Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Derita eks-tapol PKI di Bumi Anoa Sulawesi Tenggara

Lambatu, eks-tapol PKI, berpose dari balik jendela gubuknya di Kampung Nanga-Nanga Kendari, Sulawesi Tenggara.

Tertuduh PKI di Sulawesi Tenggara ditangkap tanpa surat, lalu jadi buangan tanpa pengadilan. Saat bebas, mereka dilepas di hutan belantara bak penjara tanpa jeruji.


Rimbun pohon jambu mete mengelilingi gubuk berukuran lima kali enam meter. Atapnya ringsek lantaran menopang dahan pohon yang menjulur tak keruan. Dinding papannya miring di beberapa titik, dengan cat kelir putih yang terkelupas sana sini.

Ia seakan-akan tengah bertarung dengan waktu, sebagaimana pemiliknya: Lambatu. Pria renta itu menyambut saya dengan senyuman, Minggu pagi (11/2/2018). "Selamat datang di gubuk saya," katanya.

Usianya masuk 81. Jalannya pincang. Rambutnya beruban. Kulitnya keriput. Pendengarannya terganggu. Meski begitu, suaranya masih lantang dan ingatannya jernih belaka.

Lambatu merupakan salah satu eks-tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendiami Kampung Nanga-nanga, Kecamatan Baruga, Kendari, Sulawesi Tenggara.

Kampung itu berjarak sekitar 20 kilometer dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Nanga-Nanga, dulunya hutan belantara, dibuka pemerintah pada 1978 guna menampung eks-tapol PKI dari daerah tingkat dua di Sulawesi Tenggara, macam Buton, Muna, Kolaka dan Kendari.

Eks-tapol lain datang dari Moncong Loe, Ujung Padang--kini Makassar, Sulawesi Selatan.
"Semua (orang) dapat bagian disetrum. Kita terbanting seperti ayam dipotong, diinjak sampai tulang patah. Dua orang meninggal di tempat usai disetrum dan dicambuk."

Lambatu berkisah tentang perjalanannya sebagai kader komunis dan hari-hari kelam pasca-30 September 1965. Dia berkenalan dengan teori Marxisme-Leninisme, tatkala merantau ke Makassar pada pengujung dekade 1950-an.

Kala itu, Lambatu muda menempuh ilmu di Sekolah Menengah Kehakiman Atas Makassar, sembari kerja paruh waktu di Perpustakaan Negara. Kerja di sekeliling buku mempertemukannya dengan komunisme.

“Saya tertarik dengan buku-buku karya Marx dan Lenin. Saya terpikat, karena di dalamnya menjelaskan proses masyarakat berkembang dari masa ke masa," kata dia.

Lantaran banyak baca buku, begitu pulang kampung, Lambatu segera menonjol sebagai kader komunis. Pada 1963, dia menjabat Sekretaris Comite Sub Seksi (CSS) PKI Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton.

Beberapa pekan setelah Gerakan 30 September (G30S) meletus di Jakarta, Lambatu sudah punya firasat buruk. Pasalnya, dia sudah dengar kabar yang menyebut PKI sebagai dalang aksi penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam peristiwa G30S.

Firasat Lambatu jadi kenyataan pada sore kelabu, 30 November 1965, ketika para tentara mendatangi rumahnya. Dia ditangkap tanpa surat perintah, lebih-lebih putusan pengadilan.

Bersama banyak orang lainnya, Lambatu dijebloskan ke penjara Kantor Komando Distrik (Kodim) Buton.

Aksi anti-PKI kian ramai beriring kasak-kusuk soal status Buton sebagai daerah yang menampung pasokan senjata asal Tiongkok. Isu itu segera membakar amarah warga--terutama lawan-lawan politik PKI.

Pada 1969, Pangdam VII Wirabuana, Andi Azis Rustam membantah isu tersebut. Namun bantahan datang terlambat. Ribuan orang telanjur jadi pesakitan. Bahkan ada indikasi eksekusi dan kuburan massal para tertuduh PKI di Buton.

