Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Zawiyah, Pesantren masyhur Kesultanan Buton, dari Sultan Idrus, Kenepulu Bula, dan dua generasi penerusnya (Bagian-2)

Situasi Salat Jumat di Masjid Agung Keraton

BUTONMAGZ--Artikel ini masih kelajutan dari jurnal ilmiah dari Syarifuddin Nanti, Ahmad S. Sewang, dan Muzakkir dari Pascarsarjana UIN Makassar tahun 2018 berjudul ‘Pendidikan Islam di Zawiyah zaman Kesultanan Buton abad-19’. Namun fokus pada siapa tokoh pendiri zawiyah itu.  Begini ulasannya;

Keberadaan Zawiyah pada masa kesultanan Buton dimulai sejak awal abad XIX pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, ada juga yang menyebutkan bahwa Zawiyah dibangun di akhir abad XVII dan di awal abad XVIII yang didirikan oleh Sultan La Jampi yang bergelar Qāim al-Ḍīin Tua (1763-1788), merupakan kakek dari Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, namun bekas dan dokumen-domumen sejarah yang ditinggalkannya masih menjadi pertanyaan sampai sekarang ini.

Hal ini disebabkan, karena pada masa Sultan La Jampi memerintah kesultanan Buton, tradisi tulisan belumlah semasif pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Terkait itu di katakan oleh Imran Kudus, bahwa:

Zawiyah pada masa Sultan La Jampi bisa saja merupakan cikal bakal Zawiyah yang ada pada pemerintahan kesultanan Buton, karena di masa itu ajaran dan aliran tasawuf telah berkembang pesat, hanya saja Zawiyah yang didirikannya tidak meninggalkan karya-karya tasawuf sesuai dengan aliran pendirinya yang disinyalir beraliran tarekat Qadariyah oleh karena itu keberadaanya masih dipertanyakan.

Istilah Zawiyah pada hakekatnya dirujuk dari ajaran tasawuf yang menggambarkan pola pembelajaran kaum sufi berada di pojok-pojok masjid melakukan ritus berupa amalan-amalan zikir yang telah diberikan oleh mursyidnya untuk disemayamkan ke dalam lautan spritualisme batin sebagai jembatan perjumpaan antara sang hamba dengan Tuhannya.

Sementara itu, Zawiyah di masa kesultanan Buton identik dengan sebuah bangunan, awalnya untuk menyebarkan ajaran tasawuf sesuai dengan aliran pendirinya, namun dalam perkembangannya ajaran-ajaran fikih juga mendominasi dalam Zawiyah.

Penyebutan Zawiyah sebagai sebuah institusi selalu disandingkan dengan nama pendirinya, hal ini untuk membedakan antara Zawiyah yang satu dengan yang lainnya. terdapat 4 (empat) Zawiyah di masa kesultanan Buton yang dapat diidentifikasi sampai dengan penelitian ini di laksanakan (2018), yaitu: Zawiyah Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Zawiyah H. Abdul Ganiu (Kanepulu Bula), Zawiyah Muhammad Nuh (Kanepulu Bente), dan Zawiyah Sultan Muhammad Umar.

Pendirian Keempat Zawiyah tersebut, tidak secara pasti dijelaskan dan disebutkan dalam beberapa literatur dan wawancara yang dilaksanakan, hanya saja disinyalir, bahwa keempatnya didirikan pada awal abad ke-19 (sembilan belas) sebagaimana yang dikatakan oleh Imran Kudus bahwa “Zawiyah di Buton didirikan pada awal abad XIX pertama kali oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin”. 

Hal serupa dikatakan juga oleh La Ode Muhammad Anshari Idris dan H. La Ode Muhammad Kariu bahwa: ”Keberadaan Zawiyah pada masa kesultanan Buton di awal abad ke-19”. Karena diyakini bahwa dua tokoh utama (Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin dan H. Abdul Ganiu) merupakan ulama Buton yang hidup dalam masa yang sama, sementara Muhammad Nuh dan Sultan Muhammad Umar, merupakan keturunan dari dua figur tersebut.

Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin dan H. Abdul Ganiu, merupakan sosok pribadi yang akrab satu sama lain. Keduanya dikenal oleh masyarakat Buton tidak hanya sebagai tokoh politik, melainkan juga ulama yang kharismatik melahirkan karya-karya yang monumental, baik dalam bidang tasawuf, fikih, sastra maupun pemerintahan. Dengan adanya dua figur tersebut pemerintahan kesultanan Buton meraih puncak keemasannya pada abad ke-19.

