BUTONMAGZ--Di Pulau Buton, kehadiran bangsa Bugis telah berjajal abad. Kebudayaannya pun terpelihara bersanding dengan warga lokal. Apalagi Buton-Bugis dikenal 'suku bersaudara' sejak lama. Begitupun dengan kulinernya hampir sama dan ditemukan di kedua etnik ini. Itu sebagai di setiap kegiatan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan di Pulau Buton, bahkan di berbagai daerah lainnya di Nusantara, ada satu kuliner yang kerap menghadirkan suasana 'kampung halaman'. Namanya Barongko.
Barongko sepopuler dengan Coto Makassar dan Konro, dua panganan berkuah dari daging segar. Bedanya, Barongko panganan murni kue yang terbuat dari pisang.
Pada zaman dahulu barongko pisang tergolong makanan mewah dan hanya khusus disajikan bagi kaum bangsawan dari kerajaan-kerajaan Bugis. Umumnya raja-raja Bugis menikmati panganan yang berbahan pokok pisang ini sebagai makanan penutup. Kudapan ini hanya disajikan pada saat tertentu, seperti pernikahan dan upacara adat.
Barongko berwarna putih kekuningan, berbentuk segitiga dan dikemas secara tradisional dengan menggunakan daun pisang. Seperti bahan dasar sebagain besar kuliner lain di Sulawesi Selatan, bahan utama kue Barongko adalah pisang. Umumnya, pisang yang digunakan adalah jenis pisang kepok yang oleh masyarakat Bugis dikenal sebagai uttti loppo yang berarti pisang besar.
Pisang besar inilah yang kemudian dihaluskan lalu dicampur dengan bahan lainnya antara lain gula pasir, telur, santan kental, vanili, garam dan lainnnya. Setelah itu dibungkus dengan menggunakan daun pisang dengan pola segitiga tiga dimensi dan disemat dengan lidi, lalu dikukus. Setelah masak, ditunggu dulu beberapa saat barulah kue ini disajikan dalam keadaan dingin.
Meski terkesan sederhana dan mudah, namun kue ini jarang ditemui. Barongko baru muncul di acara-acara istimewa seperti sunatan, akikah, mappanre temme, atau pesta pernikahan. Pasalnya, di daerah asalnya pembuatan barongko tidak dilakukan dengan sembarangan. Barongko harus dibuat oleh orang yang sudah berpengalaman, agar rasa asli barongko tetap terjaga.
Di luar acara-acara istimewa tadi, ada satu momen dimana barongko selalu tersaji di rumah-rumah orang Bugis, yaitu saat bulan Ramadan tiba. Selain rasanya yang manis, lembut dan dingin, barongko juga dianggap aman untuk pencernaan dan menambah stamina. Karenanya tepat bila disajikan sebagai makanan pembuka setelah menjalankan puasa Ramadan sehari penuh. Rasa yang manis, teksturnya yang lembut dan juicy membuat siapapun yang mencicipi kue ini sulit untuk beranjak dan melupakan begitu saja cita rasa kelezatan yang khas dari barongko.
Selain itu, meskipun terlihat sederhana dan mudah cara membuatnya, namun kue barongko mempunyai nilai filosofis yang tinggi. Menurut sebagian besar masyarakat Bugis, barongko pisang tidak hanya dikerjakan dengan tangan-tangan terampil dan berpengalaman tetapi juga dibuat dengan hati. Hal ini sejalan dengan nilai filosofi tinggi yang terkandung di dalamnya.
Sebagian besar masyarakat Bugis menyebut barongko sebagai kue kejujuran. Bahan utama yang terbuat dari pisang dan kemudian dibungkus kembali dengan tanaman yang sama dengan bahan dasarnya (daung pisang) merepresentasikan kejujuran.
Maknanya, bahwa haruslah sama apa yang terlihat di luar dengan apa yang tersimpan di dalam diri kita. Hal ini tentunya mengajarkan kita bahwa apa yang diucapkan harus sama dengan apa yang dilakukan, dan apa dikerjakan harus sama dengan apa yang dirasakan. Makna lainnya adalah apa yang terpikirkan dan yang dirasakan haruslah selaras dengan tindakan yang dilakukan.