Lambatu dan kawan-kawan yang jadi pesakitan mesti menghuni terungku tentara selama lima tahun (1965-1970). Nyaris saban hari pula menjalani pemeriksaan beriring tekanan dan penyiksaan. Mereka dicecar pertanyaan seputar rencana makar komunis.

"Semua (orang) dapat bagian disetrum. Kita terbanting seperti ayam dipotong, diinjak sampai tulang patah. Dua orang meninggal di tempat usai disetrum dan dicambuk,” cerita Fauzu (74), penghuni Nanga-Nanga sekaligus mantan petinggi PKI Buton. Lantaran penyiksaan, satu mata Fauzu buta.

Setelah lima tahun, para tahanan politik mulai diklasifikasikan sesuai “kadar keterlibatannya”: Golongan A ditahan di Makassar; Golongan B dibawa ke Kampung Pengasingan Ameroro, Kabupaten Konawe; Golongan C dibebankan wajib lapor.

Nama Lambatu dan Fauzu masuk lis 162 tapol golongan B yang dibawa ke Ameroro.

Di sana bentuk penyiksaan fisik berganti kewajiban kerja paksa tanpa upah. Mereka dipaksa mengerjakan proyek Komando Resort Militer (Korem) berupa penggergajian kayu.

Kaki dan tangan para tertuduh PKI itu ikut membangun lapangan Benu Benua—kini jadi pusat olah raga di Kendari. Banjir peluh mereka turut jatuh dalam pembangunan jalan di Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe Selatan.

Hampir delapan tahun di Ameroro, pada 1978, para tapol akhirnya dibawa ke Nanga-Nanga. Pada fase awal, total tapol yang mendiami "area pembebasan" itu sebanyak 42 orang. Mereka diberi rumah sederhana dan area hutan sekitar 1.000 hektare.

"Kami hanya ditunjukkan hutan untuk digarap sebagai sumber mata pencaharian,” kenang Lambatu.

Pada hari-hari kelam sebagai pesakitan, Lambatu pun kehilangan istrinya, Wa Ode Zatimah, yang harus menderita selama 12 tahun (1965-1977) hingga akhirnya tutup usia.

“Ada dugaan, dia (Zatimah) meninggal akibat pelecehan seksual. Sebab, setiap melihat baju loreng, dia pingsan," kata Lambatu. Dia mengaku sedih sebab tak pernah melihat kekasihnya selama di pengasingan.

Setahun setelah istri pertamanya meninggal, Lambatu menikahi seorang gadis yang tinggal tak jauh dari kampung pengasingan di Ameroro. Dari istri keduanya, Lambatu dikaruniai empat anak.

                                                                               ***
Bihina

Bihina seorang kader komunis militan pada masa mudanya. Sejak 1954, pria kelahiran Menui, Sulawesi Tengah itu sudah gabung Pemuda Rakyat--organisasi onderbouw PKI.

Dia juga kerap dikirim ke Jawa guna mendapat pelatihan pengaderan. Bihina mengaku pernah dengar langsung ceramah Bung Karno dalam pelatihan nasakom (nasionalis, agama dan komunis) di Jakarta.

“Selain Bung Karno, ada 32 orang menteri yang memberikan materi pada saat itu,” kenangnya. “Saya juga dapat surat penghargaan dari DN. Aidit langsung.”

 Pada 1965 , Bihina sudah jadi politisi terkemuka di Bumi Anoa. Saat itu, di Kabupaten Kendari, dia pegang peran sebagai Ketua Comite Seksi PKI, sekaligus jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pamornya redup setelah badai politik pada pengujung 1965. Padahal, dia mengaku tak tahu-menahu soal G30S di Jakarta. Bahkan ketika aksi yang dipimpin Letkol Untung itu terjadi di ibu kota, Bihina masih memimpin ribuan massa kerja bakti di Kendari.

Kata Bihina, dirinya baru dengar kabar penculikan dan pembunuhan para jenderal di Jakarta pada 4 Oktober 1965 dalam sidang DPRD Kabupaten Kendari.

