NAMA lengkapnya Dr. Tasripin Tahara, M.Si tetapi publik di kampung halamannya, Kota Baubau lebih gemar menyapanya Iping Tahara. Masih sangat muda usia untuk ukuran seorang atropolog, 43 tahun. Tetapi sepak terjangnya cukup membumi di diaspora akademiknya di Tanah Daeng – Makassar, Sulawesi Selatan. Tepatnya di Univesitas Hasanuddin, salah satu barometer kekuatan cendekia di Indonesia.
Namun begitu, Iping Tahara tak pernah jumawa di tengah tanjakan popularitasnya sebagai seorang antropolog. Apalagi jebolan Universitas Indonesia punya pola pikir sendiri tentang karir dan masa depannya sebagai seorang calon guru besar. “Saya belum professor, masih berproses. Dosen itu pembuktian dirinya dengan karya ilmiah, disamping tugas utamanya sebagai pendidik. Kita syukuri saja apa yang ada, sebab semua akan berakhir di relnya masing-masing,” ungkap pria muda kelahiran Melai (Keraton-Baubau), 23 Agustus 1975 ini.
Belakangan cap sebagai seorang antropolog begitu melekat padanya, paling tidak posisinya sebagai Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Antropologi-FISIP Unhas terkadang menasbihkan dirinya sebagai pembicara dan presenter di berbagi lintas kegiatan budaya berskala regional dan nasional. “Dijalani saja Ode, sebab siapapun punya peluang untuk mendapat posisi-posisi di struktural kampus, iu biasa dan siapapun akademisi punya peluang yang sama,” timpalnya kepada ButonMagz.
Namun begitu, Iping Tahara tak pernah jumawa di tengah tanjakan popularitasnya sebagai seorang antropolog. Apalagi jebolan Universitas Indonesia punya pola pikir sendiri tentang karir dan masa depannya sebagai seorang calon guru besar. “Saya belum professor, masih berproses. Dosen itu pembuktian dirinya dengan karya ilmiah, disamping tugas utamanya sebagai pendidik. Kita syukuri saja apa yang ada, sebab semua akan berakhir di relnya masing-masing,” ungkap pria muda kelahiran Melai (Keraton-Baubau), 23 Agustus 1975 ini.
Belakangan cap sebagai seorang antropolog begitu melekat padanya, paling tidak posisinya sebagai Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Antropologi-FISIP Unhas terkadang menasbihkan dirinya sebagai pembicara dan presenter di berbagi lintas kegiatan budaya berskala regional dan nasional. “Dijalani saja Ode, sebab siapapun punya peluang untuk mendapat posisi-posisi di struktural kampus, iu biasa dan siapapun akademisi punya peluang yang sama,” timpalnya kepada ButonMagz.
Ode—adalah ungkapan yang begitu akrab dalam komunikasi verbalnya kepada siapapun sejawat kampungya . Ode, memang strata struktur sosial di Buton yang diserapnya dari diksi ‘La Ode’ ataupun ‘Wa Ode’, namun ia mengungkapkannya sebagai akronim ‘Orang Dekat’. Ungkapan yang disandarkan pada pemuliaan kawan diskusinya, sekaligus promosi kebudayaan di pergulatan disapora etnik di Indonesia.
Kendati telah melanglang buana antar kota se Indonesia, tetapi Dr, Tasrifin Tahara masih ‘mengawasi’ secara dekat dinamika budaya dan kehidupan sosial di kampung halamannya. Kerap pula melontar metawacana akademik jika saja ornamen-ornamen budaya di Buton mulai ‘diganggu’ oleh kemajuan berpikir bertajuk pembangunan.
“Terkadang pembangunan menggerus nilai-nilai kebudayaan dan situs-situsya. Semisal di kawasan Benteng Sorawolio di Bukit Wolio Indah, saya melihat langsung banyak tambahan ornamen yang sebenarnya bisa mengubah keaslian situs-situs itu. Ini bahan evaluasi bersama, sebab niat yang baik belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik,” tandas antropolog yang kini tengah konsen meneliti kehidupan masyarakat Bajau Nusantara.
