![]() |
Pinisi Bakti Nusa |
PINISI Bakti Nusa memang tipe kapal layar kecil, hanya berkapasitas 56 GT (gross tonnage), yang diawaki 15 orang dari crew hingga programmer, tetapi kapal layar inilah dipercaya Negara untuk menggelar ekspedisi berkeliling Indonesia, menyinggahi 74 wilayah titik singgah sebagai simbolisasi 74 Tahun Kemerdekaan RI, pada 17 Agustus 2019 tahun depan.
Ekspedisi ini merupakan inisiasi bersama antara Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) dan Yayasan Makassar Sklalia (YMS) dan didukung oleh berbagai pihak seperti kementerian kelautan dan Perikanan RI, Kementerian ESDM RI, dan kementerian Perhubungan. Rencananya, 27 Desember 2018 besok, akan berlabuh di Kota Baubau – sebagai salah trip wajib ekspedisi ini.
“Launching ekspedisi telah dilaksanakan di Kota Makassar tgl 15 Desember 2018 lalu. Pelayaran dimulai tanggal 17 Desember 2018 di Makassar dan finish 17 Agustus 2019 d Jakarta. Pelayaran akan terbagai dalam 10 trip dengan 74 titik singgah. 74 titik singgah merupakan simbolisme 74 tahun Indonesia merdeka tahun depan,” ujar Abdi Suhufan, Koordinator Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa saat dihubugi Majalah Online Butonmagz, setibanya di Pelabuhan Sikeli – Kabaena, Kabupaten Bombana, Selasa kemarin, 25 desember 2018.
Untuk tujuan pelabuhan Kota Baubau sendiri kata Abdi - yang juga putra dari mantan Sekda Kota Baubau ini memang direncanakan tiba pada hari Jumat, 27 Desember 2018. “Targetnya seperti itu, kita lihat saja kondisi cuaca, sebab kapal ini terbilang kecil,” ujarnya.
Untuk trip pelayaran ekspedisi ini sementara terbagi dua trip, yakni trip pertama dari Makassar, Bulukumba, Pulau Kabaena, Teluk Liana Banggai, Baubau, Wakatobi, Ereke dan menuju Kendari
Untuk trip kedua star dari Kendari, Molawe, Konawe Utara, Pulau Labengki, Lameruru, Bungku, Donggi, Luwuk, Ampana, PulauTogean, Torosiaje, Gorontalo dan Bitung. Menyusul trip-trip selanjutnya, dengan pelayaran kurang lebih berlangsung 9 bulan dengan jarak tempuh kurang lebih 11 ribu mil, dan finis di jakarta pada 17 Agustus 2019 mendatang.
Dijelaskan, selama ekspedisi dilaksanakan, selain pelayaran, dalam persinggahan di tiap titik singgah, sjumlah kegiatan akan digelar speerti; seminar/FGD/Workshop dengan topik yang relevan; pertunjukan Layar Tancap / Awareness untuk kelautan; juga menggelar kelas-kelas inspirasi kemaritiman.
Kegiatan lainnya juga berupa aksi peduli even-even lingkungan semisal penanaman bakau, transplantasi karang, pendataan, drone mapping, dan beragai even lainnya.
“Semangatnya kolaboratif untuk menumbuhkan kesadaran, kepedulian dan dukungan agar pembangunan kelautan dan perikanan selalu menjadi prioritas. Dalam panggung maritim, kami akan mengundang kepala daerah, tokoh masyarakat, aktvisis, mahasiswa, siswa untuk berkunjung di kapal dan menyampaikan gagasan, harapan dan masukan terkait masalah maritime di daerahnya masing-masing kepada pemerintah yang akan direkam untuk di diseminasikan kepada masyarakat Indonesia melalui linimassa dan media sosial,” jelas Abdi Suhufan.
Target utama ekspedisi ini akan merekam isu dan masalah maritim serta menghasikan resume atau rekomendasi pembangunan maritim yang akan diserahkan kepada presiden terpilih Oktober 2019.
Disaksikan, Kapten Lagendaris Pinisi NusantaraSaat peluncuran ekspedisi Pinis Nusa Bakt ini di Makassar 15 Desember 2018 lalu juga disaksikan Gita Arjakusuma (74 tahun), Kapten kapal legendaris Phinisi Nusantara yang memimpin misi pelayaran pinisi dari Jakarta ke Vancouver, Kanada tahun 1986.
Gita adalah bagian dari sejarah jejak fenomenal perahu pinisi yang dicatat dengan tinta emas di linimasa abad 20. ‘Phinisi Nusantara’ menjadi bintang pelayaran internasional, bukti keunggulan tradisi maritim Indonesia, mampu berlayar melintasi Samudera Pasifik yang ganas hingga merapat ke bibir pantai Vancouver dan Pantai San Diego, di Benua Amerika.
Pinisi yang dinakhodai Capt. Gita hadir di Vancouver Expo 86 yang bertema “World in Motion, World in Touch” sekaligus membuktikan ketangguhan perkawinan kreasi maritim Nusantara dengan perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi modern dunia yang serba cepat sejak tahun 80-an itu.
Rupanya, Capt. Gita hadir di Makassar bukan hanya mengikuti peluncuran ekspedisi tetapi ikut pula sebagai peserta ekspedisi dan bermuhibah ke Pelabuhan Bira, Bulukumba di pesisir selatan Sulawesi. Dia ingin menengok jejak-jejak pembuatan Phinisi Nusantara yang sempat bikin heboh di era Soeharto itu.
Dua hari kemudian, Kapal Pinisi Pusaka Indonesia untuk Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa yang dinakhodai Irdham Awie bertolak ke Pelabuhan Bira, pada Selasa dinihari, 18 Desember 2018. Pria kelahiran Selayar yang telah melakukan uji coba pelayaran sebelumnya ke Kota Pare-Pare dengan pinisi yang sama.
Selama berada di atas pinisi, Capt Gita berbagi cerita tentang pengalamannya memandu dan mengorganisasi tim ekspedisi Phinisi Nusantara, berbagi tentang teknik pelayaran, cara bertahan hidup, dan strategi meniti gelombang di suasana ekstrem bersama anggota tim ekspedisi. Dia juga mengingatkan anggota tim ekspedisi untuk saling bekerjasama.
“Hadirnya Capt. Gita menjadi penyemangat kepada tim ekspedisi, termasuk ISKINDO dan YMS. Ini merupakan bukti bahwa ada banyak perhatian, dari berbagai elemen. Ada keinginan yang sama untuk menjadikan pinisi sebagai wahana pengabdian bagi masyarakat maritim Indonesia. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk rangkaian ekspedisi berikutnya,” ucap Abdi Suhufan.
Sejarah Pinisi
Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari desa Bira kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau.
Filosofinya, dua tiang layar utama tersebut berdasarkan dua kalimat syahadat dan tujuh buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500-an. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Lemo dan Bira.
Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi. Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar tersebut lahir dari pemikiran orang-orang Bira.
Konon, nama Pinisi ini diambil dari nama seseorang yang bernama Pinisi itu sendiri. Suatu ketika beliau berlayar melewati pesisir pantai Bira. Beliau melihat rentetan kapal sekitar laut sana, dia kemudian menegur salah seorang nahkoda kapal tersebut bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki. Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini. Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi.** (ref)