaluasi yang kuat,” imbuh Idrus Taufiq yang dikenal pula sebagai mantu ponakan dari Pak Tamrin.
Baca juga : Haji Boby, ketua tim Tampil Manis yang merakyat
Di awal tahun kepemimpinan periode keduanya, Pak Tamrin sepertinya lebih fokus pada keinginan meletakkan nilai-nilai kemanusiaan selalu hadir dalam jiwa masyarakatnya. Ia mempercayakan pengawasan pembangunan dan pemerintahan kepada wakilnya La Ode Ahmad Monianse, sementara pembinaan aparatur tentu kepada Sekdanya – Dr. Roni Muhtar, M.Pd.
Kini hidup Pak Tamrin tampak lebih bersahaja. Di kepalanya selalu melekat kopiah hitam petanda semangat nasionalismenya, di lain waktu ‘kampurui’ (penutup kepala khas Buton) menjadi kesehariannya dan tubuhnya selalu berbalut busana-busana khas Buton. Bukan soal fashion,. tetapi sebagai interaksi simbolik kecintaan pada negerinya.
Selamat ulang tahun ke-66 Bapak AS. Tamrin. Sehat selalu (ref)
Baca juga : Monianse Effect!