
BUTONMAGZ---Kedekatan Sangia I Ntera bukan hanya dengan suku Bugis-Makassar tetapi dengan suku Buton-Muna yang lebih awal datang mendiami beberapa daerah pesisir wilayah Rumbia. Kepala kampung pulau Tambako dipercayakan kepada Halidu (etnis Muna) yang juga menjadi kerabat dekat kerajaan. Salah satu anak Halidu (Drs. H. Safa, kini tinggal di Jakarta) berangkat sekolah bersama cucu Sangia I Ntera (Mokole H. I Pimpie) ke Makassar tahun 1957.
--------------------------
H. Kasra J. Munara
-------------------------
Sementara untuk suku Bajo, salah seorang bangsawan Bajo yang bernama Pualarunggi menikah dengan adik Sangia Oriuwatu. Keturunan mereka dinamakan Tatangkeno karena mereka memilih untuk tinggal di gunung.
Ketika program penataan wilayah yang disponsori Belanda (community development program) digulirkan, rumpun keluarga ini kemudian memutuskan pindah ke Lantowua dan ada yang pindah ke Wanda Eha atau Lere Eha. Memerintah sebagai Raja sekaligus sebagai Kepala Distrik (dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton dan Pemerintahan Kolonial Belanda) seringkali dihadapkan kepada persoalan politik dan keamanan.
Sangia I Ntera pernah ditunjuk oleh Belanda sebagai Kepala Distrik Poleang tahun 1926 untuk mengisi kevakuman pemerintahan akibat konflik internal paska akhir jabatan Mokole I Ngkosa atau Sangia Pusu (Raja Moronene Poleang).
Sangia Pusu adalah adik Sangia Dowo (Sangia Nilemba). Tahun 1930, Jabatan Distrik Poleang kemudian diserahkan kepada Mokole Onda atau Sangia Moauno (sebagai pewaris tahta Kerajaan Moronene Poleang) dan memerintah hingga tahun 1936. Sangia Moauno adalah putra dari Mokole I Ngkalu (Sangia Wunumea).
Pada periode ini Sangia I Ntera juga menyelesaikan persoalan tapal batas wilayah Kerajaan Moronene daratan dengan Kerajaan Mekongga dan Kerajaan Konawe. Pertama, Juli 1927, disepakati bahwa dimana ada masyarakat berbahasa Moronene atau ada tumbuhan bambu berduri maka itu adalah tanahnya Moronene (Rumbia-Poleang). Kedua, Maret 1930, perubahan perbatasan dengan Menkongga (Kolaka) dimana ada sebuah kampung terletak di antara Sungai Toari dan Tondo Wolio tetapi masuk pemerintahan Distrik Kolaka namun jauh sebelum Belanda masuk, orang-orangnya membayar pajak (upeti) kepada Raja Moronene I Ntera, Sehingga disepakati batas wilayah yang baru yaitu mulai dari Tondo Wolio menuju ke Puu Lemo (hulu kali Poleang) terus ke Pusu Mendoke.
Dalam usianya yang sudah sepuh, Sangia I Ntera sebagai Raja merasa perlu untuk menyiapkan penggantinya apalagi sang Pangeran (Mokole Pandili) telah meninggal dunia dan yang ada hanyalah dua orang putri kesayangannya. Pada waktu itu ada 4 orang calon terkuat dari lingkungan keluarga kerajaan yang dianggap mampu menggantikan beliau.
Setelah melalui tahapan pertimbangan maka pada tahun 1940 Sangia I Ntera menunjuk Mokole Munara (anak menantu sekaligus keponakan) sebagai Raja Moronene Rumbia ke-4. Mokole Munara dianggap cakap dan mampu melanjuntukan visi Sangia I Ntera tentang masa depan Rumbia khususnya dan Moronene pada umumnya. Penunjukan Mokole Munara sebagai Raja juga mendapat dukungan dari Sultan Buton (Laode Muh. Falihi) dan Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena usianya yang masih muda (saat itu 35 tahun), Mokole Munara digelar “Apua Mongura”.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1943, dilangsungkan pertemuan akbar di Taubonto yang dihadiri oleh para raja dan pemuka adat Moronene guna melakukan inventarisasi budaya dan kesenian Moronene, pencatatan sejarah dan silsilah kerajaan dan menyamakan persepsi terhadap masa depan “Lipu i Bombana Wita i Moronene”. Mereka menyadari bahwa peradaban yang semakin maju akan melunturkan warna budaya dan identitas Moronene.
