![]() |
Kota Medan, salah satu yang terkotor di Indonesia |
Saat penyerahan penghargaan Adipura sebagai kota bersih dan sehat di Indonesia, 14 Januari 2019 lalu ada pula yang digelari kota terkotor. itu bermula ketika Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla menginstruksikan, perlu umumkan kota paling kotor. ”Indonesia itu kadang baru bekerja keras kalau ada rasa malu. Kalau tidak ada rasa malu kadang mereka membiarkan saja, menyerahkan pada orang lain,” katanya.
Berdasarkan data KLHK, ada 10 kota terkotor dalam penilaian Adipura 2018. Kota-kota ini memiliki nilai terendah terlihat dari pengelolaan tempat pemrosesan akhir (TPA) dan kebersihan fisik.
‘Pemenang’ kota kotor adalah, untuk kota metropolitan yaitu Kota Medan, kota besar itu Bandar Lampung dan Manado dan kota sedang yaitu Sorong, Kupang dan Palu. Sedangkan kota kecil mayoritas berada di wilayah timur Indonesia, yakni Waykabubak (Sumba Barat), Waisai (Raja Ampat), Buol (Sulawesi Tengah), dan Bajawa (Ngada, NTT).
”Dari 300 sekian (369-red.) kabupaten dan kota yang kita nilai, kota itu kota yang paling jelek,” kata Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya, KLHK.
Penilaian paling utama adalah pengelolaan TPA masih pakai open dumping (pembuangan terbuka). Padahal, UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, sudah mengamanatkan agar TPA menjalankan sanitary landfill.
Penilaian kedua, katanya, daerah itu harus memiliki dokumen kebijakan dan strategi daerah pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga (Jakstrada).
Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan sampah KLHK mengatakan, hingga kini baru ada 300 kabupaten dan kota serta 16 provinsi selesai menyusun jakstrada. ”Ke depan, adipura itu bisa jadikan instrumen mewujudkan jakstrada,” katanya.
Vivien pun berharap, kota-kota yang kurang mampu memperbaiki pengelolaan sampah mereka. KLHK pun akan mendampingi pemerintah daerah dalam memperbaiki kebijakan dan strategi pengelolaan sampah.
![]() |
Kota Surabaya |
Surabaya jadi contoh
Kota Surabaya meraih Adipura Kencana, penghargaan tertinggi bagi kota yang berhasil dalam kinerja pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Ini pengelolaan sampah perkotaan dan kebersihan. Penghargaan Adipura Kencana pun diberikan langsung Jusuf Kalla kepada Tri Rismaharini, Walikota Surabaya.
Kalla mengapresiasi kinerja Tri Rismaharini. ”Saya sampaikan terima kasih Ibu Risma karena satu-satunya yang naik tiga kali adalah Ibu Risma. Kita harus apresiasi apalagi dalam keadaan kaki terkilir tetap menginspeksi kota.”
Surabaya juga mendapatkan penghargaan atas kinerja pengirangan sampah dan Nirwasita Tantra atau penghargaan daerah yang menerapkan kebijakan sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada kepemimpinan Risma, Surabaya tercatat sudah menerima penghargaan Adipura, delapan kali berturut-turut.
”Sebetulnya, tujuan saya jaga kebersihan bukan untuk penghargaan, tapi malu kalau kota saya kotor. Kan itu sama saja dengan wajah saya,” kata Risma, usai menerima penghargaan.
Risma menceritakan, Surabaya mengalami penurunan penyakit signifikan. ”Benar yang dikatakan Pak Wapres bahwa penyakit itu turun. Angka penyakit DBD (demam berdarah-red) turun. Surabaya pernah terjadi kejadian luar biasa, sekarang tidak, turun terus, diare dan ISPA juga turun,” katanya.
Keberhasilan Surabaya, katanya, tak lepas dari partisipasi masyarakat. Biaya pengelolaan sampah dapat ditekan dengan mendorong gerakan masyarakat.
Pada 2003, Surabaya, mengalami masalah besar sampah. Saat itu, Surabaya dikenal sebagai kota panas, kering, dan sering banjir selama musim hujan.
Hampir 50% dari wilayah Surabaya banjir waktu itu. Untuk mengatasi masalah ini, Risma mengajak partisipasi masyarakat bahu membahu dengan pemerintah kota mengelola limbah.
Warga mulai diajarkan mengelola sampah mandiri. Partisipasi publik kuat menjadi faktor utama keberhasilan Surabaya (nas/mongabay)