![]() |
Hamparan Padang Labalawa |
KEKHAWATIRAN penggunaan bahasa daerah sebagai identitas kultur memang harus mendapat perhatian serius. Paling tidak ancaman kepunahan selalu menjadi momok menakutkan dibalik modernisasi dewasa ini. Salah satu buktinya, penggunaan Bahasa Tobe-Tobe di Kelurahan Labalawa Kecamatan Betoambari Kota Baubau diprediksi telah punah.
Klaim tersebut diungkap Antropolog Universitas Hasanuddin asal Kota Baubau, Dr. Tasrifin Tahara. “Penggunaan bahasa Tobe-tobe di Labalawa – Kota Baubau sudah punah. Tak ada lagi pemakainya. Kita harus serius menghadapi ancaman ini, jangan sampai bahasa daerah kita bakal tinggal kenangan,” ungkap Tasrifin saat desiminiasi budaya Balitbang Kota Baubau Kamis lalu, 18 September 2018.
Namun begitu, pria kelahiran Melai Keraton-Baubau ini mengajak kalangan media untuk melakukan investigasi lebih lanjut terhadap punahnya penggunaan bahasa Tobe-tobe ini. Sebab juga masih menunggu rilis resmi dari Balai Bahasa yang ada di provinsi maupun pusat.
Memang, di Kepulauan Buton di klaim banyak pihak sebagai salah satu ‘bangsa’ di dunia yang memiliki ragam bahasa daerah. Dan bahasa daerah Wolio menjadi bahasa pemersatu, khsusnya di zaman kerajaan dan kesultanan.
Pada penelitian Horst Liebner, dari Universitas Koln, Jerman yag dilakukannya beberapa tahun silam menyebutkan pengguna bahasa daerah di Kepulauan Buton kurang lebih 20 jenis bahasa daerah. Namun ada pula yang mengklaim, bahasa dan dialegnya mencapai 90 jenis bahasa, kendati belum ada pihak terkait yang mengeluarkan rilis resmi mengenai 90 jenis bahasa daerah tersebut.
Berkait bahasa Tobe-tobe memang terdengar miris, apalagi nama Tobe-tobe dalam folklore (cerita rakyat) berkait langsung dengan sejarah awal Buton masa lalu. Tobe-tobe di Labalawa berkaitan langsung dengan nama Dungku Cangia, seorang ksatria yang asal Negeri Tiongkok yang datang di akhir abad ke-13 dan pernah menjadi penguasa negeri Tobe-tobe.
Ini juga dibuktikan dengan ditemukannya Topi Kooci yang terbuat dari baja di Tobe-tobe Kampung Labalawa Kelurahan Waborobo Kecamatan Betoambari Kota Bau – Bau pada tahun 1980. Topi Kooci inilah diduga milik Dungku Cangia. Konon topi Kooci Tobe-tobe ini pernah terbakar menyebabkan bahagian bawahnya menjadi rusak. Pada bahagian puncaknya ada sebuah tanduk kecil sebagai tanda bahwa pemiliknya adalah seorang jenderal militer kerajaan di zamannya. (ref)**
Klaim tersebut diungkap Antropolog Universitas Hasanuddin asal Kota Baubau, Dr. Tasrifin Tahara. “Penggunaan bahasa Tobe-tobe di Labalawa – Kota Baubau sudah punah. Tak ada lagi pemakainya. Kita harus serius menghadapi ancaman ini, jangan sampai bahasa daerah kita bakal tinggal kenangan,” ungkap Tasrifin saat desiminiasi budaya Balitbang Kota Baubau Kamis lalu, 18 September 2018.
Namun begitu, pria kelahiran Melai Keraton-Baubau ini mengajak kalangan media untuk melakukan investigasi lebih lanjut terhadap punahnya penggunaan bahasa Tobe-tobe ini. Sebab juga masih menunggu rilis resmi dari Balai Bahasa yang ada di provinsi maupun pusat.
Memang, di Kepulauan Buton di klaim banyak pihak sebagai salah satu ‘bangsa’ di dunia yang memiliki ragam bahasa daerah. Dan bahasa daerah Wolio menjadi bahasa pemersatu, khsusnya di zaman kerajaan dan kesultanan.
Pada penelitian Horst Liebner, dari Universitas Koln, Jerman yag dilakukannya beberapa tahun silam menyebutkan pengguna bahasa daerah di Kepulauan Buton kurang lebih 20 jenis bahasa daerah. Namun ada pula yang mengklaim, bahasa dan dialegnya mencapai 90 jenis bahasa, kendati belum ada pihak terkait yang mengeluarkan rilis resmi mengenai 90 jenis bahasa daerah tersebut.
Berkait bahasa Tobe-tobe memang terdengar miris, apalagi nama Tobe-tobe dalam folklore (cerita rakyat) berkait langsung dengan sejarah awal Buton masa lalu. Tobe-tobe di Labalawa berkaitan langsung dengan nama Dungku Cangia, seorang ksatria yang asal Negeri Tiongkok yang datang di akhir abad ke-13 dan pernah menjadi penguasa negeri Tobe-tobe.
Ini juga dibuktikan dengan ditemukannya Topi Kooci yang terbuat dari baja di Tobe-tobe Kampung Labalawa Kelurahan Waborobo Kecamatan Betoambari Kota Bau – Bau pada tahun 1980. Topi Kooci inilah diduga milik Dungku Cangia. Konon topi Kooci Tobe-tobe ini pernah terbakar menyebabkan bahagian bawahnya menjadi rusak. Pada bahagian puncaknya ada sebuah tanduk kecil sebagai tanda bahwa pemiliknya adalah seorang jenderal militer kerajaan di zamannya. (ref)**