Hasil dari pertemuan akbar di Taubonto melahirkan sebuah dokumen “Sejarah Pu’uno Tomoronene” dan tercipta pula dua buah lagu yaitu “Tabea Damontoe” (berbeda dengan versi yang ada sekaranag) yang dalam syair-syairnya terkandung falsafah kehidupan Tomoronene dan pesan-pesan moral, serta lagu “Kunini” yang merupakan lagu rohani terpanjang di dunia.
Setelah itu diusulkan kepada perwakilan Jepang agar wilayah Moronene memiliki adminitrasi pemerintahan sendiri setingkat “Bunken” (semacam onderafdeling zaman Belanda). Usulan ini diterima oleh pihak Jepang dengan menempatkan “Bunken Kanrikan” (semacam Jabatan Asisten Residen zaman Belanda) bertempat di Boepinang, Poleang dengan wilayah administratif meliputi seluruh wilayah Moronene (Kabaena, Rumbia, Poleang termasuk Watubangga). Mengapa di Boepinang? karena Jepang memiliki pangkalan udara di Pajongang dan juga mengawasi Watubangga di Kolaka.
Paska Kemerdekaan Indonesia, seluruh wilayah Moronene (Kabaena, Rumbia, Poleang) dimasukkan kembali ke dalam “Onderafdeling Boeton en Laiwoi” dengan pusat Pemerintahannya di Bau-Bau. Namun seiring dengan pergolakan politik di tanah air dimana Negara Indonesia Timur diproklamirkan pada tahun 1946 melalui sebuah konferensi di Malino dan Denpasar (dimotori oleh pihak Belanda) kemudian disusul oleh agresi militer Belanda th 1947-1948.
Maka pada tahun 1948 muncul sebuah gagasan agar Wilayah Moronene bisa menjadi “onderafdelling” sendiri terpisah dari “Onderafdeling Boeton en Laiwoi”. Gagasan ini dipelopori oleh Mokole Bawea Powatu (mewakili Distrik Rumbia) dan Mokole Muhammad Ali (mewakili Distrik Poleang) yang merupakan tindak lanjut dari pertemuan di Taubonto tahun 1943. Permohonan resmi dituangkan ke dalam sebuah surat tertanggal 5 September 1948 yang diantarkan langsung bersama 38 orang perwakilan ke Residen Selebes Selatan di Makassar.
Lalu 27 Desember 1949, Mokole Bawea Powatu dan Mokole Muhammad Ali berangkat ke Bau-bau bersama 30 orang kepala kampung dari Rumbia, Poleang dan Kabaena untuk meminta kepada pemerintah “Onderafdeling Boeton en Laiwoi” agar Wilayah Moronene menjadi setingkat “swapraja” dalam wadah Negara Indonesia Timur. Namun permintaan ini ditolak secara diplomatis karena jumlah penduduk dianggap belum memenuhi syarat.
Dua bulan sebelumnya yaitu pada bulan Oktober 1949 dibentuk Rukun Keluarga Moronene (RKM) di Makassar untuk menidaklanjuti permohonan Wilayah Moronene menjadi “onderafdelling” atau “Swapraja Moronene”, namun upaya tersebut mengalami beberapa hambatan teknis dan politis yang disebabkan oleh rentetan peristiwa berikut ini:
- 7 Agustus 1949 Negara Islam Indonesia (NII) atau dikenal juga dengan Darul Islam diproklamirkan oleh Kartosoewirjo di Jawa Barat.
- Mokole Bawea Powatu dibunuh oleh gerombolan badik menjelang akhir 1949 di Lemo, Poleang.
- 27 Desember 1949 terbentuk negara federasi dalam wadah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai produk dari Perjanjian Meja Bundar di Belanda.
