Butonmagz, masih dalam proses perbaikan web, bila ada kendala pembacaan informasi mohon permakluman

Bangkitnya (Kembali) Penghayat Kepercayaan di Indonesia


Penghayat kepercayaan menganut ajaran warisan penutur Austronesia yang datang ke Nusantara ribuan tahun lalu. Namun, mereka diperlakukan seperti tamu. sebuah tulisan bernas dari Risa Herdahita Putri dari Majalah Historia.

LIMA rato (imam Marapu) mengadakan ritual untuk melepas Mikael Keraf ke Yogyakarta. Pastor yang mendalami dan membela hak-hak penganut Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur itu telah membagi pengetahuannya soal Marapu dalam seminar agama-agama Nusantara di acara Borobudur Writers & Cultural Festival, 23-25 November 2017 lalu.

Dalam proses itu, seekor ayam dibelah. Lewat usus dan darahnya, rato membaca apakah misi ini baik atau tidak. Ketika pertanda itu dibaca, burung-burung berterbangan di atap rumah. “Itu burung keila Marapu. Burung suci yang dilindungi itu ribut sekali di atas pertanda saya direstui. Senang sekali saya,” kata Mikael di Hotel Manohara, Magelang, seusai acara.

Mikael mengatakan masyarakat Marapu yang hanya dijumpai di Sumba memang akrab dengan tanda-tanda alam. Ada suku yang akrab dengan hujan. Ada pula yang akrab dengan halilintar. Itu karena inti ajaran mereka terpusat pada etika lingkungan, hubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan leluhur dan Yang Maha Kuasa.

“Mereka punya hubungan kekerabatan yang kuat sekali dengan kuasa kosmik,” ujarnya.

Apa yang terlihat dari masyarakat Marapu merupakan khas dari agama-agama kuno di Nusantara. Arkeolog Agus Widiatmoko menjelaskan, agama yang telah ada sebelum agama-agama dominan masuk, memegang tiga prinsip: meyakini hubungan antara manusia dengan Yang Kuasa, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan tumbuhan, hewan, dan lingkungan.

“Itulah prinsip dasar agama Nusantara sebelum pengaruh agama luar datang. Jadi, yang namanya agama asli Nusantara konsepnya sama,” ujar Agus.

Keyakinan itu awalnya dibawa para penutur Austronesia yang bermigrasi sekira 4000 tahun lalu dari utara, yaitu Pulau Formosa, Taiwan ke Kepulauan Nusantara. “Tradisinya sama. Seperti makan sirih. Ini orang-orang asli kita,” jelasnya.

Ketika Hindu-Buddha masuk, sebagian penganut budaya Austronesia masih memelihara keyakinannya. Bahkan, hingga kini masih bisa disaksikan di Toraja. Pun di masyarakat Dayak, Kalimantan.

“Hindu Buddha ketika itu tidak mayoritas. Hanya di Jawa dan Bali. Di luar itu sedikit sekali. Di Pulau Nias, kebudayaan asli Nusantara masih ada ketika penjajah datang, termasuk di Toraja,” terangnya.

Bahkan, di wilayah yang mayoritas beragama Hindu pun, ajaran sebelumnya masih muncul dan membaur. Buktinya, Hindu di Bali dan India sangat berbeda. “Makanya di Bali ada konsep tri hita karana. Di India tidak ada. Artinya ada asimilasi,” lanjut Agus.

Tak Diakui
Sayangnya, para penganut ajaran kuno itu seakan menjadi tamu di negeri sendiri. Mereka mendapat diskriminasi sampai ke tingkat regulasi.

Sudarto, peneliti dari Setara Institute mengatakan, setelah Pemilu pertama tahun 1955, para penghayat kepercayaan jumlahnya meningkat hingga 350 kelompok. Mereka dikonsolidasi oleh mantan Wakil Perdana Menteri KRT Wongsonegoro. Sebelumnya, pada 1951, dia mengadakan kongres kebatinan di Solo. Dia memaknai apa yang dimaksud “kepercayaan” dalam Pasal 29 UUD 1945 adalah ajaran kebatinan.

“Agama lokal menguat. Dalam kongres kedua dikuatkan lagi. Jadi, pasal 29 itu untuk mengakomodir kepercayaan ini,” jelas Sudarto.

Namun, pengertian itu mendapat penentangan. Menurut Sudarto, mereka yang menentang mengartikan dimaksud “kepercayaan” dalam Pasal 29 adalah sekte-sekte dalam Islam, seperti Sunni dan Syiah.

