![]() |
Menteri Keuangan RI - Sri Mulyani |
JAKARTA – Pemerintah akan mengevaluasi besaran tunjangan kinerja (tukin) pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Tukin pegawai Kemenkeu diketahui memang paling besar dibandingkan kementerian/lembaga lain.
Tingginya tukin yang dimaksudkan untuk menjaga integritas pegawai itu dinilai justru bertolak belakang dengan banyaknya persoalan di Kemenkeu beberapa waktu terakhir.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan, evaluasi ini akan dilakukan Kemenkeu dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). “Kami dan menpan-RB sedang melakukan berbagai evaluasi dan ada beberapa program desain yang sudah dibuat menpan-RB. Kami sedang bersama-sama terkait berbagai tukin itu,” kata dia saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR.
Sebagai contoh, mengacu Perpres Nomor 37 Tahun 2015, tunjangan kinerja terendah di Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu sebesar Rp 5,3 juta, sedangkan yang tertinggi sebesar Rp 117,3 juta. Sebagai perbandingan, di Kementerian Agama, berdasarkan Perpres Nomor 130 Tahun 2018, tunjangan kinerja terendah sebesar Rp 1,97 juta, sedangkan yang tertinggi sebesar Rp 29 juta.
Desakan evaluasi tukin untuk pegawai Kemenkeu tersebut menguat ketika mantan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo diduga memiliki harta yang tidak sesuai profil jabatannya. Anak Rafael, Mario Dandy Satriyo yang menganiaya anak David Ozora (17 tahun) juga diketahui kerap pamer mobil mewah hingga motor gede berharga ratusan juta.
Evaluasi menyeluruh terhadap besaran gaji dan tukin ASN di Kemenkeu pun dinilai mendesak. Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), hingga Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) pun meminta pemerintah pusat meninjau ulang besarnya pendapatan ASN Kemenkeu.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan, usulan untuk mengevaluasi tunjangan kinerja ASN Kemenkeu merupakan kewajaran dan masuk akal saat kesenjangan pendapatan jelas terlihat jika dibandingkan ASN dari instansi lain. “Yang diusulkan oleh Korpri untuk mengkaji ulang sangat relevan,” kata Agus kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Agus mengatakan, KASN sebagai lembaga pengawasan penerapan sistem merit, sangat memperhatikan kebutuhan tersebut, sehingga mendorong hal serupa yang diusulkan Korpri. Utamanya, mengenai sistem penggajian dan tunjangan yang berkeadilan. “Dan tidak diskriminatif untuk menjamin bekerjanya birokrasi secara profesional,” ucap dia.
Menurut dia, dengan adanya sistem penggajian dan tunjangan yang baik, bisa mendorong dan memotivasi kinerja pegawai dengan baik ke depannya. Oleh sebab itu, dirinya juga meyakinkan untuk mendorong hal serupa yang diusulkan oleh Korpri. “Sebaliknya, sistem yang buruk akan menimbulkan kecemburuan dan mengurangi motivasi pegawai,” ujar dia.
Apeksi pun mendukung penuh usulan evaluasi sistem penggajian ASN Kemenkeu tersebut. Ketua Dewan Pengurus Apeksi, Bima Arya mengatakan, semangat bersih-bersih yang menguat hari ini merupakan momentum yang sangat tepat. “Saya kira ini momentum yang sangat baik untuk melakukan evaluasi mendasar soal sistem remunerasi ASN,” kata Bima kepada Republika.
Ia berharap, jika dilakukan evaluasi mendasar dari sistem remunerasi ASN tersebut dapat dilakukan secara menyeluruh. “Komponen gaji pokok, tunjangan, harus adil dan proporsional, harus secara keseluruhan, termasuk juga legislatif,” ujar Bima.
Korpri juga mendesak agar ada evaluasi secara menyeluruh terhadap besaran gaji dan tukin ASN di Kemenkeu yang dinilai tidak masuk akal. Besarnya pendapatan pegawai di Kemenkeu itu memunculkan kesenjangan tajam di antara ASN. Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional, Zudan Arif Fakrullah mengatakan, dampak ketimpangan pendapatan ASN di kementerian/lembaga ataupun pemda memunculkan banyak pertanyaan.
Menurut dia, tingginya penghasilan pegawai ASN di Kemenkeu mendapat banyak kritik dari ASN di kementerian/lembaga lain, termasuk oleh ASN di daerah.
“Sampai ada juga yang bertanya pada saya, 'Di Kementerian Keuangan itu apa sudah bukan ASN? Bukan anggota Korpri? Kok bisa mendesain sendiri gajinya',” ujar Zudan.
Zudan menjelaskan, seluruh ASN otomatis merupakan anggota Korpri karena tidak ada pilihan lain. Namun, memang terkait sistem penggajian saat ini belum secara nasional. Menurut dia, sistem penggajian harus berkeadilan dari kementerian/lembaga hingga pemda.
Dia mendorong, pola dasar penyusunan standar penghasilan harus ditetapkan dengan pendekatan yang berkeadilan. Karena itu, sistem penggajian harus diambil di dalam skala nasional.
“Siapa yang menguasai sendi-sendi penataan keuangan dia bisa menentukan sendiri keuangannya, itu nggak boleh. Kalau di Kemenkeu bisa setinggi itu, bisa ditanyakan, bagaimana cara menyusun seperti itu. Kalau di DKI Jakarta juga bisa setinggi itu, bagaimana daerah bisa menyusun yang setinggi itu,” kata Zudan.
Di Kementerian Keuangan itu apa sudah bukan ASN? Bukan anggota Korpri? Kok bisa mendesain sendiri gajinya?
Penghitungan pendapatan ASN saat ini bukan didasarkan dari profil risiko, melainkan karena formulasi yang ditentukan oleh Kemenkeu sebagai pengelola keuangan negara. Zudan menilai, mengacu pola sistem penggajian saat ini tentu akan menimbulkan kecemburuan di antara ASN.
Peneliti Pusat Riset Kewilayahan-BRIN, Dedi Arman mengatakan, adanya ketimpangan nominal tukin yang diterima ASN di setiap kementerian/lembaga memang nyata. Sebagai contoh, tukin ASN terendah di Indonesia diterima pegawai Kementerian Agama. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tahun 2019 tentang Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai pada Kemenag, pegawai Kemenag dengan kelas jabatan 9 atau selevel Eselon 4 setiap bulan menerima tukin Rp 3,7 juta.
“Bandingkan dengan tukin pegawai Ditjen Pajak, Kemenkeu untuk jabatan grade 9 dibayar Rp 9,7 juta-Rp 13,3 juta per bulan. Pegawai grade 13 tukinnya mencapai Rp 15,1 juta-Rp 17,2 juta,” ujar Arman. (sumber : republika)
0 Komentar