KEPEMIMPINAN Amirul Tamim sebagai wali kota terus berlanjut di lima tahun kedua (2008-2013), Iaia menggandeng Drs. H.LM. Halaka Manarfa, mantan kompetitornya di periode pertama. Pasangan ini berakronim ‘Amirul-Hak’ dilantik 30 Januari 2008 di gedung Depdagri di Jakarta langsung oleh Menteri Dalam Negeri RI, H. Mardiyanto atas nama Presiden Susilo Bambang Yudhojono. Sempat terjadi penundaan pelantikan yang seharusnya 27 Januari 2008 karena wafatnya mantan Presiden RI, Jenderal TNI Soeharto.
Tampilnya pasangan Amirul-Hak, sebagai wali kota terpilih setelah memenangkan pertarungan di pemilihan wali kota- wakil wali kota secara langsung untuk pertama kalinya pada 2 Desember 2007 setelah mengungguli pasangan Samsu Umar Samiun, SH – Agus Feisal Hidayat, S.Sos, M.Si (Pamondo) dan pasangan H. Ruslimin Mahdi, SH – Hj. Wa Ode Mufrina, SE.
Tahun pertama kepemimpinan Amirul-Hak membawa ekspektasi besar bagi keberlanjutan pembangunan di kota ini, setidaknya nama LM. Halaka Manarfa sebagai tokoh yang mendampingi Amirul Tamim dianggap mampu meredam dinamika warga. Halaka ‘dipasang’ sebagai pengawas pembangunan, sekaligus peredam isu-isu perkotaan yang dianggap mengganggu kebijakan wali kota Amirul Tamim, khususnya dari elemen kampus. Maklum, Halaka dikenal dekat dengan kalangan itu.
Pasangan ini meletakkan visi misi pembangunannya terutama dalam hal peletakan dasar pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana dasar perkotaan. Selain itu, perkembangan yang nyata disamping pembangunan fisik (infrastruktur), juga dalam lingkup peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengelolaan informasi wilayah, iklim investasi dan sistem pelayanan publik. Sebagaimana terekam jika visi kepemimpinan Amirul-Hak yakni Terwujudnya Kota Baubau Sebagai Pusat Perdagangan dan Pelayanan Jasa Yang Nyaman, Maju, Sejahtera dan Berbudaya pada Tahun 2023”.
**
Pada 2 Pebruari 2008, Halaka Manarfa diperankan untuk melantik 12 kepala Sekolah dan pengawas sekolah di kota ini, dan dua hari kemudian untuk pertama kalinya pasangan Amirul-Hak memimpin rapat koordinasi dengan jajaran staf, menyatukan visi dan persepsi membangun Bau-Bau. Di sini, begitu tampak sekali Amirul Tamim benar-benar mempersiapkan Halaka sebagai penggantinya kelak dikemudian hari, apalagi Halaka dikenal pula sebagai tokoh yang getol memperjuangkan kelahiran provinsi baru, Buton Raya.
Upaya percepatan pembentukan provinsi Buton Raya (kini berganti dengan nama Kepulauan Buton) dikumandangkan dengan mengumpulkan 4 (empat) kepala daerah di kawasan ini pada 4 Mei 2008 di Palagimata, masing-masing; Ir. LM Sjafei Kahar (Bupati Buton), Mz. Amirul Tamim (Wali Kota Bau-Bau), Hugua (Bupati Wakatobi) dan Hazirun (mewakili Bupati Buton Utara) dan DPRD masing-masing daerah cakupan.
Di lain pihak percepatan pembangunan penunjang infrastruktur di Kota Bau-Bau juga semakin digenjot, seperti layanan hotspot internet dengan free area net yang di launching tepat di hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2008 sebagai penada lauching ini dilakukan wawancara langsung jarak jauh dengan sistem teleconfrence, dari kantor wali kota di Palagimata dengan lokasi ruang publik Pantai Kamali yang berada di pesisir pantai.
Di tahun 2008, beberapa peristiwa momentum di peroleh Kota Bau-Bau, seperti penganugerahan Lencana Satya karya untuk keberhasilan kota ini di bidang koperasi yang diterima wali kota dari Presiden RI yang dipusatkan di Gelora Bung Karno Jakarta pada 12 Juli 2008. Sepekan kemudian tepatnya 14-21 Juli 2008 digelar untuk pertama kaliya Festival Perairan Pulau Makassar (FPPM) yang dirangkaikan dengan Pencanangan Gerakan Revitalisasi dan Kawasan Pesisir; yang merupakan partisipasi aktif Bau-Bau dalam Visit Indonesia Years 2008.
Tampilnya pasangan Amirul-Hak, sebagai wali kota terpilih setelah memenangkan pertarungan di pemilihan wali kota- wakil wali kota secara langsung untuk pertama kalinya pada 2 Desember 2007 setelah mengungguli pasangan Samsu Umar Samiun, SH – Agus Feisal Hidayat, S.Sos, M.Si (Pamondo) dan pasangan H. Ruslimin Mahdi, SH – Hj. Wa Ode Mufrina, SE.
Tahun pertama kepemimpinan Amirul-Hak membawa ekspektasi besar bagi keberlanjutan pembangunan di kota ini, setidaknya nama LM. Halaka Manarfa sebagai tokoh yang mendampingi Amirul Tamim dianggap mampu meredam dinamika warga. Halaka ‘dipasang’ sebagai pengawas pembangunan, sekaligus peredam isu-isu perkotaan yang dianggap mengganggu kebijakan wali kota Amirul Tamim, khususnya dari elemen kampus. Maklum, Halaka dikenal dekat dengan kalangan itu.
Pasangan ini meletakkan visi misi pembangunannya terutama dalam hal peletakan dasar pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana dasar perkotaan. Selain itu, perkembangan yang nyata disamping pembangunan fisik (infrastruktur), juga dalam lingkup peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengelolaan informasi wilayah, iklim investasi dan sistem pelayanan publik. Sebagaimana terekam jika visi kepemimpinan Amirul-Hak yakni Terwujudnya Kota Baubau Sebagai Pusat Perdagangan dan Pelayanan Jasa Yang Nyaman, Maju, Sejahtera dan Berbudaya pada Tahun 2023”.