Ungkapan ini sebenarnya wujud independensi akademik yang dimiliknya, tanpa harus kehilangan ikatan emosional dengan pihak-pihak berkompeten di kampung halamannya. Karenanya wacana yang selalu ia bangun disandarkan pada rasa kepedulian, bukan hal politis atau kepentingan pragmatis belaka.
Iping Tahara, akademis yang sempat mencoba peruntungan di dunia politik di Kota Baubau, kendati ia sadar dunia itu bukan miliknya. “Dunia politik itu selalu menebar aroma harum berkait kekuasaan. Tetapi yang melibatkan diri di sana memang harus siap lahir batin. Saya sendiri menyadari itu, sebab jangan sampai akademisi terjun ke politik hanya sampai di sebaran-sebaran baliho sosialisasi. Saya kerap tertawa sendiri, tetapi untunglah premis teori ini sudah terbantahkan, sebab Prof Nurdin Abdullah di Sulsel sudah membuktikannya,” imbuh penulis buku ‘melawan streotipe’ terbitan Gramedia Kompas ini.
Lalu bagaimana pergulaannya di belantara akademik Universitas Hasanuddin yang dikenal sebagai salah satu barometer keilmuan di Indonesia. “Memang harus fight Odee, di sana itu professor dan doktor banyak sekali. Kalau melontar batu ke udara Unhas, jatuhnya di kepala doktor, sebegitu banyaknya akademisi di sana. Jadi kami bekerja prfesional saja,” timpal konsultan ahli di beberapa kementerian negara ini.
Satu hal yang menjadi catatannya, bahwa Makassar dan Sulsel pada umumnya bukanlah daerah yang kekuatan politik identitasnya perlu dikhawatirkan. “Keterbukaan pada dunia luar membuat Sulsel cepat berkembang, tanpa harus kehilangan identitas budaya. Memang perlu belajar dan adaptif dengan keadaan di sini,” imbuhnya.
Sukses selalu Pak Iping!!.
“Terkadang pembangunan menggerus nilai-nilai kebudayaan dan situs-situsya. Semisal di kawasan Benteng Sorawolio di Bukit Wolio Indah, saya melihat langsung banyak tambahan ornamen yang sebenarnya bisa mengubah keaslian situs-situs itu. Ini bahan evaluasi bersama, sebab niat yang baik belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik,” tandas antropolog yang kini tengah konsen meneliti kehidupan masyarakat Bajau Nusantara.
Ungkapan ini sebenarnya wujud independensi akademik yang dimiliknya, tanpa harus kehilangan ikatan emosional dengan pihak-pihak berkompeten di kampung halamannya. Karenanya wacana yang selalu ia bangun disandarkan pada rasa kepedulian, bukan hal politis atau kepentingan pragmatis belaka.
Iping Tahara, akademis yang sempat mencoba peruntungan di dunia politik di Kota Baubau, kendati ia sadar dunia itu bukan miliknya. “Dunia politik itu selalu menebar aroma harum berkait kekuasaan. Tetapi yang melibatkan diri di sana memang harus siap lahir batin. Saya sendiri menyadari itu, sebab jangan sampai akademisi terjun ke politik hanya sampai di sebaran-sebaran baliho sosialisasi. Saya kerap tertawa sendiri, tetapi untunglah premis teori ini sudah terbantahkan, sebab Prof Nurdin Abdullah di Sulsel sudah membuktikannya,” imbuh penulis buku ‘melawan streotipe’ terbitan Gramedia Kompas ini.
Lalu bagaimana pergulaannya di belantara akademik Universitas Hasanuddin yang dikenal sebagai salah satu barometer keilmuan di Indonesia. “Memang harus fight Odee, di sana itu professor dan doktor banyak sekali. Kalau melontar batu ke udara Unhas, jatuhnya di kepala doktor, sebegitu banyaknya akademisi di sana. Jadi kami bekerja prfesional saja,” timpal konsultan ahli di beberapa kementerian negara ini.
Satu hal yang menjadi catatannya, bahwa Makassar dan Sulsel pada umumnya bukanlah daerah yang kekuatan politik identitasnya perlu dikhawatirkan. “Keterbukaan pada dunia luar membuat Sulsel cepat berkembang, tanpa harus kehilangan identitas budaya. Memang perlu belajar dan adaptif dengan keadaan di sini,” imbuhnya.
Sukses selalu Pak Iping!!.