Pulau Buton bagi masyarakatnya penuh dengan misteri. Salah satunya berkaitan dengan reinkarnasi, yang disebut dengan ‘rohi Polimba’. Majalah online Butonmagz, menyajikan cerita tentang kepercayaan ini dari jurnal berjudul ‘Buton Islam dan Islam Buton – 1873-1938’ yang ditulis Haliadi, Teuku Ibrahim Alfian dan Kuntowijoyo – peneliti sejarah pada program pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta – pada September 2000.
--------------
MASYARAKAT Islam di Buton menganut kepercayaan ‘Rohi Polimba’ (roh yang berpindah). Dari yang sudah meninggal kepada orang yang masih dan akan hidup. Sebagaimana dijelaskan dalam kepercayaan pra Islam, masyarakat Buton percaya akan roh (rohi). Roh sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan baik pada manusia, tempat-tempat, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. (J.W. Schloor, 1982).
Menurut kepercayaan masyarakat Buton, bentuk perpindahan roh ada tiga bentuk. Bentuk pertama adalah berpindahnya roh orang yang meninggal pada roh aslinya yakni jasad seseorang hilang dari kain kafannya sebelum dikubur.
Bentuk kedua dikatakan bahwa roh orang yang meninggal berpindah ke jasad baru yang masih dalam kandungan atau bayi yang akan lahir. Bentuk ketiga adalah berpindahnya roh orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup (jenis kemasukan).
Proses perpindahan ini disebut ‘rohi polimba’ (roh yang berpindah), dan tempat perpindahan disebut limbaga (tempat berpindah), dari kata limba (pindah).
Bagi orang yang mau mengendalikan rohnya kalau akan meninggal kelak, biasanya ia harus mempelajari ilmu kambotu. Ilmu Kambotu diciptakan oleh Syeh Abdul Ghaniyu yang menjabat sebagai kenepulu pada masa kekuasaan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851).
--------------
MASYARAKAT Islam di Buton menganut kepercayaan ‘Rohi Polimba’ (roh yang berpindah). Dari yang sudah meninggal kepada orang yang masih dan akan hidup. Sebagaimana dijelaskan dalam kepercayaan pra Islam, masyarakat Buton percaya akan roh (rohi). Roh sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan baik pada manusia, tempat-tempat, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. (J.W. Schloor, 1982).
Menurut kepercayaan masyarakat Buton, bentuk perpindahan roh ada tiga bentuk. Bentuk pertama adalah berpindahnya roh orang yang meninggal pada roh aslinya yakni jasad seseorang hilang dari kain kafannya sebelum dikubur.
Bentuk kedua dikatakan bahwa roh orang yang meninggal berpindah ke jasad baru yang masih dalam kandungan atau bayi yang akan lahir. Bentuk ketiga adalah berpindahnya roh orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup (jenis kemasukan).
Proses perpindahan ini disebut ‘rohi polimba’ (roh yang berpindah), dan tempat perpindahan disebut limbaga (tempat berpindah), dari kata limba (pindah).
Bagi orang yang mau mengendalikan rohnya kalau akan meninggal kelak, biasanya ia harus mempelajari ilmu kambotu. Ilmu Kambotu diciptakan oleh Syeh Abdul Ghaniyu yang menjabat sebagai kenepulu pada masa kekuasaan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851).
Ilmu Kambotu merupakan ilmu yang mengajarkan tentang zikir dan mengantarkan orang yang mempelajarinya sehingga mengetahui kematiannya atau dapat mengendalikan rohnya. Orang yang mempelajari ilmu ini dapat mengetahui kematiannya karena diperlihatkan oleh Allah SWT. Tanda-tanda kematian ditunjukkan kepada kita oleh Allah SWT, mengenai manusia cahaya yang mirip dengannya yang dikeningnya tertulis (Llahu).
Bagi orang yang belum mengetahui cara-cara memindahkan rohnya sebelum meninggal dapat dibantu oleh orang yang ahli akan kematian. Orang yang dapat memindahkan roh orang yang meninggal adalah tukang ‘pasuju’, atau orang yang memberi sujud.