**
Pada 2 Pebruari 2008, Halaka Manarfa diperankan untuk melantik 12 kepala Sekolah dan pengawas sekolah di kota ini, dan dua hari kemudian untuk pertama kalinya pasangan Amirul-Hak memimpin rapat koordinasi dengan jajaran staf, menyatukan visi dan persepsi membangun Bau-Bau. Di sini, begitu tampak sekali Amirul Tamim benar-benar mempersiapkan Halaka sebagai penggantinya kelak dikemudian hari, apalagi Halaka dikenal pula sebagai tokoh yang getol memperjuangkan kelahiran provinsi baru, Buton Raya.
Upaya percepatan pembentukan provinsi Buton Raya (kini berganti dengan nama Kepulauan Buton) dikumandangkan dengan mengumpulkan 4 (empat) kepala daerah di kawasan ini pada 4 Mei 2008 di Palagimata, masing-masing; Ir. LM Sjafei Kahar (Bupati Buton), Mz. Amirul Tamim (Wali Kota Bau-Bau), Hugua (Bupati Wakatobi) dan Hazirun (mewakili Bupati Buton Utara) dan DPRD masing-masing daerah cakupan.
Di lain pihak percepatan pembangunan penunjang infrastruktur di Kota Bau-Bau juga semakin digenjot, seperti layanan hotspot internet dengan free area net yang di launching tepat di hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2008 sebagai penada lauching ini dilakukan wawancara langsung jarak jauh dengan sistem teleconfrence, dari kantor wali kota di Palagimata dengan lokasi ruang publik Pantai Kamali yang berada di pesisir pantai.
Di tahun 2008, beberapa peristiwa momentum di peroleh Kota Bau-Bau, seperti penganugerahan Lencana Satya karya untuk keberhasilan kota ini di bidang koperasi yang diterima wali kota dari Presiden RI yang dipusatkan di Gelora Bung Karno Jakarta pada 12 Juli 2008. Sepekan kemudian tepatnya 14-21 Juli 2008 digelar untuk pertama kaliya Festival Perairan Pulau Makassar (FPPM) yang dirangkaikan dengan Pencanangan Gerakan Revitalisasi dan Kawasan Pesisir; yang merupakan partisipasi aktif Bau-Bau dalam Visit Indonesia Years 2008.
Bintang Melati untuk Amirul, Darma Bakti untuk Halaka
Pada 14 Agustus 2008, wali Kota dan wakilnya memperoleh penghargaan di bidang pembangunan kepramukaan. Amirul Tamim dianugerahi Bintang Melati dari Presiden RI di Cibubur Jakarta. Penghargaan ini merupakan pertama kali diterima putra Sulawesi Tenggara secara nasional. Sementara Halaka Manarfa dianugerahi Lencana Darma Bakti di Bau-Bau, dalam posisinya sebagai Ketua Kwarcab Pramuka Cabang Bau-Bau.
Seperti sebuah puncak kejayaan, kreativitas pemuda di kota ini untuk terlibat mempromosikan daerahnya begitu menguat, sejumlah kelompok penyelam (diver) pada 17 Agustus 2008 ikut mengibarkan mengibarkan bendera Merah Putih di bawah laut tepatnya di perairan Pantai Nirwana Bau-Bau.
Memasuki periode kedua kepemimpinannya, Pak Amirul didampingi ‘wakil baru’, La Ode Halaka Manarfa. Juniornya sekaligus tokoh lokal yang amat harapkannya menjadi walikota Baubau pasca menyelesaikan tugasnya di tahun 2013. Karenanya, Ia begitu bersemangat, silih berganti keduanya turun ke lapangan.
Seperti sebuah puncak kejayaan, kreativitas pemuda di kota ini untuk terlibat mempromosikan daerahnya begitu menguat, sejumlah kelompok penyelam (diver) pada 17 Agustus 2008 ikut mengibarkan mengibarkan bendera Merah Putih di bawah laut tepatnya di perairan Pantai Nirwana Bau-Bau.
Memasuki periode kedua kepemimpinannya, Pak Amirul didampingi ‘wakil baru’, La Ode Halaka Manarfa. Juniornya sekaligus tokoh lokal yang amat harapkannya menjadi walikota Baubau pasca menyelesaikan tugasnya di tahun 2013. Karenanya, Ia begitu bersemangat, silih berganti keduanya turun ke lapangan.
Ada rasa haus untuk menumpahkan semua kekuatan pikiran dan cita-cita untuk menaikkan citra Baubau di kancah nasional. Karenanya pembangunan tak pernah berhenti berderu. Tak hanya itu sector non fisik terus menjadi perhatian, budaya, pendidikan, kesejarahan, kepariwisataan, teknologi informasi menjadi target-target kepemimpinan Pak Amirul dan Pak Halaka. Wajar kemudian, jika media-media massa nasional silih berganti ke kota ini, meliput segala relung ruang kehidupan warga Kota Baubau.
Perkempi, Tangis Halaka, dan Single Parent Kepemimpinan
Memasuki tahun 2009, nama besar Kota Bau-Bau terus menggema di seantero Nusantara, setelah kota ini dipercaya menjadi tuan rumah pelaksanaan Perkemahan Putri (Perkempi) Tingkat Nasional, yang merupakan kegiatan kepramukaan putri pertama di Indonesia, yang dipusatkan di Bumi Perkemahan (Buper) Samparona, Kecamatan Sorawolio Kota Bau-Bau, pada 17-24 Juli 2009.
Buper Samparona dibangun di atas lahan seluas kurang lebih 15 Hektar, didalamnya berdiri cikal raksasa dan sejumlah fasilitas penunjang seperti fasilitas perkemehan, MCK, wall climbing, hingga menara pandang yang dibuat dalam konstruksi berstandar nasional, dan dikelilingi hutan pinus yang menyejukkan. Buper ini merupakan lokasi perkemahan terbesar di Sulawesi Tenggara saat itu, dan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia.
Penyelenggaraan Perkempi yang pertama ini disejogjanya dibuka langsung Presiden SBY, namun kemudian diwakilkan kepada Ketua Kwartir Nasional, Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH, yang kemudian memberi dampak positif bagi infrastruktur di kota ini, seperti bantuan fasilitas pengaspalan jalan poros Bau-Bau-Sorawolio sepanjang 7 Km, dan perbaikan jalan di sekitar areal perkemahan.
