--------------------------------------------------------------------
Oleh : Dr. Azhari, S.STP., M.Si - Rektor USN Kolaka
--------------------------------------------------------------------
Sebagai orang yang sekolah di bidang pemerintahan, dan menekuni kajian politik birokrasi, pro kontra seperti ini adalah lumrah. Lumrah dalam kajian umum studi kebijakan publik.
Satu lagi ini ciri maraknya politik komunal. Politik komunal yang mencirikan kuatnya tarikan kepentingan dan keterkaitan pribadi orang terhadap orang lain yg menjabat. Itulah yg dianalisis Gertz sebagai kesatuan karena darah, suku, agama dan almamater.
Dulu dosen saya bilang, ekonomi di suatu daerah itu dibagi dua besar saja membacany; satu ekonomi sektor publik, yaitu ekonomi yang digerakan oleh anggaran pemerintah. Kedua ekonomi privat yaitu ekonomi yang digerakan dari aktivitas masyarakat itu sendiri.
Lalu sebagai akademisi atau pembelajar di bidang kebijakan publik kita sudah bisa memahami, daerah dengan minus ekonomi privat - pasti akan berkorelasi dengan tingginya tingkat perhatian publik terhadap personal leader di daerah.
Entengnya, diskusi politik tentang orang yang menjabat sangat intens. Kenapa? karena banyak yang berharap dari remah bisnis yang dijalankan oleh public sector. Ya tadi, karena sektor wirausaha masyarakat tidak berjalan dengan baik. Kenapa tidak berjalan? karena proses kebijakan publik yang tertutup.
Saat ada orang mengkritisi kebijakan pemerintah, yang pertama dilihat dia siapa, orang mana, dia orangnya siapa? Maka orang-orang yang tadinya semangat untuk memberi masukan dianggap musuh karena apa? Karena tirani kepentingan atas akal sehat.
Sampai kapan kita begini terus? sampai kapan kita terbuai dengan situasi yang terbelakang ini? Sampai kapan akal sehat dan kecerdasan harus tunduk atas tekanan akal cerdik nan berduit? Duitnya juga tidak jauh-jauh sumbernya selain dari kecerdikan mengeruk APBD, dan SDA.
Kembali ke seleksi Sekrov. Apa yang salah dengan ibu Endang? Dia birokrat karier profesional yang rekam jejaknya jelas. Berproses dengan mekanisme seleksi yang jelas. Jangankan dia yang juga salah satu putri terbaik Sultra, orang luar Sultra atau bahkan orang luar negeri pun, kalau dia yang dipandang kapabel untuk mengurus birokrasi Sekprov Sultra, kenapa tidak?
Dia dipercaya oleh para selektor - berpuncak pada Presiden, bukan dipilih. Karena itu jabatan karier bukan pilihan. Persoalan dalam penentuan pilihan kepercayaan tersebut ada unsur subyektif para pemberi kepercayaan itu hal lain. Karena mekanisme yang disepakati begitu, ya begitu. Yang "pilih" dia untuk dipercaya, juga orang pilihan bukan asal asalan. Ini sudah janji politik, makanya kalau menerima janji harus jeli.
Menjanjikan bulan dan matahari kuberikan padamu juga bisa kukatakan kalau itu untuk mendapatkan cintamu, salahnya yang punya cinta buta, kenapa menerima gombalan tanpa berpikir logis.
Semoga kedepan kita bersepakat memilih karena orang yang kita pilih, kapabel dan menjaga marwah moral kepemimpinan, bukan karena janji untuk bagi-bagi. Pejanji sudah berusaha maksimal tetapi memang bukan seperti job lain yang penentu akhirnya adalah dia.
Ini penentu akhirnya, diatas dia. Dia yang juga bisa menghukum dia yang berjanji sekalipun. Mari kita edukasi masyarakat kita tentang janji karena ini mendekati musim bertaburannya lagi janji-janji.
Saya sebagai orang Indonesia kelahiran Sultra, dan bersuku bangsa salah satu suku di Sultra, akan welcome dengan suka-cita, bila gubernur, bupati, wali kota, hadir dari luar Sultra, dengan catatan memiliki road map yang jelas bagaimana membuat Sultra bangkit sejahtera dalam batas waktu 5 tahun menjabat.
