Puluhan lubang berlumut berumur kurang-lebih 377 tahun itu masih tampak jelas di sisi dinding Benteng Keraton Buton (Wolio), yang menghadap Pelabuhan Baubau, Buton. Bopeng berdiameter sekitar 30 sentimeter itu terbentuk dari hantaman peluru-peluru meriam. Tapi tak ada satu pun peluru yang mampu menembus dinding batu gunung setebal dua meter itu, apalagi membuatnya ambruk. Hanya, beberapa bagian dinding kini tertutup belukar dan rerumputan.
Mantan Sultan Buton, La Ode Muhammad Djafar, mengisahkan cerita ini pada Sahrul-wartawan dari Tempo beberapa tahun lalu. Ia mengisahkan, lubang-lubang di dinding benteng ini akibat serangan pasukan kolonial Belanda pada 1637. Saat itu yang menjabat Gubernur Jenderal Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) adalah Antonio van Diemen. Ia memerintahkan 700 tentaranya menyerang Benteng Keraton Buton berkali-kali, tapi selalu gagal.
"Benteng ini menyimpan makna sejarah," kata Djafar di istananya di Jalan Dr Wahidin, Kelurahan Wameo, Kecamatan Murhum, Kota Baubau. Benteng itu mulai dibangun oleh Sultan Buton III La Sangaji atau Sultan Kaimuddin (memegang takhta pada 1591-1597), tapi hanya berupa tumpukan batu yang mengelilingi pusat kesultanan.
Pada masa kekuasaan Sultan Buton IV, La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin (memerintah pada 1598-1615), tumpukan batu itu kemudian disusun lebih rapi. La Elangi merasa resah terhadap makin banyaknya bajak laut yang menyerang rakyatnya. Untuk menghalau serangan itu, ia memerintahkan prajuritnya membangun 16 baluara (rumah meriam) di sekeliling Bukit Wolio.
Pada masa Sultan Buton VI, La Buke atau Sultan Gafarul Wadudu (1632-1645), pembangunan benteng ini terjadi secara besar-besaran. Pada 1634, ia memerintahkan ribuan prajurit dan semua warganya membangun benteng besar dengan menghubung-hubungkan semua baluara menjadi satu rangkaian utuh. Arsitek pembangunan benteng ini adalah Sapati Maa Waponda. Ia mendesain bangunan benteng dengan dasar huruf "dal". Ternyata, ketika menyusun baluara itu, ia menemukan ada salah satu sudut yang tidak bisa dipertemukan karena berada di tebing yang sangat curam.
Benteng yang berada di Kelurahan Melai, Kecamatan Bentoambari, Kota Baubau, sekitar tiga kilometer arah timur Pelabuhan Baubau, itu kini menjadi tempat wisata populer di Sulawesi Tenggara. Apalagi, saat Festival Keraton Nusantara VIII pada beberapa waktu lalu, pengunjungnya mencapai ribuan.
Benteng Keraton Buton memiliki luas 22,8 hektare, panjang 2.740 meter, serta tinggi antara 2 dan 8 meter. Menurut Museum Rekor Dunia-Indonesia, benteng itu tercatat sebagai benteng terluas di dunia. Ia memiliki 18 sudut yang di setiap sudutnya terdapat menara pengawas. Benteng ini mempunyai 12 lawa (pintu).
Di dalam kawasan benteng terdapat 640 rumah panggung yang arsitekturnya masih asli warisan tempo dulu. Juga ada beberapa peninggalan sejarah lain, seperti batu Wolio, batu Popaua, Masjid Agung, makam Sultan Murhum, dan Istana Badia.
Pasukan Keraton Buton menjadikan benteng ini sebagai tempat perlindungan dari serangan musuh. Bahkan benteng yang juga dikenal sebagai kawasan seribu gua itu berfungsi sebagai tempat persembunyian yang aman. Raja Bone Arung Palakka salah seorang yang pernah membuktikan keefektifan benteng ini sebagai tempat bersembunyi. Dia adalah pelarian politik pertama ke Benteng Keraton Buton.
Kejadiannya sekitar 1666, ketika Arung Palakka menjadi buron Raja Gowa atau Makassar, Sultan Hasanuddin. Arung Pallakka dituduh membantu prajurit Belanda melawan Hasanuddin, termasuk menawan sekitar 5.500 anggota pasukan Bontomarannu. Berawal dari sini, Raja Gowa memburu Raja Bone itu sampai ke Buton.