Perkempi yang dihadiri sekitar 2.500 personil Pramuka dari Sabang sampai Marauke dan juga beberapa perwakilan negara-negara ASEAN sekaligus menjadi agenda promosi Kota Bau-Bau di level nasional. Karena itu event Festival Perairan Pulau Makassar (FPPM) 2009 juga duselenggarakan bersamaan dengan Perkempinas sebagai ‘suguhan’ bagi daerah. Karenanya kegiatan ini dikenang oleh peserta sebagai salah satu even nasional dari Pramuka yang berlangsung sangat sukses.
Sebulan setelah penyelenggaraan Perkempinas, duka menyelimuti Kota Bau-Bau setelah Wakil Wali Kota, H.LM. Halaka Manarfa, wafat dalam sakitnya di Jakarta, bersamaan dengan peringatan HUT Pramuka, 14 Agustus 2009. Halaka benar-benar menyimpan kenangan dan banyak cerita. Setidaknya ia sukses menjadi penyelenggara Perkempi Nasional dalam posisinya sebagai Ketua Kwarcab Kota Bau-Bau, sekaligus ketua penyelenggara di level regional Sulawesi Tenggara.
Halaka hanya mengemban tugas mulianya kurun waktu 19 bulan sebagai wakil wali kota. Namun begitu ia semasa kepemimpinannya dikenal sebagai ‘pelobi’ yang handal dalam mensukseskan pembangunan infrastruktur, mana kala terjadi unjuk rasa dari kelompok mahasiswa maupun masyarakat. Ia juga dikenal tak mau mencampuri tugas pokok wali kota, sebagaimana perbedaan berpikir anatara wali kota dan wakil walikota yang pernah terjadi sebelumnya.
“Tugas saya adalah wakil wali kota, saya tahu dimana saya bersikap dan menjalankan tugas yang diperintahkan wali kota. saya pun memberi saran diminta atau tidak. Tetapi yang harus diketahui saya selalu punya komitmen menjaga keharmonisan dengan kakanda Amirul,” papar Halaka usai pelantikannya pada 30 Januari 2008 di Jakarta.
Sebelum Halaka Wafat, ia masih rutin mengontrol sejumlah pembangunan infrastruktur saat itu, diantaranya pembangunan jaringan PDAM Bau-Bau, dimana saat itu dilakukan penyambungan kepada 1700 pelanggan dan pembuatan 34 Hidran Umum yang tersebar dalam wilayah perkotaan, dengan membagi 6 wilayah pelayanan; masing-masing; sumber air Baadia meliputi Kecamatan Murhum dan Betoambari (minus Waborobo dan Labalawa); mata air kasombu meliputi wilayah Kecamatan Wolio dan Kokalukuna (munus Pulau Makassar), wilayah Mata air Wamembe melayani kecamatan lea-lea (minus Palabusa) dan Pulau Makassar; wilayah IKK Bungi yang melayani semua wilayah Bungi dan wilayah IKK Sorawolio yang melayani Kecamatan Sorawolio.
“Tak hanya air bersih, fasilitas jalan, sarana pemerintahan dan tak ketinggalan peningkatan SDM kita terus genjot untuk menyeimbangkan pembangunan fisik dan non fisik,” ujar Halaka.
Kepergian Halaka Manarfa untuk selama-lamanya benar-benar menjadi duka Kota Bau-Bau. Walikota Amirul Tamim seperti enggan membicarakan siapa pengganti wakilnya itu. Benar-benar ia menjadi ‘single parent’ dalam membangun kota ini. Sebenarnya sempat mengemuka di publik tentang pengganti Pak Haji, nama populer LM. Halaka Manarfa. Beredar kabar saat itu jika penggantinya adalah kakak kandung Halaka yang saat itu duduk sebagai ketua DPRD, Wa Ode Maasra Manarfa. Namun entah mengapa, hingga berakhirnya masa jabatan di tahun 2013, tak ada pengganti Halaka sebagai wakil walikota.
Wali kota Amirul Tamim sendiri, dalam beberapa kesempatan hanya melontar sejumlah wacana, yang mengatakan jika Halaka Manarfa tidak ada duanya. Ia sosok yang benarbenar melekat dalam batinnya, tak hanya sebagai wakil tetapi juga sebagai ‘adik’ yang sangat memahami dirinya. Karena itu, hak-hak kenegaraan Halaka Manarfa sebagai wakil walikota tetap ia berikan kepada istri dan anak-anaknya, hingga beberapa waktu lamanya sesuai sengan mekanisme perundangan yang berlaku. Bahkan dalam pidato-pidato resminya, sebelum memulai acara, Amirul selalu meminta audiensnnya mendoakan almarhum LM Halaka Manarfa, kebiasaan yang dilakukannya hingga masa tugasnya berakhir di tahun 2014.
“Pak Halaka adalah salah satu tokoh lokal yang saya kagumi, beliau berkarakter dan gigih dalam memperjuangkan sesuatu,” begitu ungkapan Pak Amirul di HUT Pramuka Kota Baubau. Terasa ada suara serak mengalir dari mikrofon itu. Warga Baubau berduka, seorang pemimpin masa depannya, pergi tak kembali lagi. Ia hanya datang dalam semangat kegigihan, menghargai kemajemukan, dan cita-cita masa depan warga Baubau. “Selamat Jalan Pak Halaka”.
Perkempi, Tangis Halaka, dan Single Parent Kepemimpinan
Memasuki tahun 2009, nama besar Kota Bau-Bau terus menggema di seantero Nusantara, setelah kota ini dipercaya menjadi tuan rumah pelaksanaan Perkemahan Putri (Perkempi) Tingkat Nasional, yang merupakan kegiatan kepramukaan putri pertama di Indonesia, yang dipusatkan di Bumi Perkemahan (Buper) Samparona, Kecamatan Sorawolio Kota Bau-Bau, pada 17-24 Juli 2009.
Buper Samparona dibangun di atas lahan seluas kurang lebih 15 Hektar, didalamnya berdiri cikal raksasa dan sejumlah fasilitas penunjang seperti fasilitas perkemehan, MCK, wall climbing, hingga menara pandang yang dibuat dalam konstruksi berstandar nasional, dan dikelilingi hutan pinus yang menyejukkan. Buper ini merupakan lokasi perkemahan terbesar di Sulawesi Tenggara saat itu, dan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia.
