Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Redupnya ‘Korea’ di Baubau dan kilas tentang Bahasa Cia-cia



Di periode tahun 2009 hingga tahun 2013 lalu, aroma negeri gingseng Korea begitu terasa di sebuah kawasan di kecamatan Sorawolio Kota Baubau (Pulau Buton) Sulawesi Tenggara. Itu terjadi karena pemerintahan Baubau yang dipimpin Dr. H. Mz. Amirul Tamim di masa itu terbilang getol ‘menjual’ kawasan yang beretnik  Cia-Cia itu ke Korea.

Tak heran di wilayah itu ditemui sejumlah petunjuk jalan, sekolah, dan beberapa ornamen mengaitkan dua bahasa, yakni Indonesia dan Hanggel Korea, belum lagi pengiriman siswa, guru, masyarakat, hingga pejabat ke Korea untuk merintis ‘hubungan’ tersebut, bahkan sempat muncul tagline, Baubau-Seoul sebagai ‘friendship city’. Hasil pertemuan Wali Kota Amirul dengan Wali Kota Seoul di tahun 2010.

Makanya publik nasional selalu mengaitkan Baubau sperti kota lainnya di Indonesia dengan ungkapan, “Kalau Jawa Timur punya Pare sebagai Kampung Inggris, maka Sulawesi Tenggara punya Bau-Bau yang bisa disebut sebagai Kampung Korea”.

Waar saja, banyak pelaar terbiasa menggunakan Hangeul, aksara Korea, semenjak 2009. Selayaknya berada di Korea, jika berkunjung ke sana, maka Anda akan melihat berbagai papan penunjuk jalan yang ditulis menggunakan huruf Hangeul.

Kilas tentang Bahasa Ciacia
Bahasa Ciacia merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar masyarakat di bagian selatan Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahasa ini tergolong dalam kelas Austronesia, Melayu Polinesia, subrumpun Buton dan Muna.

Keunikan Bahasa Ciacia adalah kualitas bunyi dan perlambangan bunyi yang mirip dengan bahasa Korea. Merupakan salah satu bahasa yang dipakai oleh etnis Laporo, Burangsai, Wabula, dan Lapandewa. Walau begitu, belum ada kejelasan akan hubungan kesejarahan antara bahasa Ciacia dan Korea, selain memiliki sejumlah kesamaan kualitas bunyi bahasa dan perlambangan bunyi tersebut.

Disertasi Sandra Safitri Hanan, UGM, Genealogi Bahasa Ciacia menjelaskan awal mula penggunaan huruf Hangeul dalam penulisan Bahasa Ciacia bermula dari ”Simposium IX Pernaskahan Nusantara tahun 2005.” Seorang profesor dari Korea, Chun Thai Yun, setelah mengamati secara singkat, meyakini adanya kekhasan menarik dalam keanekaragaman linguistik di daerah tersebut. Penelusuran keistimewaan bahasa Ciacia sebagai bahasa yang unik terus ditindaklanjuti.

Bersama-sama dengan Prof. Hu Yung Lee dan Dr. Lee Konam dari Seoul University mereka melakukan penelitian singkat. Hasilnya, sebuah rencana afiliasi konstruktif untuk mentransformasi bahasa Ciacia ke dalam alfabet Hangeul, Korea. Gagasan itu kemudian diusulkan kepada pemerintah Bau-Bau, timbal baliknya, pemerintah Korea akan mempromosikan wilayah Baubau sebagai tujuan wisata negaranya.

Pada 2009, Walikota Bau-Bau, Amirul Tamim menyetujui hal ini dengan pertimbangan keuntungan ekonomis. Perjanjian tertulis pun dilakukan, Selanjutnya, melalui yayasan Hunminjeongeum, Dr. Lee Konam merilis di berbagai harian terkemuka Korea tentang kabar ini. Langkah-langkah afiliasi dianggap sebagai hal yang sangat cerdas hingga layak menjadi laporan utama banyak media massa, cetak maupun elektronik di Korea.

Sejarah Bahasa Ciacia
Seperti terpacak pada laman resmi UGM, Sandra Safitri Hanan, staf Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara dalam ujian promosi doktornya menjelaskan keragaman bahasa Ciacia yang berkembang di masyarakat Pulo Buton turut dipengaruhi oleh lokasi tutur bahasa. Terbagi dalam tiga wilayah administratif dengan dua wilayah diantaranya terpisah oleh laut.