- Mokole Munara atau Sangia Tandole (Raja Moronene Rumbia ke-4) wafat awal tahun 1950.
- Sangia I Ntera (Raja Moronene Rumbia ke-3) wafat pertengahan tahun 1950
- Gerombolan badik melakukan kekacauan di Poleang dan Rumbia dan melakukan penyerangan dan penjarahan terhadap Istana Rahawatu di Taubonto.
- Kesultanan Buton sedang memperjuangkan status daerah istimewah layaknya Aceh atau Jogyakarta. Lalu terjadi pembubaran pemerintahan Swapraja Kesultanan Buton tahun 1951 yang disusul wafatnya Sultan Laode Muhammad Falihi tahun 1960.
- 7 Agustus 1953, Kahar Muzakkar menyatakan bagian dari perjuangan Darul Islam (DI) di Sulawesi Selatan dan mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).
- Pasukan DI/TII ini kemudian melakukan perang geriliya hingga ke wilayah Sulawesi Tenggara melalui Kolaka hingga ke wilayah Poleang dan Rumbia yang dikenal sebagai gerombolan DI/TII. Kemudian terjadi peristiwa “Taubonto Lautan Api” dimana gerombolan DII/TII secara membabibuta membakar sejumlah perkampungan dan membumihanguskan Istana Rahawatu tgl 9 Oktober 1957.
Walaupun sebenarnya di antara persoalan-persoalan tersebut terdapat juga peluang besar dengan memanfatkan situasi politik tarik-ulur antara pusat dan daerah termasuk taktik “devide et impera” yang digunakan oleh pemerintah pusat guna meredam gejolak dan upaya pemberontakan terhadap republik. Terbukti dalam perjalanannya ada beberapa daerah yang berhasil mendapatkan pengakuan seperti Toraja (Sulawesi), Tolaki (Konawe), Dayak (Kalimantan Tengah), Melayu (Riau dan Jambi).
Tanggal 3 Agustus 1958, RKM Makassar kembali menindaklanjuti rencana sebelumnya dengan tuntutan pembentukan Kabupaten Moronene melalui surat permohonan resmi kepada Presiden Soekarno. Namun permohonan tersebut telah kehilangan momentum. Kendatipun demikian sejumlah upaya tindak lanjut terhadap gagasan awal tetap dilakukan dari th 1964 hingga 1994.
Kemudian Reformasi 1998 menjadi sebuah momentum baru. Semangat kedaerahan (identitas etnis, primordialisme dan avatisme) bangkit kembali setelah 40 tahun tertutup rapat oleh kebijakan ORBA. Aspirasi pembagian kekuasan pusat-daerah yang pernah ada dekade 1950-1960 marak diperbincangkan. Lahirlah konsep otonomi daerah sebagai solusi terhadap bahaya disintegrasi bangsa.
Kebijakan otonomi daerah yang bergulir setelah itu (UU No. 22 Tahun 1999) mendapatkan respons dari para tokoh dan pegiat pemekaran sehingga lahirlah Kabupaten Bombana tanggal 18 Desember 2003 berdasarkan UU No. 29 Tahun 2003, walaupun dalam perjalanannya nyaris kehilangan momentum kembali hanya karena sebuah nama “Moronene“. (Selesai)
-----------------------------------------
*) Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber. Diantaranya adalah:
Buku “Nieuwe hoofden, nieuwe goden”, Dr. Christian de Jong, 2017
Buku “Sejarah Peradaban Moronene”, Rekson dkk, 2015.
Buku “Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an” yang disunting oleh Sita van Bemmelen, Remco Raben.
------------------------------------
BACA ARTIKEL SEBELUMNYA :
- Sangia I Ntera – Raja Moronene yang Visioner, Selalu Menyesuaikan Budayanya [Bagian Ketiga]
- Sangia I Ntera – Raja Moronene yang Visioner [Bagian Kedua]
- Sangia I Ntera – Raja Moronene yang Visioner, Sultan Buton memberinya gelar Pauno Rumbia (Payungnya Rumbia). (Bagian Pertama)