Buton yang terdiri dari banyak pulau tidak otomatis menjadikan setiap wilayahnya memiliki pelaut ulung yang selama ini disegani. Hadara (2006) menyatakan bahwa para pelaut Buton yang selama ini disegani pada dasarnya adalah pelaut-pelaut yang berasal dari Kepulauan Tukang Besi. Hal tersebut dikarenakan pelaut Kepulauan Tukang Besi memiliki tiga keunggulan dan dua peran.
Tiga keunggulan pelaut ini yaitu memiliki kemahiran membuat perahu layar tradisional, keberanian berlayar di alam bebas, dan kemampuan menerima perkembangan teknologi pelayaran. Sementara itu, dua peran yang dimaksud adalah ikut menyebarluaskan Islam dan kebudayaan dalam pelayaran serta membantu perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Indoenesia.
Tulisan ini disadur dari jurnal ‘Mengenal pusat kebudayaan maritim, suku Bajo, Suku Bugis, Suku Buton, dan Suku Mandar di segitiga emas Nusantara” yang ditulis oleh Afid Nurkholis.
Pada tulisan ini terminologi ‘tukang besi’ berasal dari dua cerita pada zaman pendudukan Belanda (Hadara, 2006). Pertama, nama tersebut berasal dari seorang Belanda bernama Hoger yang melihat penduduk di Pulau Binongko membuat berbagai peralatan dari besi.
Kedua, istilah Tukang Besi berasal dari Raja Hitu, seorang tengkulak besi, yang para pengikutnya memberontak dan membunuh para sedadu Belanda di Pulau Wangi-Wangi ketika diasingkan dari Batavia.
Nama Tukang Besi secara resmi telah berganti menjadi Wakatobi pada tahun 2003. Pergantian tersebut dilakukan seiring pemekaran Kepulauan Wakatobi menjadi kabupaten yang terpisah dari Buton. Istilah Wakatobi merupakan aknronim dari nama-nama pulau besar yang ada, yaitu Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupam Pulau Tomia, dan Pulau Binongko (Gambar 4.1).
Tiga keunggulan pelaut ini yaitu memiliki kemahiran membuat perahu layar tradisional, keberanian berlayar di alam bebas, dan kemampuan menerima perkembangan teknologi pelayaran. Sementara itu, dua peran yang dimaksud adalah ikut menyebarluaskan Islam dan kebudayaan dalam pelayaran serta membantu perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Indoenesia.
Tulisan ini disadur dari jurnal ‘Mengenal pusat kebudayaan maritim, suku Bajo, Suku Bugis, Suku Buton, dan Suku Mandar di segitiga emas Nusantara” yang ditulis oleh Afid Nurkholis.
Pada tulisan ini terminologi ‘tukang besi’ berasal dari dua cerita pada zaman pendudukan Belanda (Hadara, 2006). Pertama, nama tersebut berasal dari seorang Belanda bernama Hoger yang melihat penduduk di Pulau Binongko membuat berbagai peralatan dari besi.
Kedua, istilah Tukang Besi berasal dari Raja Hitu, seorang tengkulak besi, yang para pengikutnya memberontak dan membunuh para sedadu Belanda di Pulau Wangi-Wangi ketika diasingkan dari Batavia.
Nama Tukang Besi secara resmi telah berganti menjadi Wakatobi pada tahun 2003. Pergantian tersebut dilakukan seiring pemekaran Kepulauan Wakatobi menjadi kabupaten yang terpisah dari Buton. Istilah Wakatobi merupakan aknronim dari nama-nama pulau besar yang ada, yaitu Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupam Pulau Tomia, dan Pulau Binongko (Gambar 4.1).

Sebenarya, gugusan kepulauan ini terdiri atas 33 pulau dimana 25 pulau belum dihuni manusia (Zuhdi dkk, 2009).
Penjelajahan Pelaut Tukang Besi
Penjelajahan para Pelaut Tukang Besi tidak hanya sebatas wilayah Nusantara. Mereka juga telah berlayar ke beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Deli, Filipina Selatan, Filipina Timur Australia Utara, dan Pakistan (Hadara, 2006). Penjelajahan ini mereka lakukan menggunakan perahu tradisional bernama lambo (gambar 4.2). Beberapa penjelajahan pelaut Tukang Besi yang membuat mereka disegani dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Perahu lambo merupakan hasil karya asli masyarakat Buton (Zuhdi dkk, 2009). Meskipun demikian, pembuatan lambo tetap menyerap pengetahuan dari barat. Perahu ini memiliki keunikan berupa penggunaan layar nade yang merupakan produk barat. Perahu Lambo mampu mengangkut barang hingga 300 ton. Lambo juga digadang-gadang menjadi pesaing Perahu Pinisi yang banyak digunakan oleh suku Bugis untuk berdagang.