Penyelenggaraan Perkempi yang pertama ini disejogjanya dibuka langsung Presiden SBY, namun kemudian diwakilkan kepada Ketua Kwartir Nasional, Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH, yang kemudian memberi dampak positif bagi infrastruktur di kota ini, seperti bantuan fasilitas pengaspalan jalan poros Bau-Bau-Sorawolio sepanjang 7 Km, dan perbaikan jalan di sekitar areal perkemahan.
Perkempi yang dihadiri sekitar 2.500 personil Pramuka dari Sabang sampai Marauke dan juga beberapa perwakilan negara-negara ASEAN sekaligus menjadi agenda promosi Kota Bau-Bau di level nasional. Karena itu event Festival Perairan Pulau Makassar (FPPM) 2009 juga duselenggarakan bersamaan dengan Perkempinas sebagai ‘suguhan’ bagi daerah. Karenanya kegiatan ini dikenang oleh peserta sebagai salah satu even nasional dari Pramuka yang berlangsung sangat sukses.
Sebulan setelah penyelenggaraan Perkempinas, duka menyelimuti Kota Bau-Bau setelah Wakil Wali Kota, H.LM. Halaka Manarfa, wafat dalam sakitnya di Jakarta, bersamaan dengan peringatan HUT Pramuka, 14 Agustus 2009. Halaka benar-benar menyimpan kenangan dan banyak cerita. Setidaknya ia sukses menjadi penyelenggara Perkempi Nasional dalam posisinya sebagai Ketua Kwarcab Kota Bau-Bau, sekaligus ketua penyelenggara di level regional Sulawesi Tenggara.
Halaka hanya mengemban tugas mulianya kurun waktu 19 bulan sebagai wakil wali kota. Namun begitu ia semasa kepemimpinannya dikenal sebagai ‘pelobi’ yang handal dalam mensukseskan pembangunan infrastruktur, mana kala terjadi unjuk rasa dari kelompok mahasiswa maupun masyarakat. Ia juga dikenal tak mau mencampuri tugas pokok wali kota, sebagaimana perbedaan berpikir anatara wali kota dan wakil walikota yang pernah terjadi sebelumnya.
“Tugas saya adalah wakil wali kota, saya tahu dimana saya bersikap dan menjalankan tugas yang diperintahkan wali kota. saya pun memberi saran diminta atau tidak. Tetapi yang harus diketahui saya selalu punya komitmen menjaga keharmonisan dengan kakanda Amirul,” papar Halaka usai pelantikannya pada 30 Januari 2008 di Jakarta.
Sebelum Halaka Wafat, ia masih rutin mengontrol sejumlah pembangunan infrastruktur saat itu, diantaranya pembangunan jaringan PDAM Bau-Bau, dimana saat itu dilakukan penyambungan kepada 1700 pelanggan dan pembuatan 34 Hidran Umum yang tersebar dalam wilayah perkotaan, dengan membagi 6 wilayah pelayanan; masing-masing; sumber air Baadia meliputi Kecamatan Murhum dan Betoambari (minus Waborobo dan Labalawa); mata air kasombu meliputi wilayah Kecamatan Wolio dan Kokalukuna (munus Pulau Makassar), wilayah Mata air Wamembe melayani kecamatan lea-lea (minus Palabusa) dan Pulau Makassar; wilayah IKK Bungi yang melayani semua wilayah Bungi dan wilayah IKK Sorawolio yang melayani Kecamatan Sorawolio.
“Tak hanya air bersih, fasilitas jalan, sarana pemerintahan dan tak ketinggalan peningkatan SDM kita terus genjot untuk menyeimbangkan pembangunan fisik dan non fisik,” ujar Halaka.
Kepergian Halaka Manarfa untuk selama-lamanya benar-benar menjadi duka Kota Bau-Bau. Walikota Amirul Tamim seperti enggan membicarakan siapa pengganti wakilnya itu. Benar-benar ia menjadi ‘single parent’ dalam membangun kota ini. Sebenarnya sempat mengemuka di publik tentang pengganti Pak Haji, nama populer LM. Halaka Manarfa. Beredar kabar saat itu jika penggantinya adalah kakak kandung Halaka yang saat itu duduk sebagai ketua DPRD, Wa Ode Maasra Manarfa. Namun entah mengapa, hingga berakhirnya masa jabatan di tahun 2013, tak ada pengganti Halaka sebagai wakil walikota.
Wali kota Amirul Tamim sendiri, dalam beberapa kesempatan hanya melontar sejumlah wacana, yang mengatakan jika Halaka Manarfa tidak ada duanya. Ia sosok yang benarbenar melekat dalam batinnya, tak hanya sebagai wakil tetapi juga sebagai ‘adik’ yang sangat memahami dirinya. Karena itu, hak-hak kenegaraan Halaka Manarfa sebagai wakil walikota tetap ia berikan kepada istri dan anak-anaknya, hingga beberapa waktu lamanya sesuai sengan mekanisme perundangan yang berlaku. Bahkan dalam pidato-pidato resminya, sebelum memulai acara, Amirul selalu meminta audiensnnya mendoakan almarhum LM Halaka Manarfa, kebiasaan yang dilakukannya hingga masa tugasnya berakhir di tahun 2014.
“Pak Halaka adalah salah satu tokoh lokal yang saya kagumi, beliau berkarakter dan gigih dalam memperjuangkan sesuatu,” begitu ungkapan Pak Amirul di HUT Pramuka Kota Baubau. Terasa ada suara serak mengalir dari mikrofon itu. Warga Baubau berduka, seorang pemimpin masa depannya, pergi tak kembali lagi. Ia hanya datang dalam semangat kegigihan, menghargai kemajemukan, dan cita-cita masa depan warga Baubau. “Selamat Jalan Pak Halaka”.
Wafatnya sang wakil membuat Pak Amirul menjadi ‘single parent’ kepemimpinan Pak Amirul. Ada yang meragukan jika kepergian Pak Halaka adalah ‘kelemahan’ kepemimpinannya di periode kedua. Ada kegelisahan sebagaian orang, bahwa kekuatan Pak Amirul akan melemah, hilang semangat, dan Kota Baubau akan bergerak melambat. Persepsi orang tentang kekuatan pasangan Amirul-Halaka adalah ‘power’ yang memberi spirit akan masa depan Kota Baubau.
