![]() |
Kawasan Muslim di Buton Tengah yang menjadi warisan peninggalan KH. Abdul Syukur Gu |
Sayangnya tak diperoleh foto beliau, sehingga kharismatiknya tak dapat tergambarkan dari raut wajah dan kesufiannya. Beliau hanya menyisa nama, sebagai seorang dari deret ulama Buton yang pernah ada. Hanya diperoleh gambar perkampungan Muslim di kawasan Buton Tengah, yang diwariskan KH. Abdul Syukur Gu.
Namun begitu, namanya tetap dikenang oleh banyak orang di Kepulauan Buton, apalagi anak-cucunya masih berdiam di daerah ini, setidaknya di Kota Baubau. Kharismatik pak Kyai Syukur, pun pernah terekam pada salah satu media nasional – Republika-, yang menulisnya dengan judul “KH Abdul Syukur Gu, Penjaga Islam di Buton Bagian Barat”, sebegitu kharismatiknya.
Kesultanan Buton zaman dahulu memiliki andil besar dalam proses Islamisasi wilayah di kawasan Sulawesi Tenggara. Salah satu peran yang besar adalah hadirnya para ulama Buton yang menyebarkan dakwah ke pulau-pulau terkecil di kawasan Kesultanan Buton.
Salah satu ulama yang cukup dikenal di kawasan Buton Tengah adalah KH Abdul Syukur Gu. Tokoh kelahiran Binongko, wilayah ujung timur kepulauan Buton (saat ini bagian dari Kabupaten Wakatobi) pada 1906 ini adalah penjaga akidah umat Muslim di kawasan Buton Tengah, khususnya daerah Gu dan Lakudo di Kabupaten Buton Tengah kini.
Awal karier dakwahnya di daerah Gu yang terkenal dengan animisme dan dinamisme itu berawal ketika ia pulang dari Tanah Suci Makkah. Berbekal ilmu agama yang ia pelajari selama berada di Tanah Hijaz tersebut, sosok yang gigih belajar ilmu agama sejak kecil itu berdakwah di Gu dan Lakudo. Aktivitas tersebut ia lakukan sembari berdagang sejak 1936. Begitu Republika mencatatnya.
Dari kedua daerah itu, Kyai Syukur lebih memilih dan memantapkan niat untuk menyebarkan Islam di kawasan Gu. Salah satu magnet kuat yang mendorongnya untuk berbagi ilmu agama di daerah tersebut ialah maraknya maksiat dan praktik syirik meski Islam telah lama masuk di daerah ini.
Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat Muslim Gu saat itu seperti pelita yang menerangi dan meluruskan kembali cahaya Islam di daerah ini. Ketika Islam telah lama dikenal, namun redup oleh gerusan pengaruh Hindu dan kepercayaan animis yang kuat.
Ia berusaha untuk menghidupkan kembali nilai Islam yang benar jauh dari praktik syirik dan keyakinan animisme. Jauh sebelum kedatangannya, Islam sebenarnya telah dianut seluruh orang Gu melalui Kesultanan Buton.
Namun, itu hanya pengakuan yang dalam praktiknya jauh dari nilai Islam. Di antara praktik keyakinan yang masih berbau animisme pada masa itu yakni masyarakat Gu sering melakukan ritual penyobekan kain putih. Sobekan tersebut kemudian diletakkan pada setiap sisi rumah dengan berbagai macam rupa bunga berbau semerbak, nasi kuning, dan potongan tembakau.
Hal itu diyakini sebagai pelindung rumah dan penghuninya dari segala mara dan bala seperti tulah penyakit. Dan masih banyak kepercayaan yang berbau syirik lain yang membuat masyarakat Gu jauh dari identitas Islam.
Penolakan
Meski niat awal berdakwah meluruskan Islam sempat mendapatkan penolakan dan penghinaan, bahkan konon ia sempat mendapatkan 'serangan' dari para pemuja ilmu hitam yang hendak menggagalkan misi dakwahnya. Namun, aral tersebut tak memberikan dampak yang berarti. Ia pun tetap konsisten berdakwah.
Pada 1945, KH Abdul Syukur akhirnya memutuskan untuk menetap di Gu untuk menjaga nilai Islam di Gu dan kawasan Buton Barat agar tetap pada ajaran yang lurus. Sejak saat itu, Gu pun dinisbahkan kepadanya sebagai KH Abdul Syukur Gu, seorang ulama pendakwah di kawasan Gu dan Buton Barat.
