Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Mengenal Zawiyah, ‘pesantren’ khas Kesultanan Buton yang pernah masyhur. (Bagian 1)

Suasana dan arsitektur interior Masjid Agung Keraton Buton di Baubau

Di sebelah barat, seputaran Masjid Agung keraton Buton di Kota Baubau terdapat bangunan tua yang tampak runtuh dan menua -berbaur dengan kawasan pemukiman. Sejarawan dan budayawan mengklaimnya sebagai eks bangunan zawiyah – era kekinian (mungkin) lebih disepantarkan dengan pesantren.

Sebuah jurnal ilmiah dari Syarifuddin Nanti, Ahmad S. Sewang, dan Muzakkir dari Pascarsarjana UIN Makassar tahun 2018 berjudul ‘Pendidikan Islam di Zawiyah zaman Kesultanan Buton abad-19’ dapat menjadi rujukan untuk memahami apa sebenarnya zawiyah itu.  Begini ulasannya;

ZAWIYAH di Buton Didirikan pada awal abad ke-19 (kesembilan belas) di masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin sampai masa Sultan Muhammad Umar (1824/1851-1885/1906 M). Terdapat empat Zawiyah pada masa kesultanan Buton, dibangun sesuai dengan nama pendirinya, yaitu Zawiyah Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Zawiyah H. Abdul Ganiu (Kenepulu Bula), Zawiyah Muhammad Nuh (Kanepulu Bente) dan Zawiyah Sultan Muhammad Umar (1885-1906 M). Pelaksanaan pendidikan Islam di Zawiyah bersifat tradisional dan sentralistik atau cenderung bersifat struktural.

Zawiyah pada masa kesultanan Buton merupakan hasil adopsi dari ajaran Islam yang di bawah oleh para sufi selama proses Islamsiasi dan diadaptasikan ke dalam masyarakat Buton untuk memahami ajaran Islam tersebut. Sebagai pusatpendidikan Islam pada saat itu, Zawiyah telah memberi warna dan corak tersendiribagi kehidupan masyarakat Buton. Hanya saja Zawiyah yang merupakan tempat bertemunya guru dan murid menimba ilmu pendidikan tentang ajaran-ajaran Islam masih berkutat pada masyarakat keraton saja.

Padahal wilayah kekuasaan kesultanan Buton meliputi wilayah Kadie dan Barata. Sehingga tidak semua masyarakat yang masuk dalam wilayah Kesultanan Buton menerima ilmu pendidikan Islam secara langsung di Zawiyah. Hal inilah yang membuat dikotomis pendidikan Islam pada saat itu bersifat idiologis stratifikasi sosial, dalam artian hanya para bangsawan yang memiliki garis keturunan raja (sultan), yakni kaumu dan walaka sementara kelas masyarakat biasa, yakni papara (rakyatjelata). dan batua (budak) tidak mendapatkan pendidikan Islam di Zawiyah.

Berdasarkan pandangan tersebut, maka ajaran-ajaran Islam di Zawiyah yang berkembang pada masyarakat Buton merupakan warisan turun-temurun yang digunakan dan dijadikan sebagai tradisi keilmuan pendidikan Islam. Meskipun ajarannya pada era kesultanan bersifat eksklusif, karena terjadi dikotomi yang bernuansa ideologi stratifikasi sosial. Namun pengaruh ajarannya dapat mengubah tradisi kepercayaan masyarakat Buton dan membentuk nilai-nilai keislaman, baik yang bersifat insidental maupun transidental. Seperti penetapan nilai-nilai Islam yang dituangakan dalam martabat tujuh sebagai undang-undang pemerintahan.

Untuk lebih menelusuri jejak Zawiyah, terlebih dahulu diuraikan makna Zawiyah itu sendiri. Secara etimologi Zawiyah berasal dari bahasa Arab, yaitu زَاوِيَّةُ “ ” yang berarti sudut, penjuru, atau pojok.2 Kata Zawiyah ( زَاوِيَّةُ ) memiliki akar kata zawa-yazwi ( زَوَي -ُ يَُزْوِي ) yang berarti menjauhkan, atau melarang, dan juga kata zawwa/tazawwa/inzawa ( زَوَّي \ُ تَُزَوَّي \ُ اُِنْزَوَي ) yang berarti mengasingkan diri kesudut, menyudut.

