Persepsi mengalahkan Fakta!, itu kalimat yang sebenarnya tak banyak diketahui para suksesor di area pemilihan politik, tetapi cukup banyak digunakan dalam lakon-lakon politik. Karena persepsi-lah orang membangun citra, karena persepsi-lah publik bisa menilai dan memilih.
Sayangnya, tidak cukup banyak suksesor memahami bagaimana persepsi itu dibangun. Ketidakmampuan ini sebaliknya akan menghadirkan ‘perang opini’ yang berujung hadirnya peraga-peraga sosialisasi yang kemudian menjadi sampah-sampah politik di jalanan. Toh, jika membuat peraga sosialisasi, ia tak sekedar terpajang kemudian diterpa terik mentari dan dinginnya malam hari. Peraga sosialisasi seibarat tanaman hias yang terawat, terjaga, diperlakukan dengan baik, dan bahkan bisa menjadi hiasan perkotaan yang menarik pengunjung.

Sederhananya begini, fakta adalah pijakan awal membangun persepsi agar tidak terjadi pembohongan di panggung-panggung politik. Seseorang yang bertubuh gendut tentu tidak dapat dipersepsikan sebagai sosok yang langsing, sebab faktanya seperti itu. Di sini pentingnya memahami alur berpikir Teori Dramaturgi dari sosiolog Erving Goffman, tentang adanya panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage) setiap aktor.
Kendati demikian, pikiran Goffman tak selamanya menjadi kebenaran mutlak, sebab manusia bukan mahluk hitam dan putih. Ia juga memiliki kehidupan yang abu-abu. Sehingga penting juga memahami adanya panggung lain yang disebut panggung tengah. midle stage, istilah dosen saya – Lely Arriani yang juga seorang pengamat komunikasi politik di negeri ini.
Panggung tengah ini adalah ‘penyelarasan’ hidup antara persepsi dan fakta. Persepsi tentu sangat penting, tetapi fakta juga tak boleh diabaikan begitu saja. Permainan-permainan politik tentu tak boleh memberangus tatanan kehidupan manusia, tak boleh mengabaikan fakta yang terbungkus kebohongan-kebohongan. Harus ada garis penegasan diantara keduanya.
Lalu mengapa ada sematan ‘persepsi mengalahkan fakta’ di dalam politik? Ini tidak bermaksud membangun persepsi dengan mengabaikan halal-haramnya konstruksi politik. Justru fakta-lah yang dikemas dengan baik melahirkan pula persepsi yang baik. Sebab jika mengabaikan hal tersebut, maka suatu saat persepsi justru menjadi pembunuh politik yang kejam. Kenapa?
Atkinson (1997) mengingatkan kita jika persepsi adalah sebah bentuk proses, pengorganisasian dan penafsiran terhadap makna. Harus ada keberimbangan diantara ketiganya. Berkaitan dengan proses, berkaitan dengan kemampuan mengorganisir, dan kemampuan mengarahkan tafsir yang tepat. Jika salah memaknainya, maka lahirlah politik yang bersifat negatif.
Politik negatif ini kata filosof Prancis- Michel Foucault, tak akan bertahan lama, tidak boleh menekan, represif dan menguasai. Mengabaikan hal ini, di era ketika pengetahuan manusia yang semakin menguat, maka fakta tetaplah menjadi awalan berpikir, bagaimana persepsi itu di bangun. Dan karena fakta pula, seseorang bisa menjadi pribadi yang terpilih.**
-----------
Catatan kecil : Dr. Hamzah Palalloi, M.I.Kom - Analis Komunikasi Politik