Secara pasti tahun kelahiran dua figur tersebut tidak dinyatakan dengan jelas, namun diperkirakan lahir pada seperempat akhir abad ke-18 (kedelan belas). Hal itu diketahui karena Muhammad Idrus Kaimuddin memangku jabatan sultan pada tahun 1824 pada usianya sekitar 40 tahun(1824-1851). Sementara H. Abdul Ganiu menjabat sebagai kanepulu membantu Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, oleh sebab itu ia juga dikenal dengan kanepulu bula (suatu jabatan di pemerintahan Kesultanan Buton, bertindak sebagai penesehat sultan dan tuan hakim sara).

Muhammad Nuh (bergelar Kanepulu Bente) dan Sultan Muhammad Umar yang bergelar Qāim al-Dīn IV (1885-1906), keduanya juga merupakan figur ulama yang hidup dalam masa yang sama dengan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin dan H. Abdul Ganiu. Kendati demikian, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin merupakan pendiri awal Zawiyah di kesultanan Buton. Menyusul kemudian H. Abdul Ganiu, dan anak-anaknya yaitu Muhammad Nuh dan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imran Kudus bahwa:

Zawiyah didirikan untuk pertama kali oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, kemudian Haji Abdul Ganiu. Setelah itu Muhammad Nuh anak dari sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, dan terkahir Sultan Muhammad Umar. Muhammad Nuh adalah anak dari Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, dan Sultan Muhammad Umar adalah cucu dari H. Abdul Ganiu, dan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Ayah Sultan Muhammad Umar adalah anak dari H. Abdul Ganiu dan Ibu Sultan Muhammad Umar adalah anak dari Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin.


Lokasi keberadaan masing-masing Zawiyah tersebut berbeda-beda. Zawiyah Muhammad Idrus Kaimuddin terletak di dalam Benteng Badia sebelah barat, sementara Zawiyah H. Abdul Ganiu di pemakaman Baria sebelah selatan dari arah keraton Buton yang sekarang. Sedangkan Zawiyah Muhammad Nuh terletak di Daerah Wajo Kecamatan Murhum kota Baubau, tepatnya di Tanah Mandala atau Tanah Weta (suatu lokasi yang sering disebut oleh masyarakat setempat). Zawiyah Sultan Muhammad Umar, terletak di Kamali Bata di wilayah keraton Buton sekarang.

Keempat Zawiyah ini, masih dapat diidentifikasi jejak-jejak bangunannya sampai sekarang. Hanya saja, bangunannya tidak seutuh pada masanya, bahkan sudah menjadi puing-puing reruntuhan, kecuali Zawiyah H. Abdul Ganiu, bangunannya masih berdiri kokoh

Berdasarkan hal itu, maka Zawiyah pada masa kesultanan Buton, merupakan institusi pendidikan Islam yang tidak terikat dangan sistem hirarki dalam kekuasaan pemerintahan kesultanan Buton. Sebaliknya Zawiyah memberikan kontribusi secara tidak langsung dalam penyebaran ajaran Islam di kesultanan Buton, khususnya pemahaman tasawuf dan ajaran fikih yang kemudian memberi pengaruh terhadap hukum-hukum pemerintahan kesultanan Buton. Seperti martabat tujuh, falsafah pobinci-binci kuli yang keseluruhannya memuat nilai-nilai ajaran Islam. Bahkan memberi pengaruh terhadap penegakan syariat Islam pada pemerintahan Kesultanan Buton. LM Kariu mengatakan

“bahwa pada masa Kesultanan Buton pemerintahannya menjalankan syariat Islam”.

Hal serupa juga dikatakan oleh LM Anshari Idris, bahwa wajib hukumnya bagi laki-laki Muslim shalat lima waktu di Masjid”.Oleh karena itulah, pada masa pemerintahan kesultanan Buton, khususnya di masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin negeri ini dikenal juga dengan negeri khalīfah al-khāmis (khalifah kelima setelah para sahabat), disebabkan ketaatan masyarakat dan pemerintahannya menjalankan syariat Islam. (ref)

Posting Komentar

0 Komentar


Memuat...