Tentunya latar belakang pengalaman kariernya harus menjadi catatan jelas, sehingga dia bisa menjanjikan road map kesejateraan itu. Ukurannya harus jelas tahun pertahun. Bila tidak mampu, tidak perlu didemo, sadar diri saja, minggir - berikan kepada yang mampu.
Tetapi itu tamparan bagi kita kita yang lahir, sekolah, beranak dan makan tidur, tinggal matinya saja yang belum jelas, di bumi Sultra ini, atau dibumi lain. Kita permisif mengalah massal dengan pembodohan uang dan kapital yang dikuras atau hendak diproyeksikan untuk dikuras dibumi yang ditakdirkan kita terlahir dan dibesarkan.
Kita tumpulkan obyektifitas akal sehat kita karena takut tidak akan mendapatkan apa apa. Sementara kita mayoritas berkeyakinan bahwa rezki dan ajal urusan yang diatas. Tapi itu hanya ucap karena laku kita berlari bersebrangan dengan ucap kita.
Ciri daerah yang sulit berkembang - primordial tinggi, logika akal sehat dikesampingkan, kemampuan SDM dijadikan ukuran terakhir, bahkan yangg dijadikan ukuran adalah kemampuan mengorganisir, akal primordial, dan uang, serta kuasa untuk membungkam logika akal sehat yang terstruktur.
Sultra yang kaya SDA akan begini-begini saja dari periode ke periode. Pembangunan yg ditonjolkan tidak menyentuh akar persoalan utama. Mengapa rakyat meninggalkan profesi kelautan, profesi pertanian, peternakan.
Terkaget kaget saat dengar cerita tentang tambang. Mimpi milyar-milyar dari hasil menjual tanah tumpah darah. Sekarang hasilnya mana? Hampir semua yang dibangun sebagai monumen keberhasilan itu hasil anggaran APBD. Lalu cek APBD berapa porsi ABPD dari sektor PAD? Bukankah itu bukti kedangkalan dalam memandang pembangunan kesejateraan?
Sejahtera itu bukan bangunan mentereng yang biaya perawatannya saja masih harus menguras APBD lagi. APBD itu uang rakyat, bukan sejenis uang perusahaan apalagi uang pribadi. Itu harus maksimal dipakai untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk mengkalkulasi pembagian hasil untuk pribadi.
Sejahtera itu, rakyat kenyang, tabungannya berisi karena hasil laut, empang, kebun, dan peliharaan ternaknya bisa terjual maksimal dengan mudah dan layak; anak anaknya sekolah tanpa takut tak bisa bayar SPP.
Ini petani, peternak, nelayan di pesisir. Sayur, buah, ikan, telur ayam dan sapinya tidak bisa dijual layak karena jalan dan jembatan didesa, antar desa dan atar kabupaten hancur dibiarkan sebagai bukan prioritas oleh para pejabat hebat yang mungkin saja terlahir dari proses akal bulus.
Selamat Bu Endang, Anda top manajerial birokrasi bukan politik. Anda hanya peramu di belakang layar bukan penentu, sebaik apapun ramuan resep yang Anda sajikan kalau penentunya tidak peduli, tetap kemauan pejabat politik yang harus dijalankan olehmu. Karena demikian itulah yang biasa terjadi dalam birokrasi publik di daerah minus.
Penunjukan pejabat bukan karena jenjang karier; kemampuan akademis membuat ramuan strategis yang baik. Tetapi siapa dia, darimana, orangnya siapa. Apa untungnya kita kalau dia. Akhirnya birokrat karier yang hebat frustasi dan berlaku masa bodoh, yang penting aman.
Kita pun menyaksikan akrobat kebijakan para pembual miskin moral kepemimpinan, tapi kaya fulus yang entah kalau diadakan pembuktian terbalik atas asal usul fulusnya, sepertinya Rutan-Rutan tak akan cukup untuk menampung mereka.
Ibu Endang adalah pilihan kepercayaan tim penilai akhir seleksi jabatan struktural birokrasi tertinggi di negara ini. Buktikan Anda memang layak dipercaya oleh mereka sebagai jenderal para birokrat tertinggi di bumi Sultra.
Berikan perlindungan yang profesional bagi para pasukannmu. Saya tau itu berat, tapi bukankah itu harga atas kepercayaan yang disematkan kepadamu. Terima kasih, sukses selalu!