![]() |
Perangkat Masjid Keraton Buton di Kota Baubau dan ornamen di dalamnya (foto : Ode Yusrie) |
BUTONMAGZ--Artikel ini masih kelajutan dari jurnal ilmiah dari Syarifuddin Nanti, Ahmad S. Sewang, dan Muzakkir dari Pascarsarjana UIN Makassar tahun 2018 berjudul ‘Pendidikan Islam di Zawiyah zaman Kesultanan Buton abad-19’. Namun fokus pada siapa tokoh pendiri zawiyah itu. Begini ulasannya;
Perkembangan tradisi pembelajaran tasawuf dan fikih di Zawiyah, telah mewarnai sejumlah pemikiran tentang konsep makrifat dan hakekat dalam kesultanan Buton masa lalu. Aspek yang paling menonjol adalah pada pemaknaan konsep fana’ dan baqa’, ẓikir, khalwat, murāqabah, maqāmat dan wahdah al-wujūd yang menjadi inti pembelajaran tasawuf di Zawiyah.
Tetapi tidak menjadi pertentangan antara ajaran tasawuf dan fikih di kesultanan Buton, seperti yang terjadi di daerah-daerah lain di Nusantara (sebutan Indonesia dulu). Hal itu ditandai dengan perhatian masyarakatnya pada pelaksanaan perbuatan lahiriyah, seperti ṣalat, puasa, zakat, dan haji, sebagaimana yang terungkap dalam tulisan sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang dikutip oleh Rahim Yunus bahwa “nikmat yang paling tinggi adalah saat melihat Tuhan dalam musyāhadah. Tetapi itu dapatdicapai setelah segala perintah Tuhan, seperti shalat, puasa, dan zakat dilaksanakan dan segala larangannya ditinggalkan”.
Ajaran-ajaran tasawuf dan fikih dikembangkan dan dipadukan di dalam Zawiyah. Fikih diajarkan di Zawiyah, sebagai fondasi awal untuk memasuki ajaran tasawuf, dan tasawuf menjadi jembatan untuk memasuki kedalaman inti ilmu hakekat atau dalam istilah para pendiri Zawiyah disebut dengan ilmu rahasia yang hanya dimililki oleh orang-orang tertentu.
H. Abdul Ganiu dalam La Niampe (2009) menyatakan ada tiga macam ilmu yang harus dipelajari oleh seorang murid, yaitu ilmu uṣūl dan fikih, ilmu tasawuf, dan ilmu hakekat atau ilmu rahasia. Berkenaan dengan ilmu rahasia H. Abdul Ganiu melantunkan dalam syairnya ajonga inda malusa
Menurut kedua tokoh tersebut, bahwa ajaran tasawuf, baik tarekat maupun teosofi bukan untuk diajarkan pada orang kebanyakan. Dalam artian mereka membedakan mana yang boleh dan tidak boleh menerima ajaran ini.
Pada perspektif ini terjadi pemahaman yang beragam dikalangan masyarakat Buton. Diantaranya ada yang menganggap bahwa ajaran tersebut hanya dapat diperuntukan oleh orang-orang yang ada di wilayah Keraton Kesultanan Buton, karena Zawiyah berada di dalamnya, sehingga golongan papara di Kadie yang berada di luar Keraton tidak berkenan untuk mendapatkan ilmu ini.
Sebagian juga ada yang menganggap bahwa pernyataan yang layak dan tidak layak mendapatkan ilmu tasawuf dalam syair tersebut, bukan antara orang luar dan orang dalam di wilayah Keraton melainkan orang-orang yang terpilih dalam proses pembelajaran di Zawiyah. Sehingga terkesan Zawiyah pada masa itu sangat bersifat eksklusif dalam pembelajarannya.
Berkenaan dengan hal itu LM Anshari Idris dan LM Kariu, dua penggiat kebudayaan Buton mengatakan bahwa “untuk mempelajari ilmu tasawuf yang ada di Zawiyah harus berumur 40 tahun, telah lulus ilmu fikih dan dipilih langsung oleh mursyidnya.
Perkembangan tradisi pembelajaran tasawuf dan fikih di Zawiyah, telah mewarnai sejumlah pemikiran tentang konsep makrifat dan hakekat dalam kesultanan Buton masa lalu. Aspek yang paling menonjol adalah pada pemaknaan konsep fana’ dan baqa’, ẓikir, khalwat, murāqabah, maqāmat dan wahdah al-wujūd yang menjadi inti pembelajaran tasawuf di Zawiyah.