Sontak, Bihina meminta DPRD Kabupaten Kendari mengirim pernyataan mengutuk G30S. “Itu termuat dalam notulensi rapat,” katanya.

Namun, nun jauh di seberang, PKI sudah dituding sebagai dalang G30S. Perburuan kader komunis segera terjadi, tinggal menunggu waktu untuk sampai ke Bumi Anoa.

Bihina, ketika itu berusia 27, ditangkap tentara tanpa perlawanan di rumahnya, bilangan Kampung Butung.

Saat itu, tentara dan anggota organisasi sayap kanan melakukan razia kader komunis di Kendari. “Padahal PKI adalah barang resmi dari pemerintahan Soekarno,” keluhnya.

Orang-orang yang tertangkap dibawa ke markas Kodim Kendari. Di sana, selama bertahun-tahun, mereka diinterogasi.

Pada 1970, seperti Lambatu dan para tapol Golongan B lainnya di Sultra, Bihina dibuang ke kampung pengasingan atau instalasi rehabilitasi di Ameroro.

Nyaris delapan tahun berselang, Bihina masuk dalam rombongan tapol yang beroleh “kebebasan” di belantara Nanga-Nanga.

                                                                       ***

Bihina mengenang masa-masa awal di Nanga-Nanga sebagai fase kebebasan semu nan sulit. Demi bertahan hidup, para eks-tapol membuka hutan dan menanam jambu mete. Biasanya, hasil panen dijual ke Kendari.

Lantaran tak ada jalan akses, warga mesti jalan kaki memikul hasil bumi sejauh puluhan kilometer. Jalannya pun berlumpur, lebih-lebih kalau hujan.

Mereka juga hidup tanpa listrik selama puluhan tahun--baru masuk pada 2008. Pun demikian air bersih yang baru mengalir ke rumah sekitar dua tahun silam.

Hingga kini, ada puluhan gubuk papan enam kali delapan meter milik para eks-tapol. Gubuk-gubuk itu tampak reyot, seperti rumah Lambatu, karena tak pernah disentuh perbaikan sejak diberikan empat puluh tahun silam.

Jangankan memperbaiki rumah, bertahan hidup untuk makan pun sulit. Keluh itu kerap terdengar bila bertanya soal bentuk fisik rumah.

Kondisi macam di muka bikin banyak eks-tapol PKI keluar dari Nanga-Nanga, termasuk Bihina.

"Saya keluar dari sana sekitar 1989," kata Bihina. "Kehidupan di sana sangat sulit. Hanya orang yang kuat baru bisa bertahan di sana. Kebutuhan makanan saja sulit didapat."

Lambatu punya ungkapan lain soal kesulitan cari makan di penjara tanpa jeruji itu. “Kalau ke pasar, tanpa sepengetahuan aparat, kita dianggap pemberontak,” ujarnya.

Belakangan, hari-hari di Nanga-Nanga kian sepi. Kebanyakan eks-tapol sudah bepergian ataupun berpulang.

Saat saya berkunjung, tengah Februari 2018, tersisa Lambatu dan Fauzu* yang jadi penghuni Nanga-Nanga. Ada pula beberapa janda eks-tapol PKI.

Bagi Lambatu dan Fauzu, tempat itu telanjur jadi saksi perjalanan hidup mereka. Suka tak suka, Nanga-Nanga telah jadi rumah bagi keduanya. Mereka pun berharap tragedi politik serupa 1965 tak terulang lagi di Indonesia.

“Menghukum orang harus ada pembuktian pengadilan,” kata Lambatu. “Di sisa umur, kami hanya butuh pemulihan nama baik di masyarakat.” (Disadur dari Laman Beritagar.id tulisan La Ode Pandi Sartiman , Muammar Fikrie)
*)Fauzu, salah seorang narasumber dalam artikel ini telah berpulang.

Baca Juga : Tahukah Anda, Penggagas nama Bahasa Indonesia?

Posting Komentar

0 Komentar


Memuat...