Menguatnya pengaruh kelompok penghayat kepercayaan membuat gelisah penganut agama mayoritas. Akhirnya, pada 1962 Kementerian Agama membuat definisi agama berdasarkan pendapat Menteri Agama Mukti Ali. “Agama itu harus punya Tuhan, harus punya kitab suci, harus dogmatis, harus punya nabi. Kepercayaan pun dianggap sempalan,” kata Sudarto.

Efeknya, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, para penganut kepercayaan yang tak sesuai definisi agama dianggap tak punya agama. Mereka dianggap komunis. “Yang artinya PKI. Jadi kalau mau hidup harus memilih di antara agama yang diakui itu,” kata Sudarto.

Pada tahun itu pula lahir UU PNPS No. 1/1965. Isinya tentang penodaan agama dan melindungi agama yang diakui pemerintah dari ajaran-ajaran penghayat kepercayaan. “Ini adalah awal dari tidak diakuinya agama para penghayat kepercayaan secara regulatif,” kata Sudarto.

Penghayat kepercayaan pun memasuki masa kritis. Pada 1967, bahkan Kong Hu Cu pun tak disebut agama karena indentik dengan Tiongkok dan komunis. Ramai-ramai penganut Kong Hu Cu pindah agama. Jumlah penganut Katolik dan Kristen meningkat tajam dari 3 persen menjadi 6-7 persen.

“Orang Kong Hu Cu tidak mau masuk Islam karena perbedaan kultur yang tajam. Maka mencuatlah isu Kristenisasi, resahlah orang Islam. Tahun itu terjadi pembakaran gereja pertama di Aceh, disusul Palembang dan Makassar,” kata Sudarto.

Cara Bertahan
Para penghayat kepercayaan sulit mendapat hak-hak sebagai warga negara seperti identitas keagamaan, pencatatan sipil atas pernikahan, akte kelahiran, hak pendidikan, termasuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Akhirnya banyak yang terpaksa beralih agama hanya agar mendapat hak-haknya.

Hal itu disampaikan Mikael Keraf setelah 2,5 tahun mendampingi komunitas Marapu. Mereka baru bisa mengakses pendidikan, hak-hak sosial, tabungan di bank, hanya jika menulis kolom agama dengan agama yang diakui negara.

“Ada kesadaran kalau komunitas ini termarjinalkan terutama dari agama mayor juga dari komunitas modern. Mereka susah mendapat hak politik, hak sosial, tak punya akses ke bank dan akses ke pendidikan tinggi,” jelas Mikael.

Lebih ekstrim lagi, penganut Kaharingan di Kalimantan bahkan sampai menyusun kitab suci pada 1980-an agar dianggap beragama. Dalam usaha itu mereka dibantu antropolog Jerman dan Indonesia. “Menarik sekali, mana yang dimasukkan ke kitab, mana yang tidak. Ada perdebatan mengenai mana cerita yang dimasukkan,” ujar Marko Mahin, aktivis di Lembaga Studi Dayak-21.

Baca Juga : Pecinan Baubau, Kawasan Tua yang Tergeser Modernitas

Pada 1980-an, mereka ramai-ramai datang ke Bali untuk menjadi penganut Hindu Kaharingan. Sebelumnya, kata Marko, masyarakat Kaharingan sempat mendatangi Islam dan Kristen. Namun, mereka diminta melepas kepercayaan Kaharingan mereka.

“Islam tidak makan babi, mereka makan. Tanpa khotbah, tanpa ceramah, jumlah penganut Hindu meningkat jadi 300,” kata Marko.

Sementara itu, masyarakat Parmalim yang menganut Agama Malim lebih memilih Kristen. Ferry Wira Padang, direktur Aliansi Sumut Bersatu (ABS) mengatakan usaha itu dilakukan supaya lebih mudah menerima pendidikan. Meskipun demikian, mereka tetap menjaga eksistensi ajaran Agama Malim salah satunya dengan cara memberikan kelas setiap Sabtu dan Minggu.

“Tiap komunitas Parmalim ada guru yang bertugas mewariskan nilai-nilai itu,” ujar Ferry yang dalam empat tahun ini bekerja untuk inklusi sosial penghayat kepercayaan di Sumatra Utara.
Jumlah penghayat kepercayaan mencapai puncaknya pada 1972 dengan 644 kelompok yang terdaftar di Sekretariat Kerjasama Kepercayaan. Namun, jumlahnya kemudian menurun. Pada 2003, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat tinggal 245 kelompok. Tiga tahun kemudian turun menjadi 214 kelompok. Sejak 2016 tinggal 186 kelompok. Kini, tercatat 12 juta jiwa yang terdaftar sebagai penganut aliran kepercayaan di bawah naungan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI).