Pak Amirul tak diam meski harus bekerja sendiri sebagai kepala daerah. Kota Baubau terus digerakkannya berdasrkan visi-misi kepemimpinannya. Baubau terus dipercantik. Targetnya sederhana, mempertahankan Baubau sebagai kota yang nyaman dan layak huni, mengupayakan sector ekonomi makro dan mikro terus bergerak. Pertamina hadir, Tambang Nikel terbuka, ekonomi pasar digerakkan, investasi juga digeliatkan dengan berfungsinya Bandar Udara Betoambari dengan rute perjalanan yang mendekatkan Baubau dengan kota-kota lainnya di Indonesia.
Kepemimpinan periode kedua Pak Amirul sepertinya menjadi ‘periode’ prestasi kepemimpinannya. Sejumlah penghargaan berlevel nasional diterimanya. Ia pun mendapat kehormatan untuk tampil sebagai pembicara berskala regional, nasional dan internasional. Di lewel internasional, Pak Amirul pernah tampil sebagai pembicara di Brussel, Belgia, Malaysia dan Seoul Korea Selatan, tentu seputar investasi dan potensi-potensi makro yang ada di Kota Baubau.
18 Oktober 2010, ‘nomenklatur’ Bau-Bau diubah menjadi Baubau
Sepeninggal LM. Halaka Manarfa, beberapa keputusan penting mewarnai perjalanan Kota Bau-Bau, salah satu diantaranya adalah keputusan Paripurna DPRD Kota Bau-Bau pada tanggal 16 Oktober 2010 di mana nomenklatur nama “Bau-Bau” yang menggunakan garis pemisah (-) diganti menjadii “Baubau”, tanpa garis pemisah.
Pengaturan ini terekam dalam Perda No. 2 tahun 2010 tanggal 18 Oktober 2010 tentang penetapan Hari Jadi Kota Bau-Bau dan perubahan nama Bau-Bau menjadi Baubau; yang menetapkan bahwa Hari Jadi Kota Bau-Bau adalah tanggal 17 Oktober atau 1542 Masehi. Penetapan tanggal 17 Oktober yang dimaksud adalah berdasarkan pada tanggal Undang-Undang Pembentukan Kota Bau-Bau sebagai Daerah Otonom tanggal 17 Oktober 2001, dan penetapan tahun 1542 yang dimaksud adalah berdasarkan pada tahun pelantikan Sultan Buton I, Murhum tanggal 1 Ramadhan 948 H atau 19 Desember 1542.
Sementara penulisan Bau-Bau berubah menjadi Baubau, adalah berdasarkan pada Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Pasal 6 Pelafalan Baubau menggunakan bunyi Bilabial Tanhambat Bersuara. Dengan demikian, sejak masa itu semua nomenklatur penulisan itu resmi menggunakan nama “Baubau”.
**
Sejak tahun 2010 dilakukan perubahan organisasi kewilayahan dalam Kota Baubau, yang sebelumnya terdiri dari 4 Kecamatan menjadi 8 Kecamatan dengan rincian sebagai berikut;
a. Kecamatan Betoambari yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Sulaa
2. Kelurahan Waborobo
3. Kelurahan Katobengke
4. Kelurahan Lipu
5. Kelurahan Labalawa
b. Kecamatan Bungi yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Ngkaring-Ngkari
2. Kelurahan Kampeonaho
3. Kelurahan Liabuku
4. Kelurahan Waliabuku
5. Kelurahan Palabusa
c. Kecamatan Kokalukuna yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Waruruma
2. Kelurahan Lakologou
3. Kelurahan Liwuto
4. Kelurahan Sukanaeyo
5. Kelurahan Kadolomoko
6. Kelurahan Kadolo
d. Kecamatan Murhum yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Wajo
2. Kelurahan Lamangga
3. Kelurahan Melai
4. Kelurahan Baadia
5. Kelurahan Tanganapada
e. Kecamatan Batu Poaro yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Kaobula
2. Kelurahan Lanto
3. Kelurahan Nganganaumala
4. Kelurahan Wameo
5. Kelurahan Bone-bone
18 Oktober 2010, ‘nomenklatur’ Bau-Bau diubah menjadi Baubau
Sepeninggal LM. Halaka Manarfa, beberapa keputusan penting mewarnai perjalanan Kota Bau-Bau, salah satu diantaranya adalah keputusan Paripurna DPRD Kota Bau-Bau pada tanggal 16 Oktober 2010 di mana nomenklatur nama “Bau-Bau” yang menggunakan garis pemisah (-) diganti menjadii “Baubau”, tanpa garis pemisah.
Pengaturan ini terekam dalam Perda No. 2 tahun 2010 tanggal 18 Oktober 2010 tentang penetapan Hari Jadi Kota Bau-Bau dan perubahan nama Bau-Bau menjadi Baubau; yang menetapkan bahwa Hari Jadi Kota Bau-Bau adalah tanggal 17 Oktober atau 1542 Masehi. Penetapan tanggal 17 Oktober yang dimaksud adalah berdasarkan pada tanggal Undang-Undang Pembentukan Kota Bau-Bau sebagai Daerah Otonom tanggal 17 Oktober 2001, dan penetapan tahun 1542 yang dimaksud adalah berdasarkan pada tahun pelantikan Sultan Buton I, Murhum tanggal 1 Ramadhan 948 H atau 19 Desember 1542.
Sementara penulisan Bau-Bau berubah menjadi Baubau, adalah berdasarkan pada Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Pasal 6 Pelafalan Baubau menggunakan bunyi Bilabial Tanhambat Bersuara. Dengan demikian, sejak masa itu semua nomenklatur penulisan itu resmi menggunakan nama “Baubau”.
