Sekelompok nelayan menjaga kelestarian penyu. Mereka menentang kebiasaan sebagian warga makan daging penyu. Ancaman lain datang dari pasar gelap.
Direproduksi dari catatan La Ode Pandi Sartiman, Muammar Fikrie - Beritagar
-----------------------------------------------------------------------------------------
"Daging kambing tidak ada apa-apanya. Lebih mantap tuturuga," kata UM, warga Desa Tapulaga, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Pernyataan UM terlontar pada Minggu (6/1/2019), kala kami obrol perihal daging penyu atau tuturuga--istilah lokal, terutama dipakai Suku Bajo yang berdiam di pesisir Sultra.
UM bersemangat kala bicara tentang tekstur daging favoritnya itu. Tiap perkataan UM seperti hendak menerbitkan selera makan lawan bicaranya. Padahal, dia tahu satwa itu masuk kategori satwa dilindungi.
"Tidak terlalu kenyal, seperti daging sapi. Enak dimasak pedas. Apalagi ada pongasi--sejenis minuman tradisional," ujar lelaki berusia 25 tahun tersebut.
Mitosnya, ucap UM, tuturuga manjur pula buat vitalitas dan seksualitas, lantaran sensasi hangat yang dibawanya ke dalam tubuh pemakannya.
Pesisir Soropia, tempat UM berdiam, berjarak sekitar 22 kilometer dari Kendari, ibu kota Sultra.Itu merupakan wilayah habitat penyu. Namun keberadaan satwa yang eksis sejak jutaan tahun silam tersebut tengah terancam.
Pasalnya, sebagian warga pesisir Soropia punya kebiasaan mengonsumsi daging penyu. Orang Bajo bahkan lazim mengonsumsi tuturuga dalam pesta adat tertentu.
Saya bertemu sejumlah warga pesisir Soropia guna mendengar cerita perihal penjualan daging penyu. Konon, untuk konsumsi, daging penyu dijual sekitar Rp50-150 ribu. Penjualannya berkisar di antara warga.
Ada pula perniagaan yang melibatkan sindikat. Nilai transaksinya fantastis, mulai dari satu hingga belasan juta rupiah. Calon pembeli biasanya berasal dari luar daerah. Mereka memesan diam-diam. Ada saja nelayan nakal yang menerima order haram.
Informasi soal perniagaan gelap datang pula dari Kombes Pol. Andi Anugrah, Direktur Polisi Perairan Polda Sultra. Andi mengklaim pihaknya telah mengamankan 70-an penyu sepanjang 2016-2017. Plus, setahun terakhir, dia bilang sudah beberapa kali melakukan penindakan atas perdagangan ilegal itu.
"Ada belasan tersangka setahun terakhir," kata Andi. "Bali merupakan daerah yang paling banyak dapat pasokan penyu dari sini."
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra menyebut penyu hijau (Chelonia mydas) sebagai komoditas utama pasar gelap. Dagingnya kerap jadi olahan restoran-restoran di Bali. Konon permintaan meningkat pada momen-momen tertentu, seperti Tahun Baru.
Jenis penyu lain tak luput pula dari incaran, misal: penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang atau ridel (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu pipih (Natator depressus).IUCN, lembaga konservasi internasional, menggolongkan penyu hijau dalam kategori "terancam punah" bersama penyu lekang, dan penyu tempayan. Adapun penyu sisik masuk kategori "sangat terancam punah".
Semua jenis penyu tersebut masuk kategori satwa dilindungi. Payung hukumnya merujuk pada Undang-Undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Beleid itu melarang warga menangkap, melukai, hingga memperniagakan satwa dilindungi (Pasal 21 ayat 2).
Pelanggarnya bisa bersemuka ancaman pidana penjara selama lima tahun dan denda maksimum Rp100 juta.
"Ada belasan tersangka setahun terakhir," kata Andi. "Bali merupakan daerah yang paling banyak dapat pasokan penyu dari sini."
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra menyebut penyu hijau (Chelonia mydas) sebagai komoditas utama pasar gelap. Dagingnya kerap jadi olahan restoran-restoran di Bali. Konon permintaan meningkat pada momen-momen tertentu, seperti Tahun Baru.
Jenis penyu lain tak luput pula dari incaran, misal: penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang atau ridel (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu pipih (Natator depressus).IUCN, lembaga konservasi internasional, menggolongkan penyu hijau dalam kategori "terancam punah" bersama penyu lekang, dan penyu tempayan. Adapun penyu sisik masuk kategori "sangat terancam punah".