Mikael mencatat hanya tinggal 12 persen penduduk Sumba yang masih menganut Marapu. Mereka didominasi oleh generasi tua. Sisanya menganut agama-agama mayor seperti Katolik, Protestan, Islam, dan sedikit Hindu. Marko mencatat penganut Kaharingan hanya delapan persen dari total penduduk Kalimantan Tengah. Sedangkan jumlah Parmalim sekira 20.000 jiwa tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Respons Keputusan MKMelihat sejarahnya, kata Sudarto, ada dua masalah mengapa penghayat kepercayaan sulit diterima: kekhawatiran agama besar jumlah penganutnya berkurang dan masalah dalam memahami agama dan kepercayaan.

“Jangankan rakyat, pejabat saja tidak bisa membedakan. Tuhan tidak pernah mendefinisikan agama itu apa. Agama dimasukkan dalam studi agamanya Barat. Ciri-cirinya punya Tuhan, nabi, kitab suci; kalau tidak punya, tidak dianggap agama,” kata Sudarto.

Sudarto menduga, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan penghayat kepercayaan bisa masuk ke kolom agama di KTP, akan banyak orang yang kembali kepada kepercayaan awalnya. “Jangan-jangan yang 87,15 persen Islam bisa jadi tinggal 60 persen saja di Indonesia, yang kejawen juga mungkin akan menikmati ruang ini,” kata Sudarto.

Meski ada yang menganggap sebagai momentum penguatan bagi penghayat kepercayaan, tetapi ada pula yang curiga. Seperti sebagian penganut Kaharingan. “Hasil keputusan MK ini dicurigai seperti teknik memancing macan turun dari gunung. Tinggal pukul-pukul kepalanya, selesai,” kata Marko.

Kendati begitu, yang menyambut gembira lebih banyak. Mereka pun tak perlu lagi mencantumkan “Hindu” di kolom agama pada KTP mereka. “Tapi ada juga elite Kaharingan yang sudah terlanjur enak di Hindu, mereka menolak,” ujar Marko.

Mikael pun yakin warga Marapu sangat ingin mencatumkan “Marapu” di kolom agama pada KTP mereka. Bahkan, mereka tengah mempersiapkan merayakan keputusan MK di Festival Waikumba ke-6 pada 1-3 Desember 2017. Acara itu jadi momentum untuk mensosialisasikan keputusan MK sekaligus deklarasi eksistensi Marapu di Sumba.

Mikael optimistis semua yang diam karena dominasi Katolik dan Kristen akan kembali bangkit bersama agama yang telah terdiskriminasi sebelumnya. “Ternyata mereka tetap Marapu. Setelah ini akan banyak orang mengaku Marapu. Apa itu sinkretisme, bagi saya, kita tidak bisa lepas dari akar sejarahnya,” ujarnya.(**)

Posting Komentar

0 Komentar



  • Asal Usul Nama Sulawesi dan Sebutan Celebes
    Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)BUTONMAGZ--Sulawesi dan Celebes merupakan pulau terbesar kesebelas di dunia. Menurut data Sensus 2020, penduduknya mencapai kurang dari 20 juta jiwa, yang tersebar di...
  • Tragedi Sejarah Lebaran Kedua di Tahun 1830
    Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.BUTONMAGZ---Hari ini penanggalan islam menunjukkan 2 Syawal 143 Hijriah, dalam tradisi budaya Islam di Indonesia dikenal istilah 'Lebaran kedua',  situasi dimana semua orang saling...
  • Kilas sejarah singkat, Sultan Buton ke-4 : Sultan Dayyanu Ikhsanuddin
    Apollonius Schotte (ilustrasi-Wikipedia)BUTONMAGZ—Tulisan ini merupakan bagian dari jurnal Rismawidiawati – Peneliti pada Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, dengan judul  Sultan La Elangi (1578-1615) (The Archaeological Tomb of the Pioneers “Martabat Tujuh” in the Sultanate...
  • Peranan Politik Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton (Bagian 3)
    Pulau Sagori (kini wilayah Bombana) yang banyak menyimpan cerita zaman Kesultanan ButonBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu...
  • Mengenal Pribadi Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian 2)
    Pulau Makasar di Kota BaubauBUTONMAGZ---Tulisan ini disadur dari Jurnal Ilmiah berjudul ‘Peranan Sultan Mardan Ali di Kesultanan Buton: 1647-1657M, yang ditulis Asniati, Syahrun, La Ode Marhini dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.Di bagian pertama menjelaskan tentang profil awal...
  • Mengenal sosok Sultan Mardan Ali. Sultan Buton yang dihukum Mati (Bagian I)
    Makam Sultan Mardan Ali 'Oputa Yi Gogoli'  (foto rabani Unair Zone)BUTONMAGZ--- cerita tentang kepemimpinan raja dan sultan di Buton masa lalu menjadi catatan tersendiri dalam sejarah masyarakat Buton kendati literasi tentang itu masih jarang ditemukan. Salah satu kisah yang menarik adalah...
  • Sejarah Kedaulatan Buton dalam Catatan Prof. Susanto Zuhdi
    foto bertahun 1938 dari nijkmusem.dd----8 April 1906, Residen Belanda untuk Sulawesi, Johan Brugman (1851–1916), memperoleh tanda tangan atas kontrak baru dengan Sultan Aidil Rakhim (bernama asli Muhamad Asyikin, bertakhta 1906–1911) dari keluarga Tapi-tapi setelah satu minggu berada di...
  • Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Kelahiran Buton, Siapa Dia?
    Nadjamuddin Daeng MalewaBUTONMAGZ---Tak banyak yang mengenal nama tokoh ini di negeri Buton, namun di Makassar hingga politik ibu kota masa pergerakan kemerdekaan, nama ini dikenal sebagai sosok politis dengan banyak karakter. Namanya Nadjamuddin Daeng Malewa, lahir di Buton pada tahun 1907. Ia...