Karena nilai budayanya inilah maka kue tradisional barongko ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2017 oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, jika suatu saat anda merasa dikhianati atau merasa nilai kejujuran semakin memudar, ingat masih ada barongko "Si Manis-Lembut" khas Pinisi yang hingga sekarang masih tetap dipertahankan eksistensi rasa dan nilai filosofisnya. (K-SB)
Pada zaman dahulu barongko pisang tergolong makanan mewah dan hanya khusus disajikan bagi kaum bangsawan dari kerajaan-kerajaan Bugis. Umumnya raja-raja Bugis menikmati panganan yang berbahan pokok pisang ini sebagai makanan penutup. Kudapan ini hanya disajikan pada saat tertentu, seperti pernikahan dan upacara adat.
Barongko berwarna putih kekuningan, berbentuk segitiga dan dikemas secara tradisional dengan menggunakan daun pisang. Seperti bahan dasar sebagain besar kuliner lain di Sulawesi Selatan, bahan utama kue Barongko adalah pisang. Umumnya, pisang yang digunakan adalah jenis pisang kepok yang oleh masyarakat Bugis dikenal sebagai uttti loppo yang berarti pisang besar.
Pisang besar inilah yang kemudian dihaluskan lalu dicampur dengan bahan lainnya antara lain gula pasir, telur, santan kental, vanili, garam dan lainnnya. Setelah itu dibungkus dengan menggunakan daun pisang dengan pola segitiga tiga dimensi dan disemat dengan lidi, lalu dikukus. Setelah masak, ditunggu dulu beberapa saat barulah kue ini disajikan dalam keadaan dingin.
Meski terkesan sederhana dan mudah, namun kue ini jarang ditemui. Barongko baru muncul di acara-acara istimewa seperti sunatan, akikah, mappanre temme, atau pesta pernikahan. Pasalnya, di daerah asalnya pembuatan barongko tidak dilakukan dengan sembarangan. Barongko harus dibuat oleh orang yang sudah berpengalaman, agar rasa asli barongko tetap terjaga.
Di luar acara-acara istimewa tadi, ada satu momen dimana barongko selalu tersaji di rumah-rumah orang Bugis, yaitu saat bulan Ramadan tiba. Selain rasanya yang manis, lembut dan dingin, barongko juga dianggap aman untuk pencernaan dan menambah stamina. Karenanya tepat bila disajikan sebagai makanan pembuka setelah menjalankan puasa Ramadan sehari penuh. Rasa yang manis, teksturnya yang lembut dan juicy membuat siapapun yang mencicipi kue ini sulit untuk beranjak dan melupakan begitu saja cita rasa kelezatan yang khas dari barongko.
Selain itu, meskipun terlihat sederhana dan mudah cara membuatnya, namun kue barongko mempunyai nilai filosofis yang tinggi. Menurut sebagian besar masyarakat Bugis, barongko pisang tidak hanya dikerjakan dengan tangan-tangan terampil dan berpengalaman tetapi juga dibuat dengan hati. Hal ini sejalan dengan nilai filosofi tinggi yang terkandung di dalamnya.
Sebagian besar masyarakat Bugis menyebut barongko sebagai kue kejujuran. Bahan utama yang terbuat dari pisang dan kemudian dibungkus kembali dengan tanaman yang sama dengan bahan dasarnya (daung pisang) merepresentasikan kejujuran.
Maknanya, bahwa haruslah sama apa yang terlihat di luar dengan apa yang tersimpan di dalam diri kita. Hal ini tentunya mengajarkan kita bahwa apa yang diucapkan harus sama dengan apa yang dilakukan, dan apa dikerjakan harus sama dengan apa yang dirasakan. Makna lainnya adalah apa yang terpikirkan dan yang dirasakan haruslah selaras dengan tindakan yang dilakukan.
Karena nilai budayanya inilah maka kue tradisional barongko ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2017 oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, jika suatu saat anda merasa dikhianati atau merasa nilai kejujuran semakin memudar, ingat masih ada barongko "Si Manis-Lembut" khas Pinisi yang hingga sekarang masih tetap dipertahankan eksistensi rasa dan nilai filosofisnya. (K-SB)