![]() |
Drs. H. Umar Abibu, saat dilantik sebagai P. Wali Kota Baubau 2001-2003, duduk berdampingan dengan Bupati Buton saat itu, Ir. LM. Sjafei Kahar. |
“....Pak Umar sadar, ia tak mungkin ‘melayani’ aspirasi dengan keterbatasan yang dimiliki. Ia merangkul sejumlah tokoh pemuda untuk bergabung ke dalam ‘forum kota’ lebih populer dengan nama Forkot yang dimotori Muh. Massad dan kawan-kawan. “Forkot sangat banyak berperan dalam membahas lahirnya Kota Baubau, bahkan saya berikan mereka ruang kerja dekat ruang kerja saya, agar semua bisa fokus” ujarnya....”
IRIT BICARA, tenang, adalah gaya komunikasi seorang Umar Abibu, kendati begitu ia terbilang pribadi terbuka ketika diajak berdiskusi tentang apa saja. Ia menjabat sebagai Wali Kota Adminitratif Bau-Bau di periode tahun 1999-2001, dan kemudian dipercaya Menteri Dalam Negeri RI ‘melanjutkan’ kepemimpinannya’ sebagai penjabat Wali Kota Baubau kurun waktu 2001-2003 tatkala kota ini resmi ‘naik status’ menjadi daerah otonom pada 21 Juni 2001.
Dalam meniti karir, Pak Umar terbilang sebagai pamong sejati, itu terlihat dari jalur pendidikan akademik dan penugasannya yang murni berada di jalur pemerintahan. Terlahir di Buton 9 November 1953 juga sebagai pentasbihan jika ia sosok putera daerah yang pantas mendapatkan posisi-posisi strategis karena kemampuan meramu ilmu pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya selama berkarir.
Suami dari Ny. Hj. Nur Fatmah dan ayah dari 4 (empat) orang putra-putrinya masing-masing; Nurachmad Umar, Mulyadi Umar,S.STP, Widyaningsih Umar, SH., dan Syamsul Qamar Umar, besar dari lingkungan keluarga disiplin dan juga ternama dari Pulau Tomia (Wakatobi). Bahkan kedua orang tuanya tak hanya dikenal sebagai sesepuh, tetapi juga ‘orang tua’ masyarakat entitas Tomia di Kota Baubau semasa hidupnya.
Umar kecil menamatkan pendidikan SD di Tomia tahun 1966, lalu melanjutkan pendidikannya di SMEP Negeri Baubau dan tamat di tahun 1969, begitu pula pendidikan SLTA-nya diselesaikan di SMEA Negeri Baubau tahun 1972, memberi gambaran jika penjabat pertama Wali Kota Baubau di tahun 2001 memang memiliki kemampuan dasar-dasar di bidang administrasi.
Tak berhenti sampai disitu, Umar remaja melanjutkan pendidikan kepamongan di APDN Makassar dan tamat tahun 1996, selanjutnya meneruskan di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta dan selesai tahun 1984. Merasa tak cukup dengan gelar sarjana pemerintahan, Pak Umar di sela-sela kesibukannya sebagai pejabat di Provinsi Sulawesi Tenggara kemudian melanjutkan studi program pascasarjana di Universitas Halu Oleo Kendari dan selesai tahun 2007.
Kepamongan Pak Umar memang tak perlu diragukan, sebab ia memulai karirnya memang dari dunia itu, ia pertama kali menduduki ‘job’ di tahun 1976-1977 sebagai Kepala Kantor Kecamatan Batauga, selanjutnya menduduki posisi Kasubag Perlengkapan dan Rumah Tangga di Setda Kabupaten dati II Buton tahun 1977-1979, sebelum ia akhirnya ‘dikirim’ ke Mawasangka sebagai Mantri Pol.PP selama 4 tahun hingga tahun 1983. “Saya jalani semua dengan penuh keihklasan, dan itu babak-babak awal kehidupan saya sebagai pamong,” katanya.
Dari Mawasangka, setitik cahaya terang sebagai seorang pemimpin mulai nampak setelah dipercaya sebagai Penjabat Camat Mawasangka tahun 1985-1986, dan kemudian menjadi camat defenitif di Batauga 1986-1989, Camat Wang-wangi 1989-1994 sembari merangkap sebagai pembantu bupati di periode yang sama, 1992-1994.
Dari kawasan kepulauan, tepatnya di Wangi-wangi, ia kembali ‘ditarik’ sebagai Kabag Umum Setda Buton, 1994-1996, dan selanjutnya naik eselon menjadi Asisten Administrasi Pembangunan 1994-1997 merangkap pula sebagai pelaksana Kabag Pembangunan tahun 1994. Dua tahun kemudian tepatnya periode 1996-1998 ia dipercaya sebagai pelaksana Kepala Dinas LLAJ Kabupaten Buton.