Semua jenis penyu tersebut masuk kategori satwa dilindungi. Payung hukumnya merujuk pada Undang-Undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Beleid itu melarang warga menangkap, melukai, hingga memperniagakan satwa dilindungi (Pasal 21 ayat 2).
Pelanggarnya bisa bersemuka ancaman pidana penjara selama lima tahun dan denda maksimum Rp100 juta.
Ikhtiar warga melestarikan penyu
Sabtu, 29 Desember 2018, saya duduk bersama Bakring duduk dalam bodi katinting (perahu motor). Bakring atur kemudi katinting menuju keramba miliknya. Letaknya di perairan, sekitar 200 meter dari bibir pantai Tapulaga.
Banyak satwa laut ditangkarkan di sana, macam kepiting, kuda laut, lobster, spons, dan berbagai jenis ikan. Plus, tentu saja, penyu.
Ada enam penyu dalam karamba Bakring. Dua di antaranya masih dirawat. Mereka hidup dalam kotak seukuran 4x4 meter dipisahkan dari satwa-satwa lain.
Empat lainnya ditempatkan dalam kotak yang lebih besar bersama beberapa jenis ikan dari laut dalam. "Supaya mereka bisa menyesuaikan bila dilepas nanti," ujar Bakring.
Pria berusia 55 tahun itu merupakan potret lain dari warga pesisir Soropia. Bila sebagian orang suka makan atau jual penyu, Bakring justru menentangnya.
Di Tapulaga, desa tempatnya bermukim, Bakring dikenal sebagai tokoh lingkungan. Kesadarannya soal pelestarian lingkungan, bermula pada 2006, beriring pembentukan Kelompok Nelayan Lestari di desanya.
Bersama kelompoknya, Bakring kerap bikin aktivitas merawat terumbu karang, menanam bakau, hingga budi daya ikan.
Hampir tiga tahun terakhir, sekitar 20-an anggota Kelompok Nelayan Lestari mulai taruh perhatian kepada penyu.
Desa Tapulaga, kata Bakring, sejak dulu jadi tempat migrasi penyu. Saat muson barat tiba, penyu-penyu naik dan bertelur di pesisir desa.
Namun, dari tahun ke tahun, fenomena itu kian langka. Pembangunan permukiman di area pesisir jadi salah satu penyebabnya. Penyu kehilangan tempat berlindung.
Perburuan penyu, baik untuk dikonsumsi maupun pasar gelap, jadi penyebab lain. "Kalau dulu banyak sekali. Tapi, ada saja warga yang menangkapnya," ujar Bakring. Situasi itulah yang menggugah Bakring mengurusi penyu.
Mula-mula, tak sedikit warga yang terheran-heran melihat Bakring dan kelompoknya membeli penyu hanya untuk dirawat. "Pak Bakring pernah disebut orang gila," kata Subhan Jumadi (33), anggota Kelompok Nelayan Lestari.
Cibiran tak bikin tekad Bakring surut. Dia balik mendatangi para pencibir guna kasih penjelasan. "Alhamduillah, sekarang sudah banyak warga yang paham," katanya.
Kini, bila ada penyu terjerat jala nelayan, warga langsung melapor kepada Kelompok Nelayan Lestari.
Bakring dan kelompoknya lantas mengevakuasi penyu-penyu malang ke karambanya, yang telah diwakafkan sebagai tempat perawatan penyu sebelum dilepasliarkan.
Ada kalanya Bakring harus merogoh kocek bila bersemuka pemburu penyu. Dia menyebut para pemburu sebagai "nelayan pendatang"--dari luar Tapulaga.
"Kadang ada yang saya beli 50 ribu. Paling mahal 100 ribu. Biasanya untuk konsumsi," ujar Bakring. "Kalau yang dalam pasar gelap sulit diatasi. Mereka diam-diam."
Uang pribadinya kembali keluar untuk menyediakan pakan penyu--Rp10 ribu per hari. Dia juga bilang soal rumput laut--makanan penyu--yang jarang di perairan Soropia.
Penyu-penyu itu dirawat sampai sembuh dan bobotnya normal sebelum dilepasliarkan. Misal, pada peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2018, Kelompok Nelayan Lestari merilis dua penyu balik ke habitatnya.
"Saya ajak pemuda merawat. Mereka juga ikut melepasnya, setelah sembuh," kata Bakring. "Kita juga dibantu teman-teman, dosen dan mahasiswa Universitas Halu Oleo, untuk melihat kondisi penyu."
***
![]() |
Momen pelepasliaran dua penyu di Desa Tapulaga, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, 28 Oktober 2018. | Suwarjono /Beritagar.id |
Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Halu Oleo, Yusnaeni (50) menyebut area pesisir Soropia sebagai habitat penyu. Habitat tuturuga, kata dia, meluas hingga ke Pulau Bokori, Saponda Laut, Labengki, sampai area perbatasan dengan Sulawesi Tengah--sekitar Pulau Menui.