**
Sejak tahun 2010 dilakukan perubahan organisasi kewilayahan dalam Kota Baubau, yang sebelumnya terdiri dari 4 Kecamatan menjadi 8 Kecamatan dengan rincian sebagai berikut;
a. Kecamatan Betoambari yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Sulaa
2. Kelurahan Waborobo
3. Kelurahan Katobengke
4. Kelurahan Lipu
5. Kelurahan Labalawa
b. Kecamatan Bungi yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Ngkaring-Ngkari
2. Kelurahan Kampeonaho
3. Kelurahan Liabuku
4. Kelurahan Waliabuku
5. Kelurahan Palabusa
c. Kecamatan Kokalukuna yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Waruruma
2. Kelurahan Lakologou
3. Kelurahan Liwuto
4. Kelurahan Sukanaeyo
5. Kelurahan Kadolomoko
6. Kelurahan Kadolo
d. Kecamatan Murhum yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Wajo
2. Kelurahan Lamangga
3. Kelurahan Melai
4. Kelurahan Baadia
5. Kelurahan Tanganapada
e. Kecamatan Batu Poaro yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Kaobula
2. Kelurahan Lanto
3. Kelurahan Nganganaumala
4. Kelurahan Wameo
5. Kelurahan Bone-bone
f. Kecamatan Sorawolio yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Kaisabu Baru
2. Kelurahan Karya Baru
3. Kelurahan Bugi
4. Kelurahan Gonda Baru
g. Kecamatan Wolio yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Bataraguru
2. Kelurahan Tomba
3. Kelurahan Wale
4. Kelurahan Batulo
5. Kelurahan Wangkanapi
6. Kelurahan Kadolokatapi
7. Kelurahan Bukit Wolio Indah
h. Kecamatan Lea-Lea yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Lowu-Lowu
2. Kelurahan Kolese
3. Kelurahan Kalia-lia
**
Peradaban Cia-cia ke Publik Internasional
Satu hal yang mungkin tak pernah lekang dari ingatan orang Cia-cia3 di negeri ini adalah nama suku ini telah terkenal di mancanegara khususnya Korea Selatan. Padahal jika dirunut-runut etnik Cia-cia bukanlah etnik dominan di Pulau Buton, dan tokoh-tokohnya pun tidak begitu popular dalam lintas nasional, terkecuali seorang Ali Mazi, SH mantan Gubernur Sultra 2003-2008 yang juga seorang lawyer di Jakarta, juga mantan Gubernur La Ode Hadi yang ibunya berasal dari etnik Cia-cia. Selebihnya publik Cia-cia hanya di kenal sebagai kaum perantau yang melintas pulau hingga Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Lainnya mereka menetap dan menyebar di seluruh penjuru Pulau Buton, dan hidup sebagai petani, peladang berpindah, nelayan dan sebagian diantaranya menjadi pegawai negeri dan swasta.
Cia-cia tentu tak bisa dilepaskan dalam spirit hidup orang Buton pada umumnya. Karenanya, Cia-cia juga menjadi bagian dalam cerita sejarah masa lalu hingga proses pembangunan dewasa ini. Namun siapa yang menyangka jika etnik ini popular di publik internasional khususnya Asia Timur, lebih khusus lagi di Korea Selatan, sebuah negara yang kini menjadi salah satu negara maju di dunia. Ketika Korea ‘sibuk’ mengalihkan perhatiannya ke Cia-cia, media asing pun membahasnya. Jepang, Inggris, Canada, Amerika tak luput mengirimkan jurnalisnya untuk melihat lebih jauh, seperti apa etnik Cia-cia itu. Sebagai bagian dari ‘orang Cia-cia’ saya merasakan kebanggaan tersendiri karena popularitas itu, setidaknya memberi semangat kepada generasi muda Cia-cia, bahwa kita punya nama, punya semangat, dan langkah besar untuk jauh lebih maju.
Tentu, entitas Cia-cia yang kini membahana di dunia internasional tak bisa dilepaskan dari peran central Pak Amirul sebagai Walikota Baubau yang begitu giat menjual sisi-sisi positif budaya dan keragaman Cia-cia. Karena etnik inilah kemudian terbangun rasa persaudaraan yang kuat dalam bentuk kerjasama ‘Friendship City’ antara Kota Seoul (Korea Selatan) dengan Kota Baubau (Indonesia). Ini tentu sebuah fenomena yang patut di cermati dari kepemimpian seorang bernama Pak Amirul Tamim, yang mampu menyandingkan nama Kota Baubau dengan sebuah kota metropolitan dunia bernama Kota Seoul.
Padahal, jika melihat kondisi Kota Baubau dalam lintas nusantara, kita harus mengakui bahwa Baubau hanyalah kota kecil yang belum bisa disederajatkan ‘powernya’ dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan Makassar. Tetapi pertanyaannya, mengapa kota ini mampu menjadi ‘kota saudara’ dengan Kota besar dunia seperti Seoul?.
Sekali lagi, sebagai bagian dari etnik Cia-cia, ada kebanggaan terbesit di sana, sebab Cia-cia-lah yang menjadi ‘nyawa’ dari proses lahirnya kerjasama antara Kota Baubau dengan Seoul, dan tentu kita tak bisa tutup mata jika Pak Amirul adalah figur di balik peran penting itu, peran yang tidak sekedar dimaknai sebagai tugas sebagai kepala daerah yang mampu mencermati dinamika warganya, tetapi juga Pak Amirul layak di apresiasi sebagai figur yang mengangkat harkat orang Cia-cia ke publik internasional. Saya berkata pada saudara-saudara saya etnik Cia-cia, “Sungguh sebuah kebaikan telah diberikan Pak Amirul pada orang Cia-cia, dan kita patut berterima kasih pada Pak Amirul”.
Tetapi semangat Pak Amirul ini tidak selalu berbuah manis. Kadang, karena semangat Pak Amirul ‘mengeksplore’ wilayahnya diapresiasi negatif oleh sebagian kalangan, bahkan jurnalis asing pun berpendapat seperti itu, mereka menganggap hal ini akan menggerus budaya dan bahasa Cia-cia itu sendiri. Kita tak bisa menyalahkan persepsi seperti itu, sebab mereka belum melihat jauh seperti apa manfaat dan nilai tambah yang diperoleh dari terobosan Pak Amirul terhadap publik Cia-cia yang berdiam di wilayah Kota Baubau.