***
Membangun Masjid dan Peradaban
Pada 1946, setahun setelah Kyai Syukur menetap di Gu, ia membangun masjid bersama masyarakat. Masjid yang awalnya sangat sederhana itu kemudian menjadi pusat syiar dan dakwah Islam.
Usai shalat Maghrib dan Subuh berjamaah, tokoh yang pernah berguru ke sejumlah ulama Kesultanan Buton, seperti Haji Shiddiq, Haji Thayeb, dan Haji Abdul Halim ini menyampaikan pengajian.
Aktivitas tersebut mendapat respons positif dari masyarakat. Hingga saat ini, masjid yang lantas dinamakan dengan Masjid Nurul Huda KH Abdul Syukur Gu itu menjadi kebanggaan dan bagian penting dari sejarah Muslim Gu.
Masjid ini merupakan cikal bakal majunya peradaban Gu. Wilayah tersebut menjelma dari yang semula hanya kampung kecil, kini menjadi kampung yang makmur.
Pada 1965, sosok yang menimba ilmu ke Makkah pada 1924 di usia 38 tahun itu, mendirikan unit usaha seperti koperasi, dan mengenalkan sistem berdagang yang baik menurut agama Islam. Kelak, usaha yang kemudian bernama koperasi itu bernama KGM atau Koperasi Gu Makmur.
Pada 1967, ia juga mendirikan pula sekolah bagi guru agama. Pendidikan ini ia kembangkan dengan membuka madrasah ibtidaiyah atau setingkat sekolah dasar pada 1971. Kehadiran madrasah ini menjadi titik tolak munculnya lembaga formal di Gu dan sekitarnya.
Kyai Syukur mengembuskan napas terakhir di Kota Baubau pada hari ketiga Ramadhan 1396 H atau Jumat, 8 September 1975. Sosok yang pernah belajar ke KH Arsyad Banten selama berada di Makkah itu telah berhasil membawa Muslim Gu menuju peradaban yang lebih baik dan meninggalkan tradisi dan kepercayaan animisme. Ia dimakamkan di Kota Baubau, kota terbesar di seantero Kepuluan Buton. Jasa besarnya berdakwah dan membangun masyarakat Gu dan Buton Barat dikenang sepanjang masa. (ref)
Namun begitu, namanya tetap dikenang oleh banyak orang di Kepulauan Buton, apalagi anak-cucunya masih berdiam di daerah ini, setidaknya di Kota Baubau. Kharismatik pak Kyai Syukur, pun pernah terekam pada salah satu media nasional – Republika-, yang menulisnya dengan judul “KH Abdul Syukur Gu, Penjaga Islam di Buton Bagian Barat”, sebegitu kharismatiknya.
Kesultanan Buton zaman dahulu memiliki andil besar dalam proses Islamisasi wilayah di kawasan Sulawesi Tenggara. Salah satu peran yang besar adalah hadirnya para ulama Buton yang menyebarkan dakwah ke pulau-pulau terkecil di kawasan Kesultanan Buton.
Salah satu ulama yang cukup dikenal di kawasan Buton Tengah adalah KH Abdul Syukur Gu. Tokoh kelahiran Binongko, wilayah ujung timur kepulauan Buton (saat ini bagian dari Kabupaten Wakatobi) pada 1906 ini adalah penjaga akidah umat Muslim di kawasan Buton Tengah, khususnya daerah Gu dan Lakudo di Kabupaten Buton Tengah kini.
Awal karier dakwahnya di daerah Gu yang terkenal dengan animisme dan dinamisme itu berawal ketika ia pulang dari Tanah Suci Makkah. Berbekal ilmu agama yang ia pelajari selama berada di Tanah Hijaz tersebut, sosok yang gigih belajar ilmu agama sejak kecil itu berdakwah di Gu dan Lakudo. Aktivitas tersebut ia lakukan sembari berdagang sejak 1936. Begitu Republika mencatatnya.
Dari kedua daerah itu, Kyai Syukur lebih memilih dan memantapkan niat untuk menyebarkan Islam di kawasan Gu. Salah satu magnet kuat yang mendorongnya untuk berbagi ilmu agama di daerah tersebut ialah maraknya maksiat dan praktik syirik meski Islam telah lama masuk di daerah ini.
Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat Muslim Gu saat itu seperti pelita yang menerangi dan meluruskan kembali cahaya Islam di daerah ini. Ketika Islam telah lama dikenal, namun redup oleh gerusan pengaruh Hindu dan kepercayaan animis yang kuat.
Ia berusaha untuk menghidupkan kembali nilai Islam yang benar jauh dari praktik syirik dan keyakinan animisme. Jauh sebelum kedatangannya, Islam sebenarnya telah dianut seluruh orang Gu melalui Kesultanan Buton.
Namun, itu hanya pengakuan yang dalam praktiknya jauh dari nilai Islam. Di antara praktik keyakinan yang masih berbau animisme pada masa itu yakni masyarakat Gu sering melakukan ritual penyobekan kain putih. Sobekan tersebut kemudian diletakkan pada setiap sisi rumah dengan berbagai macam rupa bunga berbau semerbak, nasi kuning, dan potongan tembakau.
Hal itu diyakini sebagai pelindung rumah dan penghuninya dari segala mara dan bala seperti tulah penyakit. Dan masih banyak kepercayaan yang berbau syirik lain yang membuat masyarakat Gu jauh dari identitas Islam.
Penolakan
Meski niat awal berdakwah meluruskan Islam sempat mendapatkan penolakan dan penghinaan, bahkan konon ia sempat mendapatkan 'serangan' dari para pemuja ilmu hitam yang hendak menggagalkan misi dakwahnya. Namun, aral tersebut tak memberikan dampak yang berarti. Ia pun tetap konsisten berdakwah.
Pada 1945, KH Abdul Syukur akhirnya memutuskan untuk menetap di Gu untuk menjaga nilai Islam di Gu dan kawasan Buton Barat agar tetap pada ajaran yang lurus. Sejak saat itu, Gu pun dinisbahkan kepadanya sebagai KH Abdul Syukur Gu, seorang ulama pendakwah di kawasan Gu dan Buton Barat.
***
Membangun Masjid dan Peradaban
Pada 1946, setahun setelah Kyai Syukur menetap di Gu, ia membangun masjid bersama masyarakat. Masjid yang awalnya sangat sederhana itu kemudian menjadi pusat syiar dan dakwah Islam.
Usai shalat Maghrib dan Subuh berjamaah, tokoh yang pernah berguru ke sejumlah ulama Kesultanan Buton, seperti Haji Shiddiq, Haji Thayeb, dan Haji Abdul Halim ini menyampaikan pengajian.
Aktivitas tersebut mendapat respons positif dari masyarakat. Hingga saat ini, masjid yang lantas dinamakan dengan Masjid Nurul Huda KH Abdul Syukur Gu itu menjadi kebanggaan dan bagian penting dari sejarah Muslim Gu.
Masjid ini merupakan cikal bakal majunya peradaban Gu. Wilayah tersebut menjelma dari yang semula hanya kampung kecil, kini menjadi kampung yang makmur.
Pada 1965, sosok yang menimba ilmu ke Makkah pada 1924 di usia 38 tahun itu, mendirikan unit usaha seperti koperasi, dan mengenalkan sistem berdagang yang baik menurut agama Islam. Kelak, usaha yang kemudian bernama koperasi itu bernama KGM atau Koperasi Gu Makmur.
Pada 1967, ia juga mendirikan pula sekolah bagi guru agama. Pendidikan ini ia kembangkan dengan membuka madrasah ibtidaiyah atau setingkat sekolah dasar pada 1971. Kehadiran madrasah ini menjadi titik tolak munculnya lembaga formal di Gu dan sekitarnya.
Kyai Syukur mengembuskan napas terakhir di Kota Baubau pada hari ketiga Ramadhan 1396 H atau Jumat, 8 September 1975. Sosok yang pernah belajar ke KH Arsyad Banten selama berada di Makkah itu telah berhasil membawa Muslim Gu menuju peradaban yang lebih baik dan meninggalkan tradisi dan kepercayaan animisme. Ia dimakamkan di Kota Baubau, kota terbesar di seantero Kepuluan Buton. Jasa besarnya berdakwah dan membangun masyarakat Gu dan Buton Barat dikenang sepanjang masa. (ref)
0 Komentar