Pasukan Gowa menghadap Sultan Buton, La Awu atau Sultan Malik Surullah (memerintah pada 1654-1664), karena mendapat kabar bahwa Arung Palakka berlindung di daerah kesultanan yang dipimpinnya. Sultan Buton menegaskan bahwa dia tidak pernah menyembunyikan Raja Bone itu.
Pogoso, menurut budayawan di Baubau, La Ode Munafi, adalah sumpah bibir pecah yang diyakini masyarakat Buton ampuh untuk menguji kebohongan seseorang. Sultan Buton memang tidak termakan sumpahnya karena Arung Palakka, yang bergelar Pangeran yang Berambut Panjang, bersembunyi di sebuah gua yang terletak di dinding tebing timur Benteng Keraton Buton, bukan di atas tanah Buton.
Namun sumpah pogoso tidak cukup buat Sultan Hasanuddin. Ia tetap meyakini Arung Palakka berada di Buton. Karena perlindungan yang diberikan Sultan Buton itu, Sultan Hasanuddin mengirim armada berkekuatan 20 ribu bala tentara untuk menghantam Buton. Tapi hasilnya tak berubah. "Dia (Sultan Hasanuddin) tetap gagal menemukan Arung Palakka," kata Munafi.
Pada masa modern, Buton tetap menjadi tempat berlindung yang aman bagi para pencari suaka politik. Munafi menjelaskan, ada banyak korban pertikaian antarwarga yang mengungsi ke Buton dari tempat asalnya. Misalnya korban peristiwa Ambon, pengungsi dari Papua, atau bahkan pengungsi dari Timor Timur pasca-referendum.
"Ketika berada di sini (Buton), mereka merasa damai dan aman. Dari sisi ini, Buton menjadi tempat interaksi sosial yang harmonis," ujar Munafi.
Sejarawan Universitas Indonesia, Profesor Susanto Zuhdi, mengatakan, dalam aspek sejarah, sebetulnya orang Buton (Butun) adalah sebuah komunitas masyarakat dan satu kerajaan. Sejarah menggambarkan bagaimana perjuangan mereka agar bisa bertahan dalam konteks ancaman yang datang dari arah kekuatan besar, yakni Kerajaan Gowa, Kesultanan Ternate, dan VOC.
Susanto menjelaskan, letak geografis Kesultanan Buton strategis karena berada di jalur pelayaran ke Kepulauan Maluku, tempat rempah-rempah dihasilkan. Baik Gowa maupun VOC memperebutkan pengaruhnya terhadap Buton untuk kepentingan perdagangan rempah-rempah ini. Kesultanan Ternate juga menjadi ancaman bagi Buton. Sebab, Ternate menyatakan Buton sebagai vassal (kerajaan yang membayar tribut kepada kerajaan besar lain sebagai pajak perlindungan).
"Dalam periode tertentu, Sultan Buton harus pandai memilih siapa kawan dan siapa lawan atau siapa sekutu dan siapa seteru," ujarnya.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI pada 25 Maret 2006, Susanto menguraikan, "Pola sekutu-seteru antara Kesultanan Butun dan VOC juga berjalan dalam abad ke-17 dan ke-18. Bagi Butun, VOC adalah sekutu menghadapi Gowa dan Ternate. Itulah sebabnya, pada saat kondisi aman telah tercapai, disebut ’Labu Rope Labu Wana’ (Telah Aman Berlabuh Haluan Berlabuh Buritan).
Rope (haluan) adalah kiasan untuk Gowa, sedangkan wana (buritan) adalah Ternate. Persekutuan Butun dengan VOC tidak selamanya juga. Ketika Sultan La Karambau berani melanggar kontrak yang telah dibuat oleh pendahulunya, Benteng Wolio diserang pasukan VOC pada 1755.
Adapun dalam konteks sebagai tempat berlindung di masa modern, menurut Susanto, sultan dan lembaga adat harus tetap mempraktekkannya. Benteng adalah tempat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
"Banyak konflik yang terjadi di berbagai daerah, seharusnya ada perwakilan dari lembaga adat Buton yang berperan menjadi juru damai di daerah konflik itu atau setidaknya untuk mereka yang datang ke Buton," dia menjelaskan. (sumber : Tempo)