“Wilayah tutur bahasa Ciacia di bagian selatan Pulau Buton mendapat pengaruh dari bahasa Busoa, Muna, dan Wolio.”

Sementara itu, bahasa Ciacia yang dipakai masyarakat di bagian timur Pulau Buton banyak mendapat pengaruh dari bahasa Lasalimu dan bahasa Kamaru. Sedangkan bahasa Ciacia yang digunakan masyarakat di Pulau Binongko mendapat pengaruh dari bahasa Wakatobi. Demikian pula dengan bahasa Ciacia di kecamatan Sorawolio, Kota Baubau mendapat pengaruh dari bahasa Wolio.

Dalam disertasi berjudul Genealogi Bahasa Ciacia, Sandra menjelaskan dari 23 isolek bahasa Ciacia dapat dikelompokkan ke dalam tiga dialek yaitu Masiri, Sambulalatawa, dan Kumbewaha. Satu dialek terdiri dari 21 isolek yang kemudian dikelompokkan menjadi enam subdialek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inovasi bahasa banyak dijumpai pada subdialek Sampolawa. Hal ini disebabkan adanya pengaruh bahasa-bahasa yang berdekatan dengan wilayah tutur yaitu bahasa Wolio dan Busoa. Sementara dialek inovatif adalah dialek Kumbewaha yang banyak dipengaruhi bahasa Lasalimu dan Kamaru.

Sandra menyampaikan, meskipun terpisah menjadi tiga dialek, antardialek dan subdialek masih dalam satu kesatuan hubungan kekerabatan. Selain itu, bahasa Ciacia juga diketahui memiliki hubungan erat dengan bahasa Muna-Buton. Posisi bahasa Ciacia dalam sub rumpun Muna-Buton berada di tengah-tengah karenanya tidak mengherankan jika ditemukan kesamaan realisasi makna bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa tersebut.

Diajarkan di Sekolah
Awalnya, sebelum afiliasi dengan huruf Hangeul, penulisan Bahasa Ciacia dilakukan dengan huruf Arab gundul. Di tahun 2009, setelah perjanjian dengan Korea dilakukan, pembelajaran huruf Hangeul dilakukan secara masif di Bau-Bau. Beberapa anggota masyarakat Bau-Bau dikirim langsung ke Korea untuk mempelajari huruf Hangeul guna kemudian disebarluaskan.

Para pengajar di Korea juga berupaya menemukan beragam alternatif singkat untuk mengajarkan Huruf Hangeul namun tetap dalam bahasa Ciacia. Dalam wawancara dengan media, salah satu masyarakat Baubau, Samsur Hanirnde, mengemukakan penggunaan huruf Hangeul dalam bahasa daerahnya itu malah memudahkan pelestarian bahasa Ciacia.

“Sebab logatnya sama, sebelum pakai Hangeul (mereka sebelumnya memakai Arab gundul) ada kata-kata yang tidak bisa dituliskan.”

Walau belum ada buku atau kamus khusus untuk mempelajari bahasa Ciacia dengan huruf Hangeul, proses pembelajaran dan perpaduan budaya Baubau-Korea berjalan dengan lancar. Sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA di daerah ini semua mengajarkan muatan lokal bahasa Ciacia dengan penulisan Hangeul. Setiap minggu, muatan lokal ini diajarkan selama dua jam dalam satu kali pertemuan

“Tapi Hangeul hanya dipelajari hanya di Kecamatan Sorowolio, Kelurahan Karyabaru, lainnya tidak. Yang perlu digarisbawahi, bahasa kami tetap bahasa asli Ciacia, hurufnya saja yang Hangeul.”

Itu dulu lima atau enam tahun lalu, sekarang tidak lagi, semuanya telah meredup, yang terisa hanya serpihan-serpihan papan dan tulisan hanggeul cat yang mengabur. Tak ada lagi aktivitas belaar Hangeul bersama-sama. Sepertinya hanya tinggal kenangan. Beberapa media televisi kepada Butonmagz mengatakan jika pihaknya kesulitan mendapatkan narasumber lagi. Entah kemana. (ref)


  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...