Tetapi tidak menjadi pertentangan antara ajaran tasawuf dan fikih di kesultanan Buton, seperti yang terjadi di daerah-daerah lain di Nusantara (sebutan Indonesia dulu). Hal itu ditandai dengan perhatian masyarakatnya pada pelaksanaan perbuatan lahiriyah, seperti ṣalat, puasa, zakat, dan haji, sebagaimana yang terungkap dalam tulisan sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang dikutip oleh Rahim Yunus bahwa “nikmat yang paling tinggi adalah saat melihat Tuhan dalam musyāhadah. Tetapi itu dapatdicapai setelah segala perintah Tuhan, seperti shalat, puasa, dan zakat dilaksanakan dan segala larangannya ditinggalkan”.
Ajaran-ajaran tasawuf dan fikih dikembangkan dan dipadukan di dalam Zawiyah. Fikih diajarkan di Zawiyah, sebagai fondasi awal untuk memasuki ajaran tasawuf, dan tasawuf menjadi jembatan untuk memasuki kedalaman inti ilmu hakekat atau dalam istilah para pendiri Zawiyah disebut dengan ilmu rahasia yang hanya dimililki oleh orang-orang tertentu.
H. Abdul Ganiu dalam La Niampe (2009) menyatakan ada tiga macam ilmu yang harus dipelajari oleh seorang murid, yaitu ilmu uṣūl dan fikih, ilmu tasawuf, dan ilmu hakekat atau ilmu rahasia. Berkenaan dengan ilmu rahasia H. Abdul Ganiu melantunkan dalam syairnya ajonga inda malusa
Menurut kedua tokoh tersebut, bahwa ajaran tasawuf, baik tarekat maupun teosofi bukan untuk diajarkan pada orang kebanyakan. Dalam artian mereka membedakan mana yang boleh dan tidak boleh menerima ajaran ini.
Pada perspektif ini terjadi pemahaman yang beragam dikalangan masyarakat Buton. Diantaranya ada yang menganggap bahwa ajaran tersebut hanya dapat diperuntukan oleh orang-orang yang ada di wilayah Keraton Kesultanan Buton, karena Zawiyah berada di dalamnya, sehingga golongan papara di Kadie yang berada di luar Keraton tidak berkenan untuk mendapatkan ilmu ini.
Sebagian juga ada yang menganggap bahwa pernyataan yang layak dan tidak layak mendapatkan ilmu tasawuf dalam syair tersebut, bukan antara orang luar dan orang dalam di wilayah Keraton melainkan orang-orang yang terpilih dalam proses pembelajaran di Zawiyah. Sehingga terkesan Zawiyah pada masa itu sangat bersifat eksklusif dalam pembelajarannya.
Berkenaan dengan hal itu LM Anshari Idris dan LM Kariu, dua penggiat kebudayaan Buton mengatakan bahwa “untuk mempelajari ilmu tasawuf yang ada di Zawiyah harus berumur 40 tahun, telah lulus ilmu fikih dan dipilih langsung oleh mursyidnya.
Pernyataan ini pula didukung oleh teks Kabanti Ajonga Inda Malusa karya H. Abdul Ganiu yang mengisyaratkan bahwa yang layak untuk mendapatkan kebaikan hidup di dunai dan kemuliaan di akhirat adalah mereka yang beriman. persepsi orang beriman dalam kabantinya adalah mukmin, baik itu seorang bangsawan, maupun seorang hamba sahaya atau budak. Bangsawan dalam pemerintahan Kesultanan Buton adalah kaumu dan walaka sementara masyarakat biasa adalah papara dan budak adalah batua.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka materi-materi pembelajaran di Zawiyah pada masa kesultanan Buton dibagi kedalam dua unsur, yakni tasawuf dan fikih. Tasawuf menyangkut tarekat dan teosofi, sedangkan fikih menyangkut ibadah mahḍah dan muamalah, termasuk didalamnya ilmu sastra dan pemerintahan. (ref)
Baca Artikel sebelumnya : Zawiyah, Pesantren masyhur Kesultanan Buton, dari Sultan Idrus, Kenepulu Bula, dan dua generasi penerusnya (Bagian-2)