![]() |
Pemandangan kawasan Gunung Lambelu |
BUTONMAGZ—Terkadang kita berpikir, begitu hikmat dan arifnya para pendahulu dalam memberi batas-batas kewilayahan antara wilayah di sebuah negeri. Sebut saja Buton dan Muna, dua pulau yang wilayahya, masing-masing terbagi dua secara adil.
Pulau Buton di bagi dua, bagian utara (dulu sebelum terjadi beberapa pemekaran) masuk wilayah Kabupaten Muna, bagian selatan wilayah Buton. Demikian halnya pulau Muna, di bagian utara masuk wilayah administratif Kabupaten Muna, sementara bagian selatannya masuk wilayah Kabupaten Buton. Seolah kedua pulau, wilayahnya diiris secara berimbang.
Tetapi tahukah Anda tentang batas wilayah Buton dan Muna di Pulau Buton? Namanya desa Liwu Metingki, dulu hanyalah sebuah dusun kecil yang terletak di kaki gunung Lambelu dalam wilayah Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Muna.
Dari bahasa lokal setempat, Liwu Metingki berarti ‘kampung yang tinggi’ mungkin karena berada di kaki gunung, kemudian warga menyebutnya seperti itu. Tetapi desa ini punya catatan sejarah besar bagi Buton dan Muna di masa kekinian. Sebab di sanalah batas dua daerah sekaligus dua kerajaan yang pernah ada.
Tidak diperoleh tahun pasti tentang penetapan batas wilayah di Liwu Metingki, namun tuturan Drs. Sumarto Lanae, mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Buton di era pemerintahan Bupati Buton Safei Kahar kepada Butonmagz pekan ini (3 Maret 2019), menyebut bila batas tersebut dimonumenkan langsung oleh Sultan Buton ke-38, YM. Sri Sultan La Ode Falihi yang berkuasa sejak tahun 1937 hingga 1960. Sultan terakhir sebelum Buton melebur masuk ke dalam NKRI.
Pulau Buton di bagi dua, bagian utara (dulu sebelum terjadi beberapa pemekaran) masuk wilayah Kabupaten Muna, bagian selatan wilayah Buton. Demikian halnya pulau Muna, di bagian utara masuk wilayah administratif Kabupaten Muna, sementara bagian selatannya masuk wilayah Kabupaten Buton. Seolah kedua pulau, wilayahnya diiris secara berimbang.
Tetapi tahukah Anda tentang batas wilayah Buton dan Muna di Pulau Buton? Namanya desa Liwu Metingki, dulu hanyalah sebuah dusun kecil yang terletak di kaki gunung Lambelu dalam wilayah Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Muna.
Dari bahasa lokal setempat, Liwu Metingki berarti ‘kampung yang tinggi’ mungkin karena berada di kaki gunung, kemudian warga menyebutnya seperti itu. Tetapi desa ini punya catatan sejarah besar bagi Buton dan Muna di masa kekinian. Sebab di sanalah batas dua daerah sekaligus dua kerajaan yang pernah ada.
Tidak diperoleh tahun pasti tentang penetapan batas wilayah di Liwu Metingki, namun tuturan Drs. Sumarto Lanae, mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Buton di era pemerintahan Bupati Buton Safei Kahar kepada Butonmagz pekan ini (3 Maret 2019), menyebut bila batas tersebut dimonumenkan langsung oleh Sultan Buton ke-38, YM. Sri Sultan La Ode Falihi yang berkuasa sejak tahun 1937 hingga 1960. Sultan terakhir sebelum Buton melebur masuk ke dalam NKRI.
Prasasti yang tak lekang oleh zaman
Bentuk monumennya sederhana, yakni serumpun bambu kuning yang sejatinya menjadi ‘prasasti’ hidup hingga sekarang. Ini pula di akui beberapa masyarakat setempat tentang ‘prasasti bambu kuning ini’. ia tetap tumbuh kendati musim kemarau dan kebakaran hutan melalapnya.
“Sudah pernah dimatikan tetapi tetap tumbuh pak, itu dulu di tanam langsung Sultan Buton” ungkap Sumarto Lanae juga dibenarkan informasi beberapa warga di sana.
Butonmagz bersama kru Kominfo Kota Baubau menelisik langsung batas wilayah itu. tampak serumpun bambu kuning ini tetap tumbuh di antara semak belukar hutan di sekitarnya. Lokasinya terlihat dan sangat dekat dengan sempadan jalan poros Kapontori-Pasir Putih. Sehingga orang-orang yang lewat terkadang menganggapnya tanaman liar.
Apalagi batas alam sesungguhnya masih berjarak 100 meter dari ‘prasasti’ itu, berupa sungai mati dan jembatan kecil yang melintasinya. Namun konon batas ini pun telah bergeser sejauh 3 km menjorok masuk ke wilayah Kapontori Kabupaten Buton.
