Penelitian Walhi Sulawesi Tenggara, ditemukan sekitar 640.000 hektar hutan dikuasai tambang dan sawit. Konsesi tambang sekitar 600.000-an hektar dan 40.000-an hektar jadi kebun sawit, terluas pertambangan di Konawe Utara dengan 146 izin, disusul Kolaka dan Kolaka Utara. Untuk pembukaan lahan perkebunan terbesar di Konawe Selatan dan Konawe Utara.
Hutan Sulawesi Tenggara terus tergerus. Hutan pun terancam tak lagi berfungsi sebagai paru-paru dunia, sumber ekonomi warga, ‘rumah’ flora dan fauna, sampai tempat penyimpanan air. Kerusakan hutan di Sulawesi Tenggara (Sultra) terutama alih fungsi jadi bisnis ekstraktif seperti tambang dan perkebunan sawit.
“Soal jumlah pasti kami belum temukan. Karena data pemerintah juga berubah-ubah. Keterbukaan informasi soal ini juga minim,” kata Udin Lentea, Direktur Eksekutif Walhi Sultra.
Daerah lain yang turut menyumbang kerusakan hutan antara lain Kota Baubau dan Buton.
Yanuar Fanca Kusuma, Kepala Satgas Manggala Agni Daops Tinanggea, Konawe Selatan mengatakan, penyebab kerusakan hutan Sultra tak hanya bisnis ekstraktif juga tindakan masyarakat membakar hutan.
Sepanjang 2017-2018, katanya, ada 2.000 hektar hutan terbakar di Sultra, terbesar di Konawe Selatan, lalu Konawe, Kolaka dan Buton. Pembakaran hutan, katanya, untuk buka kebun dan perternakan.
Jenis hutan terbakar pun beragam, antara lain, suaka margasatwa, hutan lindung, cagar alam, hutan tanaman industri, sampai taman nasional. “Di semua lokasi ini kami menemukan titik-titik api,” kata Fanca.
Upaya penyadaran, katanya, terus dilakukan, mulai sosialisasi sampai mendatangi rumah-rumah yang diduga pelaku pembakaran.
Kebakaran beberapa wilayah ini, katanya, mengancam satwa terutama di Taman Nasional Rawa Aopa. “Ini karena pembukaan lahan baru, warga bercocok tanam,” katanya.
Kala memadamkan api, mereka melihat satwa-satwa mati terbakar. “Satwa hampir tiap saat kami temukan mati terbakar. Datanya kami belum rekap semua.”
Hutan Sulawesi Tenggara terus tergerus. Hutan pun terancam tak lagi berfungsi sebagai paru-paru dunia, sumber ekonomi warga, ‘rumah’ flora dan fauna, sampai tempat penyimpanan air. Kerusakan hutan di Sulawesi Tenggara (Sultra) terutama alih fungsi jadi bisnis ekstraktif seperti tambang dan perkebunan sawit.
“Soal jumlah pasti kami belum temukan. Karena data pemerintah juga berubah-ubah. Keterbukaan informasi soal ini juga minim,” kata Udin Lentea, Direktur Eksekutif Walhi Sultra.
Daerah lain yang turut menyumbang kerusakan hutan antara lain Kota Baubau dan Buton.
Yanuar Fanca Kusuma, Kepala Satgas Manggala Agni Daops Tinanggea, Konawe Selatan mengatakan, penyebab kerusakan hutan Sultra tak hanya bisnis ekstraktif juga tindakan masyarakat membakar hutan.
Sepanjang 2017-2018, katanya, ada 2.000 hektar hutan terbakar di Sultra, terbesar di Konawe Selatan, lalu Konawe, Kolaka dan Buton. Pembakaran hutan, katanya, untuk buka kebun dan perternakan.
Jenis hutan terbakar pun beragam, antara lain, suaka margasatwa, hutan lindung, cagar alam, hutan tanaman industri, sampai taman nasional. “Di semua lokasi ini kami menemukan titik-titik api,” kata Fanca.
Upaya penyadaran, katanya, terus dilakukan, mulai sosialisasi sampai mendatangi rumah-rumah yang diduga pelaku pembakaran.
Kebakaran beberapa wilayah ini, katanya, mengancam satwa terutama di Taman Nasional Rawa Aopa. “Ini karena pembukaan lahan baru, warga bercocok tanam,” katanya.
Kala memadamkan api, mereka melihat satwa-satwa mati terbakar. “Satwa hampir tiap saat kami temukan mati terbakar. Datanya kami belum rekap semua.”
![]() |
Komunitas lintas merdeka terdiri dari kelompok pemerhati lingkungan aksi penanaman 500 pohon berbagai jenis di Konawe Selatan periode 17 Agustus 2018. Foto: dokumen komunitas |
Aksi tanam pohon
Ada yang membabat hutan, ada juga yang menanam pohon seperti dilakukan kelompok pecinta lingkungan di Kota Kendari, Sultra. Mereka menyusur hutan dan mendaki bak napak tilas di Kabupaten Konawe Selatan, berjarak sekitar 20 kilometer dari kota.
Kegiatan ini dilakukan di hutan perbatasan antara Kecamatan Wolasi dan Kecamatan Konda, Konawe Selatan, selama empat hari mulai 16 Agustus-19 Agustus 2018. Kelompok pecinta lingkungan ini ada 15 orang dari lintas organisasi dan relawan di Kendari.
Kegiatan ini berlangsung sekaligus mengedukasi masyarakat sekitar hutan tentang penting menjaga hutan dengan menanam pohon. Ada sekitar 500 bibit ditanam pada 20 titik dalam proses napak tilas ini.
Cerita awal menyusuri hutan ini diinisiasi tiga orang, hingga meluas ke belasan orang yang terangkai momen Kemerdekaan RI.
Beberapa titik jadi lokasi penanaman seperti Pegunungan Wawonggalende, Wolasi berakhir di Desa Ambololi (sekarang Desa Alebo), Kecamatan Konda. Wilayah-wilayah ini dipilih karena jadi sasaran perambahan hutan. Sebagian hutan terbuka jadi kebun penduduk sekitar.
“Sumber bibit maupun dana kegiatan hasil swadaya anggota tim. Ada bibit durian, gaharu dan trambesi,” kata Abdul Wahab, koordinator.
Wahab bilang, di Puncak Wolasi mulai rusak. Tampak potongan-potongan kayu hasil pembalakan liar hulu Sungai Ambololi.
Kelompok ini berharap, kelak pohon ini bisa menjadi penunjang ekosistem. Selain itu bisa memulihkan kondisi hutan di Sultra yang rusak karena perambahan hutan, pembalakan liar, tambang sampai jadi kebun sawit. Mereka juga membuka kesempatan bagi yang ingin memberikan donasi buat gerakan tanam pohon ini. (kamaruddin dari mongabay)