Migrasi Masyarakat Buton
Orang Buton yang mencakup seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Wolio adalah salah satu pengelana laut yang termasyur seperti yang telah dijelaskan diatas. Faktor pendorong yang sering digunakan untuk menjelasakan hal tersebut adalah tanah yang kurang subur dan posisi geografis yang berada di jalur pelayaran antara Indonesia Timur dan Barat (Zuhdi dkk, 2009).
Indonesia Timur memiliki Maluku dan Papua yang menghasilkan hasil bumi berupa rempah-rampah dan kopra, sedangkan Indonesia Barat memiliki Jawa sebagai penghasil alat-alat dan kebutuhan rumah tangga. Pelaut Buton khususnya Tukang Besi berfungsi sebagai penghubung kedua daerah ini (Hadara, 2006). Oleh karena itu, orang Buton banyak tersebar dari Barat hingga Timur Indonesia.
Letak Buton yang secara geografis strategis, ternyata juga menimbulkan permasalahan. Kepulauaan Buton seringkali menjadi sasaran bajak laut (Wafren, 2002). Perampok ini berasal dari Tobelo dan kawasan Laut Sulu. Ancaman terhadap ketentraman masyarakat Buton ternyata tidak hanya berasal dari bajak laut. Letak goegrafis wilayah ini juga mengakibatkan Buton berada diantara pengaruh politik Kerajaan Gowa dan Ternate (Zuhdi dkk, 2009).
Duapermasalahan tersebut tentunya menjadikan penduduk Kepulauan Buton tidak aman, sehingga mereka banyak yang bermigrasi.
Migrasi yang dilakukan orang Buton memiliki pola yang dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan (Zuhdi, 2010). Pola Ternate cenderung menjadikan orang Buton menempati kedudukan tinggi. Hal ini dikarenakan telah adanya hubungan erat antar kesultanan.
Hubugan ini melibatkan masyarakat di Kulisusu Buton Utara yang mempunyai keahlian tertentu, sehingga dapat tinggal di lingkungan Keraton Ternate. Pola Ambon menempatkan mereka pada strata biasa. Orang Buton pada pola migrasi Ambon didominasi oleh masyarakat Kepulauan Wakatobi.
Orang Wakatobi yang bermigrasi ini awalnya membuka wilayah baru di Teluk Ambon dengan nama Kampuung Tomea. Aktivitas mereka sangat beragam dari pekerja kasar, penjual toko kelontong, dan hasil bumi berskala kecil. (ref)
Migrasi Masyarakat Buton
Orang Buton yang mencakup seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Wolio adalah salah satu pengelana laut yang termasyur seperti yang telah dijelaskan diatas. Faktor pendorong yang sering digunakan untuk menjelasakan hal tersebut adalah tanah yang kurang subur dan posisi geografis yang berada di jalur pelayaran antara Indonesia Timur dan Barat (Zuhdi dkk, 2009).
Indonesia Timur memiliki Maluku dan Papua yang menghasilkan hasil bumi berupa rempah-rampah dan kopra, sedangkan Indonesia Barat memiliki Jawa sebagai penghasil alat-alat dan kebutuhan rumah tangga. Pelaut Buton khususnya Tukang Besi berfungsi sebagai penghubung kedua daerah ini (Hadara, 2006). Oleh karena itu, orang Buton banyak tersebar dari Barat hingga Timur Indonesia.
Letak Buton yang secara geografis strategis, ternyata juga menimbulkan permasalahan. Kepulauaan Buton seringkali menjadi sasaran bajak laut (Wafren, 2002). Perampok ini berasal dari Tobelo dan kawasan Laut Sulu. Ancaman terhadap ketentraman masyarakat Buton ternyata tidak hanya berasal dari bajak laut. Letak goegrafis wilayah ini juga mengakibatkan Buton berada diantara pengaruh politik Kerajaan Gowa dan Ternate (Zuhdi dkk, 2009).
Duapermasalahan tersebut tentunya menjadikan penduduk Kepulauan Buton tidak aman, sehingga mereka banyak yang bermigrasi.
Migrasi yang dilakukan orang Buton memiliki pola yang dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan (Zuhdi, 2010). Pola Ternate cenderung menjadikan orang Buton menempati kedudukan tinggi. Hal ini dikarenakan telah adanya hubungan erat antar kesultanan.
Hubugan ini melibatkan masyarakat di Kulisusu Buton Utara yang mempunyai keahlian tertentu, sehingga dapat tinggal di lingkungan Keraton Ternate. Pola Ambon menempatkan mereka pada strata biasa. Orang Buton pada pola migrasi Ambon didominasi oleh masyarakat Kepulauan Wakatobi.
Orang Wakatobi yang bermigrasi ini awalnya membuka wilayah baru di Teluk Ambon dengan nama Kampuung Tomea. Aktivitas mereka sangat beragam dari pekerja kasar, penjual toko kelontong, dan hasil bumi berskala kecil. (ref)