Yusnaeni pun tak mau buru-buru menyalahkan warga yang kerap mengonsumsi penyu. Menurutnya, situasi itu terjadi karena kebiasaan.
"Harganya murah, karena warga tidak tahu mau buat apa," kata dia. "Warga ini berbeda dengan pasar gelap yang sudah seperti sindikat. Harganya jutaan."
Yusnaeni menyarankan agar pemerintah melibatkan warga dalam upaya pelestarian penyu. Pola konsumsi dan pasar gelap penyu, kata dia, sulit dilawan bila pemerintah tak merangkul warga. Dalam konteks ini, inisiatif seperti yang dilakukan Bakring dan Kelompok Nelayan Lestari jadi penting.
Yusnaeni bersama kolega dan mahasiswanya juga kerap terlibat aktivitas Kelompok Nelayan Lestari. "BKSDA atau Dinas Kelautan dan Perikanan membentuk kelompok nelayan seperti itu di tiap desa," ujarnya.
Di sisi lain, para pembesar setempat tak mudah percaya dengan inisiatif warga--seperti yang dilakukan Kelompok Nelayan Lestari.
Pejabat fungsional Pengendali Ekosistem BKSDA Sultra, Saidun, menyebut warga sering berdalih melindungi penyu atau membuat penangkaran guna menutupi transaksi di pasar gelap.
Penangkaran, kata Saidun, harus mengantongi izin dan sesuai dengan standar operasional dari Kementerian Kehutanan. Ihwal aktivitas Bakring, Saidun mengaku sudah menerima laporan sejak tiga bulan silam. "Dia (Bakring) sudah melapor, tapi sejauh ini kami belum mengecek untuk konfirmasi," ujarnya.
Ia malah balik kritik langkah Bakring melepas penyu tanpa didampingi instansi kompeten seperti BKSDA. "Harus ada instansi yang jadi saksi. Tidak bisa dilepas sembarang," kata Saidun.
Adapun Bakring mengaku tak banyak berharap dengan para pembesar. Dia juga tak keberatan menunggu dan memenuhi prosedur a la birokrasi, tetapi tak bisa pula membiarkan penyu-penyu terancam.
"Saya hanya ingin mencintai alam," katanya.**
Yusnaeni pun tak mau buru-buru menyalahkan warga yang kerap mengonsumsi penyu. Menurutnya, situasi itu terjadi karena kebiasaan.
"Harganya murah, karena warga tidak tahu mau buat apa," kata dia. "Warga ini berbeda dengan pasar gelap yang sudah seperti sindikat. Harganya jutaan."
Yusnaeni menyarankan agar pemerintah melibatkan warga dalam upaya pelestarian penyu. Pola konsumsi dan pasar gelap penyu, kata dia, sulit dilawan bila pemerintah tak merangkul warga. Dalam konteks ini, inisiatif seperti yang dilakukan Bakring dan Kelompok Nelayan Lestari jadi penting.
Yusnaeni bersama kolega dan mahasiswanya juga kerap terlibat aktivitas Kelompok Nelayan Lestari. "BKSDA atau Dinas Kelautan dan Perikanan membentuk kelompok nelayan seperti itu di tiap desa," ujarnya.
Di sisi lain, para pembesar setempat tak mudah percaya dengan inisiatif warga--seperti yang dilakukan Kelompok Nelayan Lestari.
Pejabat fungsional Pengendali Ekosistem BKSDA Sultra, Saidun, menyebut warga sering berdalih melindungi penyu atau membuat penangkaran guna menutupi transaksi di pasar gelap.
Penangkaran, kata Saidun, harus mengantongi izin dan sesuai dengan standar operasional dari Kementerian Kehutanan. Ihwal aktivitas Bakring, Saidun mengaku sudah menerima laporan sejak tiga bulan silam. "Dia (Bakring) sudah melapor, tapi sejauh ini kami belum mengecek untuk konfirmasi," ujarnya.
Ia malah balik kritik langkah Bakring melepas penyu tanpa didampingi instansi kompeten seperti BKSDA. "Harus ada instansi yang jadi saksi. Tidak bisa dilepas sembarang," kata Saidun.
Adapun Bakring mengaku tak banyak berharap dengan para pembesar. Dia juga tak keberatan menunggu dan memenuhi prosedur a la birokrasi, tetapi tak bisa pula membiarkan penyu-penyu terancam.
"Saya hanya ingin mencintai alam," katanya.**