Oktober diperingati sebagai Bulan Bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia dikukuhkan pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Dalam kongres itu, perkumpulan-perkumpulan pemuda Indonesia yang berdasarkan kebangsaan dengan berbagai nama.
Ada Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia mengambil keputusan yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Salah satu butir Sumpah Pemuda adalah “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA”.
Walaupun 28 Oktober ditetapkan sebagai hari lahir bahasa Indonesia, sebenarnya, nama bahasa Indonesia sudah muncul pada Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926, yang diusulkan oleh M. Tabrani. Karena itu, Guru Besar Luar Biasa Universitas Indonesia bidang Linguistik, Prof. Dr. KPH. H.E. Harimurti Kridalaksana, menyatakan 2 Mei 1926 sebagai hari lahir bahasa Indonesia.
Ia menulis pernyataannya itu dalam buku berjudul Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (Penerbit Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009). Buku itu diterbitkan lagi oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.
Ada Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia mengambil keputusan yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Salah satu butir Sumpah Pemuda adalah “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA”.
Walaupun 28 Oktober ditetapkan sebagai hari lahir bahasa Indonesia, sebenarnya, nama bahasa Indonesia sudah muncul pada Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926, yang diusulkan oleh M. Tabrani. Karena itu, Guru Besar Luar Biasa Universitas Indonesia bidang Linguistik, Prof. Dr. KPH. H.E. Harimurti Kridalaksana, menyatakan 2 Mei 1926 sebagai hari lahir bahasa Indonesia.
Ia menulis pernyataannya itu dalam buku berjudul Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (Penerbit Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009). Buku itu diterbitkan lagi oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.
Dalam buku tersebut, dengan mengutip buku biografi Mohammad Tabrani, Anak Nakal Banyak Akal (Aqua Press, 1979)—saya menduga slogan Mojok.co, Sedikit Nakal Banyak Akal, terinspirasi dari judul buku ini—Harimurti menceritakan proses disepakatinya nama bahasa Indonesia. Ketika mempersiapkan Kongres Pemuda I, M. Yamin menyiapkan pidato tertulis dengan judul “Hari Depan Bahasa-Bahasa Indonesia dan Kesustraannya”.
Tiga anggota perumus kongres telah meneliti pidato Yamin tersebut sebelum diucapkan dalam sidang kongres, yakni Sanusi Pane, Djamaloedin, dan Tabrani. Dalam konsep pidato itu, Yamin menuliskan butir terakhir Sumpah Pemuda: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatuan, Bahasa Melajoe. Tabrani menolak nama bahasa Melayu sebagai nama bahasa persatuan.
Menurutnya, kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, bahasa persatuannya disebut bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Yamin marah kepada Tabrani dengan mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak ada karena yang ada adalah bahasa Melayu.
Tabrani lalu menanggapi Yamin dengan mengutarakan, “Alasanmu, Yamin, betul dan kuat, maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya. Namun, saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Kalau belum ada, harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Pertama ini.”
Usulan Tabrani disetujui oleh Sanusi Pane, sedangkan pendapat Yamin disetujui oleh Djamaloedin sehingga kedua gagasan tersebut sama kuat. Karena itu, mereka mengambil kebijaksanaan bahwa keputusan terakhir ditunda sampai Kongres Pemuda II. Pada Kongres Pemuda II, dengan berat hati, Yamin menyetujui nama bahasa Indonesia sebagai nama bahasa persatuan.
Oleh sebab itu, Harimurti dalam buku Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia menyatakan 2 Mei 1926 sebagai hari lahir bahasa Indonesia dan yang mengusulkan nama itu M. Tabrani (ia catat dengan huruf tebal), sedangkan 28 Oktober 1928 ia anggap sebagai tanggal Sumpah Pemuda.
“Hal itu perlu ditegaskan dalam buku ini karena hingga kini kapan lahirnya bahasa nasional kita dan siapa yang memberi nama Bahasa Indonesia tidak pernah dipersoalkan orang. Memang nama Indonesia sendiri sudah jelas sejarahnya, tetapi tentu di dalamnya tidak tercakup nama Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan Indonesia; apalagi dalam kajian linguistik historis, nama Indonesia juga digunakan untuk nama rumpun bahasa, untuk membedakannya dari rumpun Polinesia, Melanesia, dan Mikronesia.
Jadi, kita membedakan Bahasa Indonesia (‘B’ huruf besar), bahasa nasional kita, dan bahasa Indonesia (‘b’ huruf kecil), salah satu rumpun bahasa dalam keluarga Bahasa Austronesia,” tutur Harimurti.
Berdasarkan sejarah hari lahir bahasa Indonesia itu, menurut saya, Bapak Bahasa Indonesia bukan Raja Ali haji, seperti yang diakui selama ini karena penulis Gurindam 12 itu tidak mengenal nama bahasa Indonesia. Yang pantas menyandang gelar Bapak Bahasa Indonesia adalah M. Tabrani.
Kalau M. Tabrani tidak mengusulkan nama bahasa Indonesia sebagai nama bahasa persatuan, hingga hari ini, nama bahasa nasional kita mungkin bahasa Melayu, seperti nama bahasa negara Malaysia. Jadi, sudah seharusnya pemerintah menetapkan M. Tabrani sebagai Bapak Bahasa Indonesia. (dari berbagai sumber)
Baca Juga : Dulu Orang Buton di Papua, di sebut Orang Pouton