Kata ini digunakan oleh kaum sufi sebagai istilah yang menerangkan kegiatan pembelajaran yang dilakukannya. Zawiyah pada awalnya merujuk pada sudut bangunan, seringkali masjid, tempat sekelompok orang berkumpul untuk mendengarkan pengajaran seorang syaikh. Zawiyah seperti ini terdapat misalnya di Jami‟ al-Athiq yang dibangun oleh Amru bin al-Ash begitu ia menaklukkan Fusthath.

Pada Zawiyah ini ilmu fiqh seperti ilmu-ilmu yang lain sesuai dengan bidang syaikhnya merupakan bagian dari kegiatan pewarisan ilmu.  Zawiyah ini adalah bangunan yang lebih kecil dibandingkan dengan Khanqah (salah satu bangunan dikelola oleh para sufi).

Zawiyah adalah bangunan kecil yang sederhana, yang dipusatkan di seputar seorang syaikh, yang semula adalah tidak permanen karena sering syaikhnya adalah seorang pendatang. Pelembagaan Zawiyah sebagai model pendidikan Islam tidak secara jelas disebutkan dalam sejarah, hanya saja lembaga ini muncul sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari gelombang ajaran-ajaran sufisme yang berkembang dalam dunia Islam.

Zawiyah dibangun oleh seorang syaikh pada tarekat tertentu. Pembangunan ini diharapkan mampu memperbanyak anggota dari tarekat tersebut, karena bangunan ini lebih kecil dibanding dengan Khanqah maka ia tidak mempunyai seperangkat aturan yang jelas. Zawiyah di Mesir menjelang
penaklukan Turki Usmani dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu:

1.    Zawiyah tradisional yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa (Mamluk).
2.    Zawiyah yang lebh independent.

Khsusu zawiyah independent menjalankan fungsinya sebagai masjid dan Ribath, yaitu menyediakan fasilitas ibadah, makanan dan perlindungan bagi orang miskin. Contoh dari bagian kedua di atas adalah Zawiyah Syaikh Ibnu Riwam yang selalu menolak bantuan.

Zawiyah yang pada awalnya hanya berupa bangunan kecil, dalam perkembangannya menurut Fernandes dalam Donald P. Little menyebutkan bahwa banyak “bangunan Zawiyah yang berupa aula yang besar, sebagai tempat pertemuan para sufi. Kemegahan dan kebesaran bangunan Zawiyah ini ditentukan oleh kemashuran dari syaikhnya itu sendiri. Sehingga pendirian Zawiyah ini banyak dirikan oleh syaikh itu sendiri”. Syaikh yang telah wafat biasanya dimakamkan di Zawiyahnya yang akan menjadi tempat ziarah bagi para pengikut tarekatnya.

Jonathan Barkey menjelaskan bahwa Zawiyah merupakan institusi informal sebagai tempat berkumpulnya para Sufi yang dibimbing oleh seorang syaikh. Ia menyebutkan bahwa term Zawiyah ini lebih fleksibel, terkadang dikonotasikan sebagai pojokan sebuah masjid besar, tapi terkadang juga merujuk pada pojokan masjid kecil yang digunakan oleh para Sufi untuk beribadah dan melakukan riyāḍah” (latihan).

Berdasarkan pengertian di atas, maka Zawiyah dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan Islam yang kegiatan pembelajarannya bersifat sufistik, sesuai dengan ajaran pendirinya, mengutamakan nilai esoteris (batin) dari pada nilai eksetoris (lahir) sebagai bentuk latihan pengembangan diri dan pembentukan karakter menuju ma’rifat Allah yang sejati. (ref)

Posting Komentar

0 Komentar


Memuat...