  • Inovasi di Desa Kulati - Wakatobi, Sulap Sampah Jadi Solar
    BUTONAMGZ---Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan keindahan surga bawah lautnya, ternyata memiliki sebuah desa yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana dihuni oleh masyarakat yang sangat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.Daerah ini bernama Desa Kulati yang mayoritas...
  • Repihan Tradisi dan Sejarah di Kepulauan Pandai Besi - Wakatobi
    BUTONMAGZ---Kepulauan Pandai Besi adalah julukan untuk empat pulau besar dan sejumlah pulau kecil lain di ujung tenggara Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Penamaan itu diberikan pada masa Hindia Belanda karena kepandaian masyarakatnya dalam pembuatan senjata tradisional berbentuk keris dan peralatan...
  • Tari Lariangi - Kaledupa; Tarian Penyambutan dengan Nuansa Magis
    Penari Lariangi. (Dokumen Foto La Yusrie)BUTONMAGZ---Kepulauan Buton tak hanya kaya dengan kesejarahan dan maritim, budaya seninya pun memukau. Salah satunya Tari Lariangi yang berasal dari Kaledupa Kabupaten Wakatobi – Sulawesi Tenggara saat ini.Melihat langsung tarian ini, magisnya sungguh terasa...
  • KaTa Kreatif 2022: Potensi 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih. Wakatobi terpilih!
    Wakatobi WaveBUTONMAGZ--Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, secara resmi membuka kick off KaTa Kreatif 2022 pada Januari lalu. Di dalam program ini terdapat 21 Kabupaten/Kota Kreatif Terpilih dari total 64 Kabupaten/Kota yang ikut serta.KaTa Kreatif...
  • Tiga Lintasan Baru ASDP di Wakatobi Segera Dibuka
    BUTONMAGZ---Sebanyak tiga lintasan baru Angkutan, Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Baubau di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, segera dibuka menyusul telah disiapkannya satu unit kapal untuk dioperasikan di daerah itu. Manager Usaha PT ASDP Cabang Baubau, Supriadi, di Baubau,...
  • La Ola, Tokoh Nasionalis dari Wakatobi (Buton) - Pembawa Berita Proklamasi Kemerdekaan Dari Jawa.
    BUTONMAGZ—Dari sederet nama besar dari Sulawesi Tenggara yang terlibat dalam proses penyebaran informasi Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Ada satu nama yang (seolah) tenggelam dalam sejarah.  Di adalah La Ola. Nama La Ola terekam dalam buku berjudul “Sejarah Berita...
  • Jatuh Bangun dan Tantangan bagi Nelayan Pembudidaya Rumput Laut di Wakatobi
    ilustrasi : petani rumput laut BUTONMAGZ---Gugusan Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara terdiri dari 97 persen lautan dan hanya 3 persen daratan. Dari 142 pulau-pulau kecil, hanya 7 pulau yang berpenghuni manusia. Saat ini pariwisata bahari menjadi andalan pendapatan perkapita masyarakat di...
  • Kaombo, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal
    BUTONMAGZ--Terdapat sebuah kearifan lokal di masyarakat Kepulauan Buton pada umumnya. Di Pulau Binongko - Wakatobi misalnya, oleh masyarakat setempat kearifan ini digunakan untuk menjaga kelestarian alam. Mereka menyebutnya tradisi kaombo, yakni sebuah larangan mengeksploitasi sumber daya alam di...