Sultan Muhammad Salihi (1871-1885) menciptakan ‘haroa Rajabu’ (upacara bulan Rajab) yang dilaksanakan pada bulan Rajab yang bertujuan untuk memperingati roh-roh keluarga yang telah meninggal dunia. Upacara Haroa Rajabu merupakan upaya lokal dalam melestarikan kepercayaan tentang roh yang masih berhubungan dengan keluarganya yang masih hidup. (Ligtvoet, 1887), (Schoorl, 1994), (Kruyt, 1933).
Dalam sebuah artikel hasil penelitian J.W. Schoorl, telah digambarkan dengan jelas yang disebutnya kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton. Kepercayaan itu diteliti di tiga tempat di Buton, yakni Wanci, daerah Rongi, dan Keraton Buton.
Menurut Schoorl, orang Wanci memiliki doa (batata) pasuju, yang berarti “Oh Tuhan, berilah ampun kepada kami dan diberikan tempat di antara mereka menerima bimbingan yang benar dan ditempatkan diantara saudara-saudaranya, dan berilah ia penerangan di sana (makam), oh Tuhan Sang Pencipta, kabulkanlah. Doa ini diterjemahkan dari bahasa daerah yang diperoleh dari tukang Pasuju yan sering menjadi tukang memindahkan roh orang yag sudah meninggal kepada keluarga mayat. (Elbert, 1911), (Broersma, 1930).
Di daerah pengunungan Rongi pedalaman Pulau Buton roh disebut ‘sumanga’. Masyarakat rong percaya tentang kembalinya ‘sumanga’ kepada pengganti orang yang sudah meninggal (kabolosina mia mate), biasanya anak kecil yang baru lahir. Tradisi masyarakat percaya bahwa sebelum roh berpindah ditampung dulu oleh Sang Pencipta (kawasana ompu) di Surga (cingkaha).
Perpindahan roh kepada jasad baru terlaksana pada malam ke-140 hari sejak kematiannya. Ada juga yang mencapai 7 tahun baru beripndah karena tergantung baik buruknya perbuatan sewaktu masih hidup di dunia.
Di dalam Keraton Buton, Kesultanan Buton percaya bahwa Syafiu Putra, anak Sultan Muhammad Syafiul Anami (1922-1924) merupakan rohi polimba dari ayahandanya. Muhammad Syafiul Anami meninggap pada 30 Agustus 1924 di kampung Waara karena pasang diri (bunuh diri). Syafiu Putra pada saat itu belum mengetahui ayahandanya karena baru berumur dua tahun. (covers, 1929).
Sultan Buton terakhir Muhammad Falihi (1938-1960) dan istrinya dipercaya oleh masyarakat bahwa rohnya akan berpindah kepada cucu laki-lakinya. Dikisahkan bahwa sebelum neninggal beliau telah menyatakan bahwa dalam kehidupan selanjutnya akan lahir seorang pria. Hal itu diketahui bahwa cucu laki-lakinya menunjukkan kepada ayahnya mengenai perhiasan ratu terakhir dan menyatakan bahwa perhiasan itu miliknya. (Schoorl, 1982: 105-106).
Kepercayaan tentang hal ini, tak hanya berkembang di Buton. Di daerah Pulau Muna dan Tiworo berkembang juga kepercayaan seperti itu juga, tetapi ada yang berpindah kepada binatang.
Menurut A.M. Zahari, pada tahun 1930-an pernah menyaksikan buaya yang berkepala putih di sebuah kali di daerah Tiworo. Buaya yang berkepala putih itu adalah jelmaan seorang haji yang berkeinginan mengetahui kehidupan hewan. (Zahari, 1977:39). Sejalan dengan cerita itu, di Muna juga terdapat kisah mengenai sangia I Rape mengenai anak raja yang berubah menjadi buaya. Saudara La Kilaponto atau Murhum (Sultan pertama Buton) dikisahkan di Muna menjadi ular yang bernama La Ode Wuna. (van Der Aa, 1851); (Klift, 1921) ** (ref)