Lepas dari suka atau tidak terhadap apa yang diperankan Pak Amirul dalam membawa nama Cia-cia ke publik yang lebih universal, satu hal yang menjadi catatan penting bagi generasi hari ini, bahwa pemimpin harus mampu menangkap setiap celah dari kehadiran setiap peluang. Seperti itu juga yang ditunjukkan oleh gaya kepemimpinan Pak Amirul terhadap mata rantai kehidupan orang Cia-cia. Mungkin masih dalam tataran minor, tetapi apa yang ditunjukkan oleh etnik Cia-cia di Sorawolio, adalah sebuah corak kepemimpinan ‘menangkap celah dan peluang’.
Kenapa saya sebut ‘kepemimpinan menangkap celah dan peluang?’ sebab mencuatnya Cia-cia ke publik internasional, berangkat dari sebuah pelaksanaan Simposium Pernaskahan Nusantara IX 5 Agustus 2005, dimana seorang Professor Korea Chun Tak Hyun menyempatkan hadir dan mencermati kondisi walayah Kota Baubau, termasuk ragam budayanya. Beberapa tahun kemudian datanglah kembali utusan darti negara korea yg dipimpin oleh Dr. Lee dan bertemu Walikota Baubau untuk meminta agar pihaknya bisa bekerjasama dalam penulisan salah satu bahasa di Baubau yang belum ada ejaannya.
Pak Amirul, menawarkan beberapa bahasa dan ketika menyebut bahasa Cia-cia, dengan spontan delegasi Korea menyetujui hal tersebut, meski belum mengenal banyak tentang etnik Cia-cia itu sendiri. Tawaran berupa bentuk kerjasama bahasa serta pengenalan huruf hanggul (ejaan Korea) menjadi celah untuk mengangkat Cia-cia ke lingkup yang lebih luas. Pikiran Pak Amirul amat sederhana, “Ini jalan untuk menjual Kota Baubau ke publik yang lebih luas, publk internasional,” katanya.
Banyak yang menanyakan bahkan membingkai dalam kacamata negatif, bahwa kerjasama budaya dan bahasa serta mengenalkan huruf Hanggul bagi pelajar dan etnik Cia-cia pada umumnya suatu saat bisa menghilangkan budaya Cia-cia itu, bahkan pihak pemerintah pusat pun mempertanyakan ‘strategi’ itu. Tapi Pak Amirul berpikir terbalik, baginya kerjasama ini adalah moment untuk menjual ‘Baubau’ pada ranah yang lebih luas lagi. Kekhawatiran tentang hilangnya budaya Cia-cia pada masa mendatang dianggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan. Pak Amirul bilang justru dengan kerjasama itu, orang akan makin giat untuk lebih mengenal budaya Cia-cia itu sendiri, lebih khusus pada generasi etnik ini.
Peluang yang di idamkan Pak Amirul mulai membuahkan hasil. Beberapa aparat dan pelajar serta tokoh masyarakat Cia-cia ‘berangkat’ ke Seoul secara berkesinambungan memenuhi undangan Pemerintah Korea Selatan. Mereka tidak sekedar belajar tentang bahasa dan budaya serta mengenal huruf hanggul, tetapi di sektor yang lebih luas, pertanian, perkebunan serta pendidikan formal menjadi ‘jatah’ warga Kota Baubau untuk bisa lebih meningkatkan pengetahuannya.
1. Kelurahan Kaisabu Baru
2. Kelurahan Karya Baru
3. Kelurahan Bugi
4. Kelurahan Gonda Baru
g. Kecamatan Wolio yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Bataraguru
2. Kelurahan Tomba
3. Kelurahan Wale
4. Kelurahan Batulo
5. Kelurahan Wangkanapi
6. Kelurahan Kadolokatapi
7. Kelurahan Bukit Wolio Indah
h. Kecamatan Lea-Lea yang terdiri atas beberapa kelurahan, yaitu :
1. Kelurahan Lowu-Lowu
2. Kelurahan Kolese
3. Kelurahan Kalia-lia
**
Peradaban Cia-cia ke Publik Internasional
Satu hal yang mungkin tak pernah lekang dari ingatan orang Cia-cia3 di negeri ini adalah nama suku ini telah terkenal di mancanegara khususnya Korea Selatan. Padahal jika dirunut-runut etnik Cia-cia bukanlah etnik dominan di Pulau Buton, dan tokoh-tokohnya pun tidak begitu popular dalam lintas nasional, terkecuali seorang Ali Mazi, SH mantan Gubernur Sultra 2003-2008 yang juga seorang lawyer di Jakarta, juga mantan Gubernur La Ode Hadi yang ibunya berasal dari etnik Cia-cia. Selebihnya publik Cia-cia hanya di kenal sebagai kaum perantau yang melintas pulau hingga Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Lainnya mereka menetap dan menyebar di seluruh penjuru Pulau Buton, dan hidup sebagai petani, peladang berpindah, nelayan dan sebagian diantaranya menjadi pegawai negeri dan swasta.
Cia-cia tentu tak bisa dilepaskan dalam spirit hidup orang Buton pada umumnya. Karenanya, Cia-cia juga menjadi bagian dalam cerita sejarah masa lalu hingga proses pembangunan dewasa ini. Namun siapa yang menyangka jika etnik ini popular di publik internasional khususnya Asia Timur, lebih khusus lagi di Korea Selatan, sebuah negara yang kini menjadi salah satu negara maju di dunia. Ketika Korea ‘sibuk’ mengalihkan perhatiannya ke Cia-cia, media asing pun membahasnya. Jepang, Inggris, Canada, Amerika tak luput mengirimkan jurnalisnya untuk melihat lebih jauh, seperti apa etnik Cia-cia itu. Sebagai bagian dari ‘orang Cia-cia’ saya merasakan kebanggaan tersendiri karena popularitas itu, setidaknya memberi semangat kepada generasi muda Cia-cia, bahwa kita punya nama, punya semangat, dan langkah besar untuk jauh lebih maju.
Tentu, entitas Cia-cia yang kini membahana di dunia internasional tak bisa dilepaskan dari peran central Pak Amirul sebagai Walikota Baubau yang begitu giat menjual sisi-sisi positif budaya dan keragaman Cia-cia. Karena etnik inilah kemudian terbangun rasa persaudaraan yang kuat dalam bentuk kerjasama ‘Friendship City’ antara Kota Seoul (Korea Selatan) dengan Kota Baubau (Indonesia). Ini tentu sebuah fenomena yang patut di cermati dari kepemimpian seorang bernama Pak Amirul Tamim, yang mampu menyandingkan nama Kota Baubau dengan sebuah kota metropolitan dunia bernama Kota Seoul.