Menjadi Wali Kota
“Nasib orang siapa yang tahu”, itu mungkin yang ada dipikiran seorang Umar Abibu dalam menapaki jalan karirnya. Paling tidak ia tak membayang akan dipercaya negara sebagai kepala wilayah dengan status wali kota administratif apalagi wali kota.
“Suatu saat saya bertemu seorang kawan, dan mengatakan saya akan menjadi seorang wali kota, saya tidak kepikiran, sebab pada saat yang bersamaan sudah menjadi kepala dinas. Eh, benar, saya mendapat penugasan sebagai wali kota administratif. Tetapi bagaimanapun Wali kotif itu dibawah Bupati, jadi belum terlalu istimewa untuk ukuran sebagai kepala daerah” ungkap Umar saat ditemui di kediamannya, 12 Februari 2018.
Kepemimpinan Umar Abibu sebagai Wali Kota Adminstratif dijalaninya dengan penuh dinamika, sebab dimasanya angin reformasi telah menyeruak dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk aspirasi warga Baubau segera menjadi daerah otonom tersendiri, lepas dari Pemerintah Kabupaten Buton, sebagai induk yang membesarkannya selama ini.
Pak Umar sadar, ia tak mungkin ‘melayani’ aspirasi dengan keterbatasan yang dimiliki. Ia merangkul sejumlah tokoh pemuda untuk bergabung ke dalam ‘forum kota’ lebih populer dengan nama Forkot yang dimotori Muh. Massad dan kawan-kawan. “Forkot sangat banyak berperan dalam membahas lahirnya Kota Baubau, bahkan saya berikan mereka ruang kerja dekat ruang kerja saya, agar semua bisa fokus” ujarnya.
Singkat kata, usaha ini membuahkan hasil, 21 Juni 2001 keluar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Bau-Bau, ia pun di dalam diktum undang-undang tersebut, menjadi penjabat Walikota Bau-Bau, yang dijalaninya hingga tahun 2013.
Karir Pak Umar sebagai seorang kepala daerah, sekaligus masih aktif sebagai pegawai Negeri Sipil tak berhenti sampai di situ. Setelah memfasilitasi terpilihnya wali kota defenitif yakni pasangan Amirul Tamim – Ibrahim Marsela, ia kemudian ‘ditarik’ ke provinsi sebagai asisten ekonomi pembangunan Setda Provinsi Sulawesi Tenggara yang dijalaninya dari tahun 2003-2007.
Karirnya sebagai pejabata eselo II/a di level provinsi terus berkelanjutan menjadi Kepala Badan Penanaman Modal Daerah – Sultra selama dua tahun di 2005-2007, dan mendekatai masa pensiun sebagai kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sultra dari 2009-2012.
**
SEDERET perjalanan karir Pak Umar Abibu hingga masa pensiunnya tentu tak melulu di jalur birokrasi, ia juga dikenal sebagai sosok yang banyak berkiprah di dunia politik, khususnya di masa-masa Orde Baru yang memperbolehkan seorang PNS berada di ruang politik. Paling tidak, perjalanannya sebagai Komcat Golkar di Batauga, di Mawasangka, di Wangi-wangi pada kurun waktu 1976 – 1994, menjadi gambaran jika dirinya mengenal dunia politik sejak usia muda, bahkan pernah duduk sebagai unsur Pembina Golkar Baubau di tahun 2001-2003.
Saat ini, Pak Umar pun masih terlibat di politik, namun bergeser ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), sebagai wakil pakar majelis pakar wilayah Dewan Pimpinan Wilayah – PPP sejak 2011 hingga sekarang.
Di organisasi kepemudaan dan massa, Umar Abibu juga tercatat pernah menjadi Koordinator KNPI Batauga 1976-1977, menjadi Ketua KORPRI Mawasangka, 1980-1982, sebagai Keytua MPC Pemuda Pancasila Kota Baubau di tahun 2001-2003, Pembina ICMI Baubau, 2001-2003 dan Dewan Penyantun Universitas Halu Oleo, 2001 – 2002.
Rasanya tak lengkap jika mengurai perjalanan itu, tanpa menyebut cenderamata negara yang pernah diterimanya. Penerima Satya Lencana Karya 10 dan 20 tahun ini atas keteladanan dalam pengabdian dan jasa-jasanya kepada negara. Ia pun pernah diganjar sertifikitat ‘gold standard’ tingkat utama pada diklat penanggulanggulangan bencana tahun 2008, sekaligus memperoleh sertifikat Brevist Kualifikasi Gold untuk managerial penanggulangan bencana.
Pak Umar Abibu, begitu nama yang melekat padanya, tak pernah jumawa. Ia selalu terlihat rendah hati kepada siapa saja. Tak banyak ucapan terdengar jika tak penting, tetapi ia selalu menjadi pendorong semangat buat adik-adiknya. “Ia tak sekedar kakak, ia motivator sekaligus pelindung keluarga,” begitu ucapan Amalia Abibu, adik kandungnya yang saat ini juga berkiprah di Pemerintah Kota Baubau.** (ref)