“Dulu kami pernah menyepakati untuk meninjau ulang batas wilayah antara Pemkab Buton dan Pemkab Muna di Liwu Metingki ini, tetapi kami sudah datang jauh- jauh, namun utusan dari Pemkab Muna tidak datang, jadinya pertemuan itu batal,” kata Sumarto.
Selain prasasti bambu kuning ini, Liwu Metingki memang punya jejak sejarah yang memukau dengan adanya benteng Langkamelu-melu. Tradisi lisan warga di sana menyebut pada abad ke 13 M, Koachi datang dari Negri Cina bersama dengan saudara sepupunya yang bernama Wayluncugy ke liwu (Kampung ) Metingki.
di daerah Muna ini, untuk membuat benteng di kampung Matingki yang dikenal dengan nama Benteng Langkamelu-melu, sedangkan Wayluncugi membuat benteng di puncak gunung Kamosope yang dikenal dengan nama benteng Wayluncugi
Benteng Langkamelu-melu memiliki luas 1 Ha dengan panjang benteng 150M sedang lebar 70M. benteng ini terletak diatas bukit dengan ketinggian 800M dari permukaan laut, jarak antara jalan raya dengan objek ini 2 Km, dan jarak dengan ibu kota kecamatan dengan objek ini 10 Km.
Pada tahun 1350 M, Kaochi meninggalkan benteng tersebut menuju kearah timur tepatnya di Kamaru, dan disanalah ia kembali membuat benteng dan mendirikan Kerajaan yang dikenal dengan nama Kerajaan Kamaru kemudian ia pun menjadi Raja dikerajaan tersebut,
Pada saat Kaochi berada di Kampung Metingki ia mendapat gelar Langkamelu-melu, karena tutur bahasanya, sehingga banyak masyarakat yang menyukainya. Langkamelu-melu adalah berasal dari bahasa daerah Muna yang artinya Enak. (ref)
Bentuk monumennya sederhana, yakni serumpun bambu kuning yang sejatinya menjadi ‘prasasti’ hidup hingga sekarang. Ini pula di akui beberapa masyarakat setempat tentang ‘prasasti bambu kuning ini’. ia tetap tumbuh kendati musim kemarau dan kebakaran hutan melalapnya.
“Sudah pernah dimatikan tetapi tetap tumbuh pak, itu dulu di tanam langsung Sultan Buton” ungkap Sumarto Lanae juga dibenarkan informasi beberapa warga di sana.
Butonmagz bersama kru Kominfo Kota Baubau menelisik langsung batas wilayah itu. tampak serumpun bambu kuning ini tetap tumbuh di antara semak belukar hutan di sekitarnya. Lokasinya terlihat dan sangat dekat dengan sempadan jalan poros Kapontori-Pasir Putih. Sehingga orang-orang yang lewat terkadang menganggapnya tanaman liar.
Apalagi batas alam sesungguhnya masih berjarak 100 meter dari ‘prasasti’ itu, berupa sungai mati dan jembatan kecil yang melintasinya. Namun konon batas ini pun telah bergeser sejauh 3 km menjorok masuk ke wilayah Kapontori Kabupaten Buton.
“Dulu kami pernah menyepakati untuk meninjau ulang batas wilayah antara Pemkab Buton dan Pemkab Muna di Liwu Metingki ini, tetapi kami sudah datang jauh- jauh, namun utusan dari Pemkab Muna tidak datang, jadinya pertemuan itu batal,” kata Sumarto.
Selain prasasti bambu kuning ini, Liwu Metingki memang punya jejak sejarah yang memukau dengan adanya benteng Langkamelu-melu. Tradisi lisan warga di sana menyebut pada abad ke 13 M, Koachi datang dari Negri Cina bersama dengan saudara sepupunya yang bernama Wayluncugy ke liwu (Kampung ) Metingki.
di daerah Muna ini, untuk membuat benteng di kampung Matingki yang dikenal dengan nama Benteng Langkamelu-melu, sedangkan Wayluncugi membuat benteng di puncak gunung Kamosope yang dikenal dengan nama benteng Wayluncugi
Benteng Langkamelu-melu memiliki luas 1 Ha dengan panjang benteng 150M sedang lebar 70M. benteng ini terletak diatas bukit dengan ketinggian 800M dari permukaan laut, jarak antara jalan raya dengan objek ini 2 Km, dan jarak dengan ibu kota kecamatan dengan objek ini 10 Km.
Pada tahun 1350 M, Kaochi meninggalkan benteng tersebut menuju kearah timur tepatnya di Kamaru, dan disanalah ia kembali membuat benteng dan mendirikan Kerajaan yang dikenal dengan nama Kerajaan Kamaru kemudian ia pun menjadi Raja dikerajaan tersebut,
Pada saat Kaochi berada di Kampung Metingki ia mendapat gelar Langkamelu-melu, karena tutur bahasanya, sehingga banyak masyarakat yang menyukainya. Langkamelu-melu adalah berasal dari bahasa daerah Muna yang artinya Enak. (ref)
0 Komentar