Padahal, jika melihat kondisi Kota Baubau dalam lintas nusantara, kita harus mengakui bahwa Baubau hanyalah kota kecil yang belum bisa disederajatkan ‘powernya’ dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan Makassar. Tetapi pertanyaannya, mengapa kota ini mampu menjadi ‘kota saudara’ dengan Kota besar dunia seperti Seoul?.
Sekali lagi, sebagai bagian dari etnik Cia-cia, ada kebanggaan terbesit di sana, sebab Cia-cia-lah yang menjadi ‘nyawa’ dari proses lahirnya kerjasama antara Kota Baubau dengan Seoul, dan tentu kita tak bisa tutup mata jika Pak Amirul adalah figur di balik peran penting itu, peran yang tidak sekedar dimaknai sebagai tugas sebagai kepala daerah yang mampu mencermati dinamika warganya, tetapi juga Pak Amirul layak di apresiasi sebagai figur yang mengangkat harkat orang Cia-cia ke publik internasional. Saya berkata pada saudara-saudara saya etnik Cia-cia, “Sungguh sebuah kebaikan telah diberikan Pak Amirul pada orang Cia-cia, dan kita patut berterima kasih pada Pak Amirul”.
Tetapi semangat Pak Amirul ini tidak selalu berbuah manis. Kadang, karena semangat Pak Amirul ‘mengeksplore’ wilayahnya diapresiasi negatif oleh sebagian kalangan, bahkan jurnalis asing pun berpendapat seperti itu, mereka menganggap hal ini akan menggerus budaya dan bahasa Cia-cia itu sendiri. Kita tak bisa menyalahkan persepsi seperti itu, sebab mereka belum melihat jauh seperti apa manfaat dan nilai tambah yang diperoleh dari terobosan Pak Amirul terhadap publik Cia-cia yang berdiam di wilayah Kota Baubau.
Lepas dari suka atau tidak terhadap apa yang diperankan Pak Amirul dalam membawa nama Cia-cia ke publik yang lebih universal, satu hal yang menjadi catatan penting bagi generasi hari ini, bahwa pemimpin harus mampu menangkap setiap celah dari kehadiran setiap peluang. Seperti itu juga yang ditunjukkan oleh gaya kepemimpinan Pak Amirul terhadap mata rantai kehidupan orang Cia-cia. Mungkin masih dalam tataran minor, tetapi apa yang ditunjukkan oleh etnik Cia-cia di Sorawolio, adalah sebuah corak kepemimpinan ‘menangkap celah dan peluang’.
Kenapa saya sebut ‘kepemimpinan menangkap celah dan peluang?’ sebab mencuatnya Cia-cia ke publik internasional, berangkat dari sebuah pelaksanaan Simposium Pernaskahan Nusantara IX 5 Agustus 2005, dimana seorang Professor Korea Chun Tak Hyun menyempatkan hadir dan mencermati kondisi walayah Kota Baubau, termasuk ragam budayanya. Beberapa tahun kemudian datanglah kembali utusan darti negara korea yg dipimpin oleh Dr. Lee dan bertemu Walikota Baubau untuk meminta agar pihaknya bisa bekerjasama dalam penulisan salah satu bahasa di Baubau yang belum ada ejaannya.
Pak Amirul, menawarkan beberapa bahasa dan ketika menyebut bahasa Cia-cia, dengan spontan delegasi Korea menyetujui hal tersebut, meski belum mengenal banyak tentang etnik Cia-cia itu sendiri. Tawaran berupa bentuk kerjasama bahasa serta pengenalan huruf hanggul (ejaan Korea) menjadi celah untuk mengangkat Cia-cia ke lingkup yang lebih luas. Pikiran Pak Amirul amat sederhana, “Ini jalan untuk menjual Kota Baubau ke publik yang lebih luas, publk internasional,” katanya.
Banyak yang menanyakan bahkan membingkai dalam kacamata negatif, bahwa kerjasama budaya dan bahasa serta mengenalkan huruf Hanggul bagi pelajar dan etnik Cia-cia pada umumnya suatu saat bisa menghilangkan budaya Cia-cia itu, bahkan pihak pemerintah pusat pun mempertanyakan ‘strategi’ itu. Tapi Pak Amirul berpikir terbalik, baginya kerjasama ini adalah moment untuk menjual ‘Baubau’ pada ranah yang lebih luas lagi. Kekhawatiran tentang hilangnya budaya Cia-cia pada masa mendatang dianggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan. Pak Amirul bilang justru dengan kerjasama itu, orang akan makin giat untuk lebih mengenal budaya Cia-cia itu sendiri, lebih khusus pada generasi etnik ini.
Peluang yang di idamkan Pak Amirul mulai membuahkan hasil. Beberapa aparat dan pelajar serta tokoh masyarakat Cia-cia ‘berangkat’ ke Seoul secara berkesinambungan memenuhi undangan Pemerintah Korea Selatan. Mereka tidak sekedar belajar tentang bahasa dan budaya serta mengenal huruf hanggul, tetapi di sektor yang lebih luas, pertanian, perkebunan serta pendidikan formal menjadi ‘jatah’ warga Kota Baubau untuk bisa lebih meningkatkan pengetahuannya.
Kesimpulan kecil jika upaya Pak Amirul membawa nama Cia-cia ke publik internasional mmemiliki sejumlah manfaat, antara lain;
- Bahasa Ciacia akan terdokumentasikan dengan baik.
- Masyarakat ciacia akan dikenal dimana-mana dan pasti akan mendunia .
- Generasi muda Ciacia akan belajar dan pandai Berbahasa Korea, ini berarti peluang untuk mendapat lapangan kerja menjadi luas mengingat Korea adalah salah satu negara produsen di dunia.
- Point penting lainnya, masyarakat Ciacia dan umumnya masyarakat Baubau dan Buton lambat laun akan maju juga seperti Bangsa Korea, karena orang bijak berkata bahwa bangsa yang bakal maju adalah bangsa yang menerima keterbukaan, dalam arti berinteraksi dengan bangsa lain, belajar tentang hal-hal yang bisa memberi dampak yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (ref)